Merancang Peta Jalan Pajak Karbon untuk Transisi Hijau di Indonesia

19 Desember 2022

JAKARTA – Mitigasi perubahan iklim memerlukan pengendalian emisi karbon, yang dapat didukung oleh perdagangan karbon dan perpajakan. Misalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan pasar perdagangan karbon pada tahun 2021 dengan 32 pembangkit listrik tenaga batu bara melakukan 28 transaksi yang terdiri dari 42.455 ton CO2.

Namun, gambaran mengenai pajak karbon terlihat lebih suram. Dengan rencana penerapannya yang sudah tertunda dua kali pada tahun ini, Indonesia dapat kehilangan peluang yang sangat sensitif terhadap waktu jika Indonesia semakin menunda penerapan pajak karbonnya.

Melihat pajak karbon yang ada di Argentina, Kanada, Chile, Kolombia, Jepang, Meksiko, Singapura dan Ukraina, kebijakan ini dapat mempunyai banyak tujuan.

Pertama, hal ini dapat memperhitungkan biaya sosial dari emisi karbon sehingga aktivitas emisi karbon dapat mencerminkan eksternalitas negatif terhadap lingkungan dan masyarakat secara lebih akurat. Dengan menggunakan tujuan ini, pajak karbon dapat menurunkan emisi tanpa secara khusus ditempatkan untuk memenuhi target pengurangan emisi yang ditetapkan secara politis.

Kedua, pajak karbon dapat digunakan untuk mencapai tingkat pengurangan tertentu, terlepas dari apakah pajak tersebut mencerminkan biaya sosial atau tidak. Ketiga, pajak karbon dapat menghasilkan pendapatan fiskal dan mendukung peralihan umum ke perekonomian yang lebih ramah lingkungan. Di sini, tujuannya lebih pada menghasilkan pendapatan dan bukan pada pencapaian target pengurangan emisi tertentu.

Terakhir, penerapan pajak karbon dapat menjadi sinyal penting bagi komunitas internasional, biasanya terkait dengan tolok ukur yang digunakan oleh negara lain, mitra dagang, atau pesaing dagang.

Untuk mencapai tujuan yang berbeda-beda ini diperlukan pajak karbon yang menggunakan perhitungan berbeda, sehingga dapat menghasilkan tarif yang berbeda. Meskipun pemerintah dapat menargetkan berbagai manfaat sekaligus, pajak karbon harus dirancang untuk satu tujuan utama dan dapat dipertanggungjawabkan.

Merujuk pada NDC terbaru Indonesia yang diserahkan kepada Badan Iklim PBB, negara ini membutuhkan sekitar US$29 miliar per tahun untuk mencapai NDC tanpa syarat pada tahun 2030. Jika pemerintah ingin memenuhi kebutuhan ini sepenuhnya melalui pajak karbon, maka tarif tahunannya harus ditetapkan sebesar $80,5. per ton, mendekati harga di Finlandia dan Norwegia. Namun, jika tanggung jawab pendanaan pemerintah lebih rendah, maka besarnya dapat disesuaikan.

Selain perhitungan fiskal yang ketat, ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan ketika menentukan tarif pajak yang paling masuk akal baik untuk industri maupun rencana transisi ramah lingkungan di suatu negara.

Pertama, penentuan tarif dinamis adalah untuk menjaga keseimbangan penting antara transisi yang diinginkan dan basis pajak yang dihasilkan. Tarif pajak karbon yang terlalu tinggi dapat menyebabkan semakin banyaknya migrasi keluar dari sektor-sektor kotor dan dengan cepat menyusutkan basis dan pendapatan.

Selain itu, seringnya interaksi countercyclical dengan kebijakan moneter juga penting untuk dipertimbangkan. Tarif pajak karbon yang tinggi yang dikenakan pada perekonomian yang masih didominasi oleh bisnis kotor meningkatkan kemungkinan terjadinya inflasi, yang disebut inflasi hijau (greenflation), yang berpotensi memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga. Suku bunga yang tinggi pada gilirannya merugikan investasi, termasuk investasi ramah lingkungan. Di sisi lain, tarif pajak karbon yang rendah mungkin hanya menghasilkan sedikit pendapatan fiskal dan tidak efektif dalam menghalangi perusahaan untuk keluar dari bisnis kotor.

