3 Januari 2023
JAKARTA – Sebagai negara yang masih muda dan berkembang pesat, Indonesia tentunya menghadapi banyak tantangan. Salah satu upaya terbesarnya adalah pelestarian demokrasi. Konstitusi memberikan landasan kuat yang memungkinkan Indonesia mengembangkan pemerintahannya sambil mempertahankan hak-hak dan kebebasan penting yang menentukan masyarakat sipil yang adil dan adil. Namun tahun ini terdapat upaya-upaya besar untuk melemahkan dan membongkar demokrasi, termasuk langkah-langkah yang melemahkan independensi Mahkamah Konstitusi dan memberlakukan pembatasan terhadap kebebasan pers.
Hal ini berujung pada upaya berbahaya untuk menunda pemilu 2024 yang melanggar Konstitusi, seperti yang dikemukakan Bambang Soesatyo, Ketua Majelis Permusyawaratan (LPR), baru-baru ini.
Pemilu adalah urat nadi demokrasi, yang menentukan distribusi kekuasaan dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk secara langsung mempengaruhi jalannya pemerintahan. Besarnya dampak mereka digambarkan oleh besarnya dampak ketidakhadiran mereka.
Mereka yang menginginkan penundaan menyatakan bahwa menyelenggarakan pemilu sesuai jadwal pada tahun 2024 akan menimbulkan ketidakstabilan politik dan polarisasi ekstrem, namun yang lebih besar kemungkinannya adalah bahaya dari penundaan pemilu, karena hal ini menolak Konstitusi dan para pemilih. Kelegaan masyarakat menyambut pernyataan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebelumnya bahwa pemilu akan diselenggarakan sesuai jadwal dan kekhawatiran semakin berkurang ketika Komisi Pemilihan Umum (GEC) menetapkan tanggal pemungutan suara dan memulai persiapan pemilu serentak pada tahun 2024.
Persiapan tersebut dimulai pada Juni 2022 dan berjalan sesuai jadwal. KPU mendaftarkan partai politik peserta dan menetapkan nomor urut pemilu. Namun bahkan ketika negara ini mulai melakukan perjalanan panjang menuju tempat pemungutan suara, pernyataan Bambang menunjukkan bahwa upaya yang dikecam secara luas untuk menunda pemilu masih terus dilakukan.
Bambang kembali menyarankan agar pemilu serentak ditunda mulai tahun 2024, dengan membiarkan pemerintahan saat ini tetap bertahan. Penundaan seperti ini merupakan penolakan yang tidak menyenangkan terhadap lembaga-lembaga demokrasi dan secara signifikan akan meningkatkan tren perebutan kekuasaan oleh Majelis yang mengkhawatirkan.
Usulan Bambang didasarkan pada alasan umum yang dikemukakan ketika rencana ini diumumkan awal tahun ini: Indonesia menghadapi sejumlah tantangan, termasuk pemulihan ekonomi dari pandemi COVID-19. Kelihatannya pingsan. Tantangan selalu ada dan pemilu memungkinkan pemilih menentukan cara terbaik untuk menghadapinya. Klaim Bambang juga patut dicurigai, karena dampak penundaan akan memungkinkan DPR yang sekarang untuk mempertahankan kekuasaan tanpa menghadapi para pemilih.
Ketika klaim ini muncul awal tahun lalu, klaim tersebut mendapat kecaman dan protes luas. Presiden Jokowi kemudian mengamini pendapat para pengunjuk rasa dan menegaskan pemilu harus dilaksanakan sesuai jadwal pada tahun 2024.
Namun kebangkitan klaim-klaim ini menunjukkan bahwa bukti ketidaksetujuan umum tidak cukup untuk mempengaruhi niat pembicara. Wakil Ketua Arsul Sani menyatakan komentar Bambang tidak mencerminkan pendapat resmi MPR dan penundaan harus melibatkan konsultasi dengan masyarakat.
