20 Desember 2022
JAKARTA – Indonesia merupakan salah satu negara dengan pasar rokok terbesar di dunia. Menurut laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), india merupakan negara ketiga setelah Tiongkok dan India dengan jumlah perokok terbanyak di dunia.
Indonesia pernah menyandang predikat “negara bayi perokok” karena tingginya prevalensi merokok di kalangan anak-anak. Oleh karena itu, pemerintah menargetkan penurunan prevalensi merokok, terutama pada kelompok usia 10-18 tahun, sebesar 8,7 persen pada tahun 2024.
Pemerintah pada bulan ini memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau selama dua tahun, yakni 2023 dan 2024. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah proses penyusunan kebijakan cukai hasil tembakau setiap tahunnya dan memberikan kepastian kepada para pelaku industri rokok.
Pemerintah menetapkan rata-rata kenaikan sebesar 10 persen untuk kretek mesin atau sigaret kretek (SKM) golongan 1 dan 2, rata-rata meningkat antara 11,5-11,75 persen; sigaret putih lintingan mesin (SPM) golongan 1 dan 2 naik 11-12 persen; dan untuk tarif cukai rokok lintingan tangan (SKT) kenaikannya maksimal hanya 5 persen sebagai upaya menjaga keberlangsungan tenaga kerja.
Salah satu tujuan kenaikan cukai adalah untuk mengurangi konsumsi, namun pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa tarif cukai yang lebih tinggi kurang efektif dalam mengurangi konsumsi secara signifikan mengingat permintaan rokok yang tidak elastis akibat sifat adiktif dari produk tersebut. Survei sebelumnya menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga rokok sebesar 1 persen hanya menurunkan permintaan sebesar 0,53 persen.
Harga yang lebih tinggi akan mendorong perokok untuk beralih ke rokok berkualitas rendah dengan kandungan nikotin dan karbon monoksida yang lebih tinggi, yang biasanya memiliki harga lebih rendah.
Efektivitas kebijakan cukai dalam mengendalikan konsumsi rokok sangat bergantung pada pengaruh cukai terhadap harga eceran. Hal ini sangat ditentukan oleh sejauh mana produsen memungut pungutan yang lebih tinggi kepada konsumen yang tercermin dari beban pajak, yakni porsi pajak atas harga jual eceran (RSP).
Pemerintah menetapkan HJE berdasarkan permintaan perusahaan rokok yang menetapkan harga produknya secara konsisten di seluruh pengecer di berbagai daerah. Perhitungan HJE meliputi biaya produksi dan distribusi, keuntungan grosir dan eceran, serta retribusi. HJE ini berlaku secara nasional sehingga tidak ada perbedaan rekomendasi harga suatu merek rokok di Indonesia pada periode tertentu.
Namun dalam mekanisme pasar, harga akhir yang harus dibayar konsumen (Harga Transaksi Pasar/HTP) tidak selalu sama dengan HJE. Perbedaan harga ini merupakan bentuk strategi yang dilakukan perusahaan rokok untuk merebut pangsa pasar dan memaksimalkan keuntungan.
Secara teori, kenaikan cukai rokok akan meningkatkan beban pajak dan memaksa produsen membebankan pajak kepada konsumen dalam bentuk harga pasar yang lebih tinggi. Namun, jika produsen ingin mempertahankan pangsa pasar rokok merek tertentu, mereka akan menanggung sebagian beban pajak. Artinya kenaikan harga eceran lebih kecil dibandingkan kenaikan pajak.
Faktanya, setidaknya ada tiga cara yang kerap dilakukan perusahaan tembakau untuk menjaga keterjangkauan harga rokok. Pertama, strategi undershift dimana kenaikan harga rokok tidak sebesar kenaikan cukai. Strategi ini digunakan oleh hampir semua perusahaan.
Kedua, karena Indonesia menerapkan sistem cukai berganda, maka memungkinkan bagi perusahaan rokok untuk bermain di arena bermain yang berbeda. Ketiga, strategi penetapan harga geografis berupa subsidi silang yang dilakukan perusahaan tembakau. Subsidi silang diartikan sebagai strategi perusahaan dengan menjual produknya di wilayah sekitar pabrik dengan harga jauh di atas biaya produksi dan distribusi.
Selisih harga ini digunakan untuk mensubsidi biaya distribusi produk yang dijual di wilayah yang jauh dari pabrik. Oleh karena itu, perbedaan harga antar wilayah pemasaran tidak terlalu besar.
Saat ini, semakin banyak tantangan yang dihadapi industri rokok, sehingga ada kemungkinan pula industri akan menaikkan harga mendekati tingkat keuntungan yang maksimal dalam jangka pendek. Selain itu, karena perusahaan tembakau mempunyai merek dengan tingkat harga yang berbeda, mereka dapat menjaga harga beberapa merek tetap rendah untuk menarik perokok baru. Perusahaan mempertahankan harga merek kelas atas untuk mempertahankan keuntungan.
Pada akhirnya, kenaikan cukai akan tetap menimbulkan kesenjangan yang besar terhadap keterjangkauan harga rokok oleh masyarakat dan mengikis inelastisitas permintaan rokok. Hal ini berguna untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia, khususnya bagi perokok anak.
Memang sebuah keputusan berat bagi pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok. Namun, sepanjang keputusan tersebut mempertimbangkan berbagai tujuan kenaikan cukai, pengendalian konsumsi, keberlanjutan tenaga kerja, penerimaan negara, dan pengendalian rokok ilegal, maka kenaikan cukai seharusnya dapat diterima.
Tugas masyarakat saat ini adalah mengawal agar Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dapat digunakan seefektif mungkin di bidang kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan penegakan hukum.
***
Penulis adalah analis kebijakan fiskal pada Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Pandangan yang dikemukakan adalah pendapatnya sendiri.