19 September 2022
JAKARTA – Selama lebih dari satu dekade, basement Blok M Square – salah satu mal paling populer di Jakarta Selatan – telah menjadi rumah bagi puluhan toko buku yang menjual buku-buku baru, bekas, dan sudah tidak lagi dicetak dalam segala jenis dan subjek, a surganya para pecinta buku di ibu kota dan sekitarnya.
Namun, meningkatnya popularitas e-book dan buku audio serta dampak ekonomi yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 telah meninggalkan perusahaan-perusahaan ini dalam kejayaannya.
Berbeda dengan toko pakaian, perhiasan, dan makanan di lantai atas yang ramai dikunjungi dan sibuk dengan transaksi, pelanggan jarang pergi ke lantai bawah mal. Banyak kios yang menutup pintunya secara permanen, meninggalkan tumpukan buku tua berdebu yang ditutupi terpal di depan tokonya.
Umar Wirahadi Kusuma, pemilik toko buku Papat Limo yang pertama kali dibuka pada 2010, mengatakan pendapatannya turun sekitar 70 persen dalam satu dekade terakhir.
“Masyarakat Indonesia umumnya memiliki minat membaca buku yang sangat rendah. Sekarang dengan adanya gadget dan sebagainya, minat membaca mereka semakin menurun,” kata Umar kepada The Jakarta Post baru-baru ini. “Sekarang hanya pecinta buku garis keras yang mengunjungi toko buku saya, dan jumlah mereka kurang dari 0,1 persen populasi Jakarta.”
Pengalaman serupa juga dialami oleh pemilik toko buku lainnya, Wiwik Latifah yang menjual buku baru, bekas, dan langka, dengan mengatakan pendapatannya anjlok 50-70 persen, terutama pascapandemi.
“Saat pertama kali saya membuka toko Ziarah Buku pada tahun 2009, saya bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp 30-35 juta per bulan. Saat ini, sulit untuk mencapai Rp 10 juta pada bulan tertentu. Rata-rata pengunjung kami hanya satu atau dua kali sehari, bahkan terkadang tidak ada sama sekali,” ujarnya.
Menurut Wiwik, pendapatan tokonya saat ini hanya mampu menutupi biaya overhead seperti listrik untuk lima kiosnya yang masing-masing menelan biaya sekitar Rp 1 juta per bulan.
Wiwik mengatakan banyak toko buku di basement Blok M Square yang tidak mampu mengimbangi kenaikan biaya operasional dan penurunan penjualan, sehingga menyebabkan hampir separuh bisnisnya gulung tikar dalam beberapa tahun terakhir.
Menurunnya penjualan buku secara bertahap, lanjutnya, disebabkan oleh beralihnya preferensi masyarakat dari membaca buku fisik ke membaca e-book atau mendengarkan audiobook. Tren ini diperburuk oleh pesatnya pertumbuhan digitalisasi selama pandemi, yang memaksa masyarakat untuk tinggal di rumah dan menyebabkan popularitas program membaca dan materi pembelajaran online.
“Membeli buku fisik lebih mahal dan memakan waktu lebih lama dibandingkan membeli e-book melalui ponsel. Yang lebih parah lagi, pandemi ini tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat, tapi juga mempercepat digitalisasi,” kata Wiwik.
“Biasanya banyak orang yang membeli buku pelajaran sekolah di awal tahun ajaran, namun karena kelas dialihkan secara online selama pandemi, dengan pembelajaran dan materi online, semakin sedikit orang tua yang mau membelikan buku pelajaran fisik untuk anaknya,” tambahnya. .
Pasar daring
Meskipun teknologi dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan terbesar bagi orang-orang seperti Umar dan Wiwik, ironisnya teknologi justru membantu toko buku mereka tetap bertahan.
Umar mengatakan, satu-satunya alasan ia masih bisa membuka toko bukunya di Blok M Square adalah penjualan buku secara online.
“Saya sudah menjual buku secara online selama enam tahun terakhir, dan meski persaingannya ketat, saya bisa menjangkau pasar yang lebih besar dibandingkan hanya membuka toko buku fisik,” ujarnya. “Sejak 2016, pendapatan penjualan buku online saya tumbuh sekitar 10 persen setiap tahunnya.”
Wiwik mengatakan, meski bisnis buku online miliknya membantu Toko Buku Ziarah Buku tetap bertahan, namun hal tersebut belum cukup untuk mengembalikan kejayaan toko buku tersebut.
“Ada banyak kompetisi online. Banyak juga pedagang yang menjual buku bajakan, yang harganya jauh lebih murah dibandingkan buku asli atau bekas. Terkadang pelanggan tidak bisa membedakannya, sehingga seringkali memilih membeli yang lebih murah,” ujarnya.
Literasi Jakarta
Selama beberapa tahun terakhir, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mempromosikan peningkatan tingkat melek huruf masyarakat sebagai salah satu program utamanya. Pejabat kota merenovasi beberapa perpustakaan umum di ibu kota dan menyediakan buku di banyak tempat di tempat umum untuk dibaca saat itu juga.
Jakarta adalah rumah bagi lebih dari 5.000 perpustakaan dan 1.000 penerbit, serta hampir sepertiga dari seluruh toko buku modern di seluruh negeri, menurut sebuah perkiraan industri. Setiap tahunnya, industri penerbitan menghasilkan sekitar 120.000 judul buku dari sekitar 5.000 penerbit di seluruh negeri, menjadikan Indonesia salah satu produsen buku terbesar di seluruh Asia Tenggara.
Tahun lalu, UNESCO memberikan Jakarta gelar Kota Sastra bersama 40 kota lainnya dari 29 negara, menempatkannya dalam Jaringan Kota Kreatif badan PBB yang mengakui kreativitas sebagai faktor penting dalam pembangunan perkotaan.
Meski memiliki gelar bergengsi, penulis, penerbit, dan pemilik toko buku mengatakan kota ini masih berjuang untuk menjaga ekosistem sastra yang berkelanjutan.
Penjual buku di Blok M-plein bukan satu-satunya yang terkena dampak pandemi ini. Usaha serupa di Pasar Kenari – didirikan oleh Gubernur Anies Baswedan pada tahun 2019 – dan di Jl. Kwitang di Jakarta Pusat juga berjuang untuk bertahan dari pandemi ini, dan banyak yang akhirnya menutup usahanya untuk selamanya.