12 Juli 2023
JAKARTA – Pemerintah berencana untuk menarik tambahan 60.000 ton litium per tahun dari Australia dalam rangka membangun industri kendaraan listrik (EV) yang komprehensif. Jika disepakati, tambahan kuota tersebut akan melipatgandakan kesepakatan sebelumnya antara Jakarta dan Canberra.
Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, yang merupakan nilai jual yang kuat bagi negara yang ingin menjadi pusat produksi kendaraan listrik global, namun negara ini kekurangan pasokan litium dalam negeri, bahan yang juga penting untuk baterai kendaraan listrik.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengatakan pemerintah berharap dapat meningkatkan impor lithium dari Australia dan menjadi basis produksi baterai untuk kawasan Asia Tenggara dan mungkin dunia.
“Tadi kita sudah membahas impor litium sebanyak 60.000 ton yang akan diolah di Morowali mulai tahun depan.
Dalam pertemuan kemarin, saya minta tambahan 60.000 ton, dan saya (menyarankan) agar Australia ikut serta dalam (sebagian) ekuitas (investasi),” ujarnya dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Senin.
Ia merujuk pada pertemuan antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese yang berlangsung pada 6 Juli lalu.
Lebih lanjut dia mengatakan, dengan skema tersebut, proyek smelter litium akan menjadi milik bersama antara Indonesia dan Australia. Mereka menyambut positif gagasan itu, katanya.
Kendaraan listrik mendorong permintaan logam baterai di seluruh dunia, namun sumber daya penting tersebut terkonsentrasi di sedikit negara, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai rantai pasokan.
Pada tahun 2030, baterai diperkirakan memenuhi 95 persen permintaan litium, dan total kebutuhan akan tumbuh sebesar 25 hingga 26 persen per tahun hingga mencapai 3,3 juta hingga 3,8 juta ton setara litium karbonat, menurut laporan yang dirilis tahun lalu oleh konsultan McKinsey. diterbitkan.
Menurut World Economic Forum, sekitar 90 persen produksi lithium dunia hanya berasal dari tiga negara, yakni 52 persen dari Australia, 25 persen dari Chile, dan 13 persen dari Tiongkok.
Permintaan baterai tahunan di Indonesia akan tumbuh menjadi 20,1 gigawatt jam (GWh) pada tahun 2030 dan melonjak menjadi 59,1 GWh pada tahun 2035, menurut Chandra, wakil presiden senior manajemen proyek di PT Indonesia Battery Corporation (IBC) milik negara. seperti dilansir S&P Global Commodity Insights pada 29 Maret.
Tingkat tahun 2035 akan membutuhkan 66.000 ton litium karbonat setara litium dan 53.400 ton grafit, kata Chandra, serta 81.000 ton, 42.600 ton, 39.000 ton, 4.700 ton, dan 4.100 ton tembaga, tembaga, nikel, tembaga, nikel, dan 4.100 ton. .
Ia melanjutkan, selain nikel, Indonesia “belum menjajaki komoditas lain untuk membuat baterai. Oleh karena itu, terdapat peluang mitra dan investasi baru, yaitu litium hidroksida, anoda grafit, elektrolit dan lain sebagainya, kata Chandra.
Litium Australia berasal dari tambang batuan keras untuk mendapatkan mineral spodumene, sedangkan litium Chili diekstraksi dari air garam.
Tiongkok, produsen terbesar ketiga di dunia, memiliki pijakan yang kuat dalam rantai pasokan litium, menurut laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF), yang mencatat bahwa perusahaan-perusahaan Tiongkok telah mengakuisisi aset litium senilai sekitar US$5,6 miliar di negara-negara termasuk Chili, Kanada, dan Australia. selama dekade terakhir, selain tambang dalam negeri yang sedang berkembang. Perusahaan-perusahaan Tiongkok juga menampung 60 persen kapasitas penyulingan litium dunia untuk baterai, menurut laporan yang sama.