21 Desember 2022
JAKARTA – Berbekal pengalaman bertarung di Pilpres 2019 di bawah kepemimpinannya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno yang paham media sosial dianggap sebagai kandidat kuat calon wakil presiden. Namun para analis mengatakan jalannya menuju nominasi terhambat oleh hubungannya dengan Partai Gerindra, yang tampaknya enggan mendukungnya pada pemilu 2024.
Sandiaga yang sudah lama menjadi wirausahawan telah menjadi sosok yang sering ditemui di dunia bisnis Indonesia sejak pergantian abad. Ia ikut mendirikan Saratoga Investama Sedaya pada tahun 1997, yang kini merupakan salah satu konglomerat terbesar di negara ini, dan menjabat di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) sebagai wakil ketua bidang usaha kecil dan menengah pada tahun 2009.
Sandiaga yang sering masuk dalam peringkat 50 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes, berutang banyak pada pengaruh Ketua Gerindra, Prabowo Subianto. Dengan dukungan Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sandiaga akhirnya memenangkan Pilgub Jakarta 2017 sebagai Wakil Gubernur Anies Baswedan.
Namun, masa jabatannya di ibu kota tidak berlangsung lama karena ia mengundurkan diri setahun kemudian untuk mengikuti pemilu 2019 sebagai cawapres Prabowo. Meski kalah, Sandiaga bergabung dengan pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menggantikan rekan pengusaha Wishnutama Kusubandio dalam perombakan kabinet pada Desember 2020 setelah Gerindra bergabung dengan koalisi yang berkuasa.
Selain kualitas-kualitas tersebut di atas, analis politik Bawono Kumoro dari Indikator Politik Indonesia mengatakan, kepiawaian Sandiaga dalam bermedia sosial menjadi salah satu pendorong tingginya elektabilitasnya. Melalui konten-kontennya di YouTube dan Instagram, beliau mampu membuat pekerjaan menterinya lebih mudah dipahami, kata Bawono.
Sebuah survei indikator yang dirilis pada bulan Desember menempatkannya di posisi ketiga di antara calon wakil presiden lainnya, dengan memperoleh 12,8 persen suara responden. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono memimpin perolehan suara masing-masing dengan perolehan 19,7 dan 16,3 persen.
Dilema Gerindra
Meskipun Sandiaga mungkin memiliki semua kualitas yang diperlukan untuk menjadi pilihan tepat sebagai calon wakil presiden, kurangnya antusiasme di antara partai-partai, termasuk Gerindra, dapat menjadi penghalang bagi ambisinya, menurut peneliti politik Firman Noor dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (Badan Riset dan Inovasi Nasional). BRIN).
“Gerindra sepertinya sudah tidak lagi memandang Sandiaga sebagai orang yang berkepentingan. Mereka mungkin ingin memperluas dukungannya dengan beraliansi dengan partai politik lain, yang bisa menimbulkan dilema bagi dia,” jelas Firman.
Dibandingkan calon lainnya, Sandiaga cukup unik karena ia menjadi salah satu dari sedikit nama yang mewakili pemilih di luar Jawa, karena ia keturunan Gorontalo. Namun seiring dengan upaya Prabowo untuk memperbaiki kekurangannya pada pemilu sebelumnya, Bawono berargumen bahwa Sandiaga hanya memiliki peluang kecil untuk menjadi cawapres Prabowo pada pemilu 2024.
“Prabowo belajar dari kesalahannya pada tahun 2019 ketika ia kehilangan banyak suara di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” kata Bawono. Untuk mencapai tujuan tersebut, Gerindra membentuk koalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang sangat populer di Jawa Timur karena hubungannya dengan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di negara tersebut.
Pada pemilu 2019, pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin kelahiran Surakarta masing-masing meraih 77 dan 65 persen suara di Jawa Tengah dan Timur. Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah provinsi terpadat kedua dan ketiga di negara ini, dan Jawa Barat merupakan provinsi terpadat. Pulau Jawa diperkirakan akan kembali menjadi medan pertempuran utama pada tahun 2024.
Kurangnya pilihan
Meskipun Sandiaga secara teknis mempunyai pilihan untuk melepaskan diri dari Gerindra, dan beberapa cabang Partai Pembangunan Nasional (PPP) di daerah menunjukkan dukungan kepadanya, namun hal itu bukanlah pilihan yang realistis, kata Firman.
“PPP tidak bisa dijadikan barometer. Kalau partai seperti Golkar, Gerindra, atau (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), mungkin lain ceritanya,” kata peneliti politik itu.
Kurangnya pilihan ini juga menjadi alasan Firman menilai Sandiaga cenderung tidak menonjolkan diri dibandingkan calon wakil presiden lainnya seperti Ridwan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir.