3 Oktober 2022
JAKARTA – Saat ini, Rahman, 32 tahun, yang rutin pulang pergi dari apartemennya di dekat Tanah Kusir ke Sudirman, menggunakan kombinasi bus feeder TransJakarta dan kereta MRT untuk berangkat kerja.
Meski bisa berhemat hanya dengan menggunakan bus TransJakarta, ia tidak mempermasalahkan biaya tambahan tersebut karena ia menyukai MRT.
“Masih jauh lebih murah meski dengan MRT. Dengan harga Pertalite saat ini, saya harus mengeluarkan uang dua kali lipat jika berangkat kerja setiap hari dan itu belum termasuk biaya parkir bulanan,” ujarnya.
Di tengah kenaikan harga bahan bakar pada tanggal 3 September, operator bus dan MRT di Jakarta mengalami sedikit peningkatan jumlah penumpang.
Dengan meningkatnya cakupan dan tingkat layanan, para komuter berpendapat bahwa transportasi umum dapat menjadi solusi terhadap kenaikan harga bahan bakar dan kendaraan pribadi tidak lagi dibutuhkan.
Berbicara dengan Jakarta Post Sekretaris Perusahaan TransJakarta Anang Rizkani Noor melalui telepon membenarkan adanya peningkatan jumlah penumpang sebesar 5 persen, dengan jumlah saat ini berkisar 800.000.
“Ada beberapa faktor (peningkatan ini). Pertama, tarif TransJakarta masih Rp 3.500 (sejak 2012). Kedua, kami memulai kembali layanan bus 24 jam untuk membantu penumpang yang bekerja di malam hari. Terakhir, kami juga membuka kembali beberapa rute yang sempat dibatalkan selama pandemi,” kata Anang.
Operator kereta api MRT Jakarta juga melaporkan peningkatan serupa. Sekretaris Perusahaan MRT Rendi Alhial membenarkan, terjadi peningkatan rata-rata jumlah penumpang harian sebesar 5 persen dari 60.382 pada Agustus menjadi 63.433 pada pekan 3 September hingga 8 September.
Angka-angka ini masih lebih rendah dibandingkan angka tertinggi sebelum pandemi; TransJakarta mencapai angka 1 juta penumpang harian pada tahun 2020 dan MRT melaporkan sekitar 85.000 jumlah penumpang harian pada tahun yang sama.
Layanan yang Ditingkatkan
Dibandingkan dengan minibus umum MetroMini, Kopaja dan transportasi umum (minibus umum) merajai jalanan, pencapaian 1 juta ini menunjukkan seberapa jauh kemajuan transportasi umum di Jakarta.
Rahman telah melihat langsung betapa banyak perubahan transportasi umum di Jakarta. Sebagai seorang siswa sekolah menengah, ia naik bus Metromini dari Blok M di Jakarta Selatan ke Ciledug di Tangerang – sebuah pengalaman yang tidak ingin ia ulangi lagi.
“Para manajer itu gila. Entah ada yang berkendara gila-gilaan, atau yang duduk di pinggir jalan selama 30 menit menunggu penumpang, ”ujarnya.
Dibandingkan dengan sistem TransJakarta saat ini yang mana gaji pengemudi tetap, pengemudi Metromini dan angkot dulunya dibayar per penumpang.
Harga bahan bakar bahkan tidak menjadi perhatian Risa, 31 tahun, yang sering bepergian antara Grogol dan Kemanggisan dengan Mikrotrans, minibus umum yang dioperasikan TransJakarta – yang sering disalahartikan sebagai Jaklingko.
Seperti bus feeder TransJakarta yang berevolusi dari Metromini, Mikrotrans berakar pada angkot Jakarta.
“JakLingko sepenuhnya gratis, sedangkan untuk ojek online biayanya sekitar Rp 15.000 hingga Rp 30.000 sekali naik, jadi selisihnya sangat besar,” kata Risa.
Seperti Rahman, Risa juga menjalani masa-masa sulitnya angkutan umum di Jakarta di mana ia harus berhadapan dengan pengamen, preman, dan kasus pencopetan serta pelecehan seksual.
Transportasi umum kini jauh lebih aman dan nyaman, kata Risa, namun tetap murah. Meski begitu, baik Rahman maupun Risa sepakat bahwa waktu tunggu tersebut masih bisa ditingkatkan.
Terkadang Rahman harus menunggu lebih dari 30 menit hingga bus feeder TransJakarta tiba di stasiun terpadu CSW di Blok M. Bagi Risa, waktu tunggunya bisa bervariasi, mulai dari beberapa menit hingga 40 menit saja.
Masa depan listrik
Untuk mengatasi waktu tunggu, TransJakarta berencana menambah armadanya saat ini sekitar 4.000 kendaraan, yang dibagi rata antara bus TransJakarta dan Mikrotrans. “Pada tahun 2030, kami berencana memiliki total 10.000 kendaraan yang semuanya bertenaga listrik,” jelas Anang.
Dalam jangka pendek, Dinas Perhubungan DKI Jakarta berencana memperluas jangkauan angkutan umum.
Dengan membuka rute baru dan mengubah rute yang tumpang tindih, pemerintah kota berharap dapat menjangkau 95 persen penduduk Jakarta, naik dari 85 persen saat ini.
“Jika seorang penduduk tinggal dalam jarak 500 meter dari stasiun angkutan umum, maka penduduk tersebut dilindungi oleh angkutan umum. Dari sebuah penelitian, kami menemukan 85 persen warga Jakarta masuk dalam kriteria tersebut,” jelas Anang.
Meski masih ada wilayah kota yang sulit dijangkau angkutan umum, baik Risa maupun Rahman sepakat angkutan umum saat ini mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan mereka.
Kini Rahman hanya mengeluarkan mobilnya di akhir pekan. “Selama saya tinggal di Jakarta, saya rasa saya tidak akan pernah lagi menggunakan mobil saya sebagai pengemudi harian,” tutupnya.