Selain memberikan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan dekarbonisasi, pendapatan pajak karbon dapat dialokasikan sebagai dana publik untuk upaya transisi ramah lingkungan. Dana ini akan memungkinkan pemerintah untuk mengembangkan proyek infrastruktur ramah lingkungan yang terkait dengan NDC atau target net zero, dan memberikan subsidi dalam bentuk potongan pajak untuk mempercepat penerapan produk dan layanan ramah lingkungan.

Potensi kerugian terbesar adalah dampak fiskal negatif yang tidak diinginkan karena sektor-sektor kotor yang terbebani mulai menurun. Melihat kompilasi anggaran tahunan Kementerian Keuangan, penerimaan fiskal dari sektor kotor minyak, gas, batu bara, mineral, kehutanan, dan kelapa sawit menyumbang signifikan sebesar 11 persen dari total penerimaan fiskal pada tahun 2015-2020. Pemerintah perlu menemukan cara untuk mengimbangi dampak negatif dari penurunan pendapatan pajak karbon untuk mempertahankan kemampuannya membiayai transisi ramah lingkungan.

Hal ini dapat dilakukan dengan digitalisasi layanan publik untuk mengurangi pengeluaran pemerintah, mengenakan pajak pada sektor informal dan, yang lebih mendesak, menghapus subsidi untuk sektor-sektor kotor. Menurut laporan keuangan pemerintah, subsidi bahan bakar fosil rata-rata mencapai $8,4 miliar per tahun pada periode 2015-2020, atau sekitar sepertiga dari pembiayaan tahunan ($29 miliar) yang dibutuhkan untuk mencapai NDC Indonesia tanpa syarat pada tahun 2030.

Cara yang masuk akal untuk menghindari timbulnya biaya politik dengan menghapuskan subsidi bahan bakar fosil adalah melalui pertukaran subsidi, memberikan subsidi energi terbarukan pada sektor-sektor yang berkontribusi langsung terhadap penggantian bahan bakar fosil.

Pada akhirnya, pertanyaan kuncinya adalah bagaimana pajak karbon dapat menciptakan kemajuan yang bermakna dan konsisten dalam mencapai tujuan iklim Indonesia. Intinya, pajak karbon dimaksudkan untuk membentuk kembali pola pikir masyarakat mengenai dampak sebenarnya dari sektor kotor dan mendorong penerapan produk, layanan, dan perilaku yang lebih berkelanjutan. Karena tidak ada satu kebijakan pun yang dapat mengatasi seluruh dampak inflasi dan sosio-ekonomi dari pajak karbon, diperlukan kebijakan non-fiskal tambahan untuk mencegah sektor-sektor kotor secara permanen.

Hal ini dapat berkisar dari memasukkan investasi kotor ke dalam daftar hitam hingga pembatasan penjualan kotor, dan dari penghapusan asuransi kotor hingga standar lingkungan yang lebih ketat untuk izin usaha. Namun, pajak karbon yang dirancang dengan baik dapat menjadi pemicu yang efektif untuk memberlakukan kebijakan dekarbonisasi non-fiskal lainnya.

Sebagaimana disarankan oleh analisis ini, pemerintah harus segera mengambil langkah untuk menentukan tujuan utama pajak karbonnya, menghitung kisaran tarif pajak yang paling masuk akal, dan mengembangkan rencana investasi terperinci untuk pendapatan pajak, sebuah rencana yang selaras secara strategis dengan kebijakan pemerintah. tujuan iklim Indonesia. dan jalur transisi ekonomi menuju masa depan rendah karbon.

Hal ini harus dilakukan dengan cepat, karena semakin lama pemerintah menunda pengenaan pajak karbon, semakin lama pula emisi yang tidak diatur, sehingga semakin menghambat upaya Indonesia untuk mencapai NDC-nya.

Dengan semakin sedikitnya waktu yang tersisa untuk mencapai target NDC, pemerintah mungkin harus mengkompensasi awal yang lamban ini dengan menerapkan tarif pajak karbon yang lebih tinggi, yang akan menjadi lebih menantang secara politis.

Data Sydney

By gacor88