27 Desember 2022
JAKARTA – Seiring dengan harapan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa COVID-19 tidak lagi menjadi darurat kesehatan masyarakat pada tahun 2023, masyarakat Indonesia yang rentan menghadapi jalan yang lebih sulit menuju pemulihan dibandingkan dengan masyarakat berpenghasilan tinggi.
Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa keluarga-keluarga rentan, termasuk rumah tangga dengan anggota keluarga penyandang disabilitas atau mereka yang pencari nafkahnya adalah perempuan, menghadapi lebih banyak tantangan dalam pemulihan dari pandemi ini dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang lebih makmur.
Ini adalah temuan yang menyedihkan, tapi bukan sesuatu yang mengejutkan.
Studi yang diterbitkan minggu lalu oleh UNICEF, United Nations Development Program (UNDP), Kemitraan Australia-Indonesia untuk Pembangunan Ekonomi (Prospera) dan Lembaga Penelitian SMERU yang berbasis di Jakarta menyimpulkan bahwa “rumah tangga terkaya yang mengalami kemunduran ekonomi akibat pandemi muncul sementara rumah tangga terkaya sisanya mengalami stagnasi atau bahkan menurun”.
Para peneliti berpendapat bahwa ada kecenderungan menuju kesenjangan kekayaan yang semakin besar. Pelonggaran pembatasan mobilitas sejak akhir tahun lalu telah membantu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, namun hal tersebut tidak memberikan dampak apa pun untuk memperbaiki ketimpangan pendapatan.
Badan Pusat Statistik melaporkan pada bulan Juli bahwa meskipun tingkat kemiskinan dalam negeri telah menurun, tingkat ketimpangan dalam negeri melebihi tingkat sebelum pandemi.
Sekadar mengingatkan: Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pada tahun 2017 bahwa pemerintahannya akan fokus pada pengurangan kesenjangan sosial dan ekonomi. “Ketimpangan harus semakin dikurangi, baik antara si kaya dan si miskin, dan juga antar daerah,” kata Presiden saat itu.
Meskipun mendatangkan malapetaka pada hampir setiap aspek kehidupan kita, pandemi COVID-19 telah memberikan peluang untuk mengubah komitmen pemerintah menjadi tindakan menjelang akhir masa jabatannya.
Perubahan telah terjadi, namun sayangnya hanya menjadi lebih buruk. Studi ini menyoroti bagaimana keluarga-keluarga rentan juga lebih cenderung menggunakan mekanisme penanggulangan yang tidak sehat untuk menghadapi tekanan ekonomi. Hal ini termasuk meminjam uang dari anggota keluarga, teman atau rentenir, menjual atau menggadaikan harta benda mereka dan bahkan makan lebih sedikit untuk mengurangi pengeluaran sehari-hari.
Penelitian ini juga menemukan tren peningkatan ketidaksetaraan gender, dimana perempuan sering kali harus mengatur pekerjaan dan rumah. Indonesia tidak sendirian dalam kesulitan ini. COVID-19 telah mengganggu kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di kawasan Asia-Pasifik, dengan dampak buruk khususnya terhadap perempuan.
Beberapa penelitian mengamati adanya peningkatan signifikan dalam kekerasan dalam rumah tangga dan berbasis gender, berkurangnya akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, dan meningkatnya ketidakamanan pendapatan selama pandemi di wilayah tersebut.
Banyak penelitian juga mencatat bagaimana masyarakat di seluruh negeri telah mengambil tindakan selama pandemi ini untuk meringankan kesulitan yang dihadapi banyak keluarga berpenghasilan rendah. Kami mendukung para pengamat yang berpendapat bahwa ketahanan sosial ini muncul dari kegagalan lembaga-lembaga pemerintah dalam menanggapi kebutuhan anggota masyarakat yang paling rentan.
Meskipun WHO mengatakan masih ada titik terang di ujung terowongan pandemi ini, WHO memperingatkan bahwa virus ini akan tetap ada selama bertahun-tahun yang akan datang.
Ketika pemerintah bersiap untuk mencabut seluruh pembatasan aktivitas publik terkait COVID-19 secara nasional pada akhir tahun ini, Indonesia perlu mengambil pelajaran dari hal ini. Para pengambil kebijakan harus menyesuaikan prioritas mereka seiring dengan upaya kita secara bertahap menuju pemulihan dari COVID-19.
Kita harus memperjuangkan keadilan sosial bagi semua orang, bukan hanya segelintir orang.