15 Juni 2023
JAKARTA – Jumlah ibu rumah tangga dan wanita hamil yang tertular penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV dan sifilis dalam jumlah yang tidak proporsional setiap tahunnya, menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan, yang mengaitkan permasalahan tersebut dengan rendahnya kesadaran kesehatan seksual dan perilaku seksual tidak aman dari pasangannya. .
Aktivis kesehatan seksual dan reproduksi mengatakan bahwa kurangnya pendekatan komprehensif dan tindakan pencegahan dari pemerintah, serta stigma dan prasangka dari masyarakat luas, telah menghalangi perempuan yang mengidap PMS untuk melakukan tes atau mencari perawatan medis, sehingga berisiko tertular PMS. penularan meningkat menjadi ribuan bayi setiap tahunnya.
Menurut data Kementerian Kesehatan, sekitar 35 persen dari seluruh kasus HIV baru di Indonesia ditemukan pada ibu rumah tangga, lebih banyak dibandingkan kelompok demografi rentan lainnya seperti pasangan pekerja seks atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.
Sekitar 5.100 ibu rumah tangga di negara ini tertular HIV setiap tahunnya, dan sekitar 33 persen tertular penyakit ini dari suami mereka.
Kasus sifilis juga meningkat sebesar 70 persen dalam lima tahun terakhir, dari sekitar 12.000 insiden pada tahun 2016 menjadi 21.000 pada tahun lalu. Dari 17.000-20.000 penderita sifilis baru setiap tahunnya, sekitar 5.500 di antaranya adalah wanita hamil.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Muhammad Syahril baru-baru ini mengatakan, penyebab utama tingginya penularan PMS pada ibu rumah tangga dan ibu hamil adalah kurangnya pengetahuan tentang PMS dan cara pencegahannya, serta memiliki pasangan yang terlibat dalam perilaku seksual berisiko tinggi.
Bayi berisiko
Tingginya angka kejadian ibu hamil yang tertular HIV dan sifilis menempatkan ribuan bayi dalam risiko, dan ibu hamil dengan HIV memiliki peluang 20-45 persen untuk menularkan virus tersebut kepada bayinya saat lahir dan saat menyusui.
Sedangkan ibu hamil penderita sifilis memiliki risiko 60-80 persen menularkan penyakit tersebut kepada bayinya.
Sifilis pada wanita hamil juga dapat menyebabkan keguguran, lahir mati, atau kematian segera setelah lahir, dengan sekitar 40 persen bayi yang lahir dari wanita dengan sifilis yang tidak diobati lahir mati atau meninggal saat baru lahir akibat infeksi tersebut.
Juru bicara kementerian lainnya, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan sejak 2017 otoritas kesehatan telah memberikan tes HIV, sifilis, dan hepatitis B gratis kepada ibu hamil, sebuah program yang disebut eliminasi tiga kali lipat.
“Petugas kesehatan (di puskesmas) selalu menawarkan tes sifilis, HIV dan hepatitis B kepada ibu hamil dan jika hasilnya positif, mereka akan ditawari pengobatan gratis untuk mencegah penularan pada bayinya,” katanya kepada The Jakarta Post baru-baru ini. .
Kementerian juga terus mengedukasi masyarakat, baik homoseksual maupun heteroseksual, untuk tidak melakukan perilaku seksual berisiko tinggi, ujarnya.
Meskipun tes dan pengobatan PMS gratis tersedia secara luas di Puskesmas di seluruh nusantara, Syahril mengatakan jumlah ibu hamil yang menjalani tes dan pengobatan PMS masih rendah karena stigma dan rasa malu.
Dari sekitar 5 juta kehamilan dalam setahun, hanya 55 persen ibu hamil yang bersedia menjalani tes HIV dan hanya 25 persen yang melakukan tes sifilis, karena berbagai alasan, termasuk tidak mendapat persetujuan suami.
Syahril mengatakan, hanya 24 persen ibu hamil positif HIV yang mendapat pengobatan dan hanya 40 persen ibu hamil penderita sifilis yang diobati.
Tindakan yang komprehensif
Ayu Oktariani dari Jaringan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) mengatakan kesenjangan gender menjadi kendala terbesar dalam pencegahan dan pengobatan PMS pada perempuan.
“Pemerintah telah berupaya memerangi HIV selama lebih dari empat dekade, namun baru dalam lima tahun terakhir ini perempuan diakui sebagai salah satu kelompok rentan dan berisiko,” katanya. “Meski begitu, pemerintah hanya menawarkan pemeriksaan gratis bagi ibu hamil, yang dapat mencegah penularan pada bayinya, namun hal ini praktis sudah terlambat bagi para ibu.”
Ayu mengatakan bahwa otoritas kesehatan juga gagal menyadari bahwa kekerasan berbasis gender meningkatkan risiko perempuan tertular HIV dan bagi perempuan yang hidup dengan HIV, kesejahteraan mereka bukan hanya soal akses dan kepatuhan terhadap pengobatan.
Bukti-bukti, katanya, menunjukkan bahwa hal ini juga bergantung pada bagaimana norma-norma sosial dan institusi patriarki dapat menjadikan mereka berisiko lebih besar terhadap kekerasan berbasis gender, yang pada gilirannya akan menciptakan hambatan dalam mengakses perawatan medis, sehingga mempengaruhi kualitas hidup mereka secara keseluruhan.
Ayu menekankan bahwa pendekatan holistik dan komprehensif sangat penting untuk mengurangi dan mencegah penularan HIV pada perempuan dan memastikan akses mereka terhadap pengobatan.
“Pemerintah harus melihat masalah ini sebagai masalah sosial, bukan hanya masalah kesehatan. Upaya bersama antar kementerian sangat penting untuk mendidik masyarakat tentang PMS, hak kesehatan reproduksi perempuan dan melawan stigma terhadap perempuan yang hidup dengan HIV-AIDS,” katanya.