4 Agustus 2023
KATHMANDU – Di Asia Selatan, hasil pemilu seringkali diperebutkan oleh partai-partai yang kalah. Sebagian besar negara di kawasan ini telah membentuk komisi pemilu untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil. Kecuali di Bhutan, yang biaya pemilunya ditanggung oleh negara, di negara lain, partai atau kandidatnya sendiri yang harus menanggung biayanya. Sejarah Asia Selatan dipenuhi dengan perjuangan tiada henti dari masyarakat untuk menegakkan demokrasi. Namun aspirasi ini akan terkikis jika proses pemilu tidak bebas dan adil.
Di Pakistan, ada rencana untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sementara bulan ini. Di Bangladesh, pihak oposisi menuntut pemulihan sistem pemerintahan sementara yang dihapuskan pada tahun 2011. Kasus-kasus ini memberikan wawasan menarik mengenai kontroversi seputar sistem pemilu dan ketidakmampuan kedua negara untuk membentuk komisi pemilu independen yang mampu menyelenggarakan pemilu yang kredibel.
Kandidat konsensus
Pakistan telah melakukan amandemen terhadap sistem pemerintahan sementara agar tidak memihak guna menghindari terulangnya fungsi bias dari beberapa pemerintahan sementara. Pada tahun 2010, sebuah langkah diambil untuk melarang anggota pemerintahan sementara ikut serta dalam pemilu. Pada tahun 2012, partai berkuasa dan oposisi diwajibkan untuk menyepakati calon perdana menteri sementara secara konsensus, tidak seperti di masa lalu yang mana presiden akan memilih salah satu calon perdana menteri. Untuk memperjelas mandat pemerintahan sementara, Pakistan mengamandemen Undang-Undang Pemilu tahun 2017 yang menyatakan bahwa pemerintah sementara hanya akan mengurus hal-hal rutin yang tidak kontroversial dan mendesak serta tidak memihak setiap orang dan partai.
Pada tanggal 26 Juli, pemerintahan Gerakan Demokratik Pakistan mengubah lebih lanjut sistem pemerintahan sementara, dengan tujuan untuk memperkuatnya. Meskipun negara-negara terkemuka di masa lalu dilarang mengambil keputusan apa pun terkait urusan bilateral dan multilateral, amandemen tersebut bertujuan untuk menerapkan paket dana talangan Dana Moneter Internasional (IMF) senilai $3 miliar. Langkah tersebut dikritik oleh pihak oposisi dan bahkan ada yang menuduh IMF mempengaruhi amandemen tersebut. Hal yang penting adalah apakah pemerintah dan oposisi akan mencapai kesepakatan mengenai kandidat yang disepakati untuk perdana menteri sementara berikutnya ketika masing-masing pihak menyajikan daftar tiga kandidatnya.
Di Bangladesh, sistem pemerintahan sementara yang sudah dihapuskan membentuk seorang penasihat utama dan dewan penasihat. Sistem ini diperkenalkan pada tahun 1990 setelah pihak oposisi menolak berpartisipasi dalam pemilu yang diadakan oleh rezim militer Jenderal Hussain Muhammad Irsyad. Pada pemilu sela Magura tahun 1994, yang diwarnai kecurangan besar-besaran oleh Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) yang berkuasa, partai-partai politik oposisi membentuk front persatuan untuk menuntut pembentukan pemerintahan penerus yang netral.
Mengabaikan tuntutan oposisi, pemerintahan BNP yang saat itu menjabat mengadakan pemilu sepihak pada tahun 1996 yang diboikot oleh oposisi. BNP terpaksa menerapkan sistem pemerintahan sementara.
Pada tahun 2011, sistem ini dihapuskan menyusul keputusan Mahkamah Agung. BNP menuntut pemulihannya dan tidak berpartisipasi dalam pemilu 2014. Partai tersebut telah menjadikan pemulihan sistem pemerintahan sementara dan pengunduran diri Perdana Menteri Hasina sebagai rencana jajak pendapat utama untuk pemilihan parlemen mendatang.
Pihak oposisi juga mempertanyakan keabsahan putusan Mahkamah Agung yang mengakhiri sistem pemerintahan sementara karena ditandatangani oleh hakim yang mengumumkan putusan tersebut setelah pensiun.
Runtuhnya pemahaman kedua partai politik utama mengenai pembentukan sistem pemerintahan sementara ini bermula ketika BNP melakukan amandemen UUD ke-14 yang menaikkan usia pensiun hakim dari 65 menjadi 67 tahun menggantikan Hakim KM Hasan. kepala pemerintahan sementara. Karena ia menolak untuk mengambil kendali, BNP memilih Presiden Iajuddin Ahmed untuk memimpin pemerintahan sementara.
Protes terhadap keputusan tersebut berubah menjadi kekerasan dan akhirnya pemerintah sementara yang didukung militer mengambil alih kekuasaan pada bulan Januari 2007 dan mengadakan pemilihan parlemen pada bulan Desember 2008. banyak pemilih palsu. Berbeda dengan di Pakistan, pemerintahan sementara di Bangladesh dapat memindahkan birokrat yang ditunjuk oleh pemerintahan sebelumnya untuk mewujudkan pemilu yang bebas dan adil.
Peran kontroversial
Di Pakistan, peran perdana menteri sementara juga kontroversial. Misalnya, tindakan Malik Meraj Khalid, perdana menteri sementara pada tahun 1996 yang berperan dalam terpilihnya Nawaz Sharif dan kekalahan Benazir Bhutto, sudah banyak diketahui. Demikian pula, peran Mir Hazar Khan Khoso dalam mutasi, perombakan, dan pengangkatan pejabat di Mahkamah Agung juga diperdebatkan. Mahkamah Agung telah memberikan pedoman yang melarang pemerintah sementara melakukan penunjukan besar. Meskipun ada penunjukan perdana menteri sementara, militer berhasil melakukan kecurangan pada pemilu 2018 dan memenangkan Imran Khan. Pemerintahan sementara yang didukung militer di Bangladesh berupaya mengusir kedua pemimpin tersebut, Begum Zia dan Shiekh Hasina, dari dunia politik dan memaksa reformasi di partai politik untuk mencapai hal ini.
Sementara oposisi di Bangladesh menuntut pemulihan pemerintahan sementara yang netral dalam konstitusi, Pakistan memutuskan untuk membentuk pemerintahan sementara untuk menyelenggarakan pemilu. Tuntutan terhadap pemerintahan sementara yang netral menunjukkan adanya ketidakpercayaan yang mendalam terhadap partai politik, lemahnya pelembagaan demokrasi, dan subversi terhadap mekanisme pemilu. Badan-badan pemilu harus tetap netral dalam setiap pemilu yang kredibel karena ini adalah satu-satunya jalan menuju transisi demokratis.