Benar jika Arsul menyatakan keprihatinannya, namun kritik tersebut tidak cukup untuk mengkritik tindakan yang akan menghilangkan kemampuan rakyat dalam menentukan komposisi pemerintahannya. Penundaan apa pun akan meneruskan kecenderungan yang meresahkan yang dilakukan oleh Majelis untuk mengambil alih kekuasaan yang semakin besar dan konsultasi publik yang dapat dimanipulasi tidak dapat memberikan legitimasi yang diperlukan untuk mengesampingkan keinginan demokratis sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi.
Permasalahan yang dialami lembaga legislatif saat mengesahkan Revisi KUHP menunjukkan betapa besarnya keengganan mereka terhadap keterlibatan masyarakat sipil. Meningkatnya kritik, baik secara internal di Indonesia maupun dari organisasi internasional termasuk PBB, menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi klaim anggota parlemen untuk mewakili kepentingan publik dan menghormati supremasi hukum.
Badan legislatif menepis keluhan-keluhan tersebut dengan menyatakan bahwa tindakan-tindakan mereka mewakili pelaksanaan kekuasaan yang sah dan bahwa ada upaya perlindungan untuk melindungi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengaruh yang meringankan dari Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, klaim ini salah.
Badan legislatif telah bertindak untuk mengekang independensi Mahkamah Konstitusi, yang terakhir adalah dengan memecat Hakim Aswanto secara efektif. Penggantian Aswanto diberlakukan atas dasar hukum yang lemah, dengan tujuan yang terang-terangan untuk membungkam kritik terhadap tindakan legislatif. Upaya lebih lanjut untuk melemahkan kewenangan Mahkamah terus berlanjut, termasuk penulisan ulang Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan Hakim untuk bertindak sebagai perwakilan dari cabang pemerintahan yang menunjuk mereka, yang dapat ditinjau ulang dan diberhentikan jika mereka gagal menyenangkan majikannya.
Ketiga cabang pemerintahan tersebut berada dalam suatu tindakan penyeimbangan yang rumit, yang dirancang untuk mencegah setiap cabang menjalankan kekuasaan yang inkonstitusional. Mensterilkan mahkamah konstitusi merupakan sebuah pukulan berat terhadap skala keadilan, dan memberikan keseimbangan kekuasaan kepada badan legislatif. Meskipun lembaga eksekutif diharapkan mengambil tindakan untuk mengekang tindakan berlebihan tersebut,
Jokowi gagal melawan perampasan kewenangan yang dilakukan legislatif. Eksekutif, tentu saja, terikat pada badan legislatif sampai batas tertentu, tetapi kenyamanan mereka terhadap penyalahgunaan kekuasaan ini membuat gagasan pemisahan kekuasaan menjadi konyol. Tuduhan bahwa kelambanan Jokowi terkait dengan pernikahan saudara perempuannya dengan Hakim Agung Anwar Usman menambah kesan bahwa hubungan antar lembaga pemerintahan telah mencapai kondisi yang tidak nyaman.
Konflik kepentingan di sini memerlukan setidaknya penilaian yang cermat terhadap prosedur di masa depan dan perhatian penuh untuk memastikan bahwa transparansi dan penghormatan terhadap hukum tetap menjadi semboyan pemerintah.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Jokowi telah menyetujui tindakan keras terhadap lembaga peradilan dan meskipun sejauh ini ia menentang perubahan tanggal pemilu, DPR dapat menawarkan godaan untuk dua tahun lagi kekuasaan presiden. Pernyataan Bambang baru-baru ini yang membangkitkan kembali naga penundaan pemilu menunjukkan bahwa kepentingan Jokowi mungkin terletak pada pemberdayaan lebih lanjut badan legislatif yang sudah tidak terkendali.
Jika pemilu ditunda, karena adanya keberatan dari pengawas pemerintah dan masyarakat umum, maka Jokowi akan mencapai perluasan kewenangan yang tidak selayaknya diperoleh tanpa harus menghadapi pengawasan demokratis yang penting bagi pemerintahan yang adil.
Pihak yang paling diuntungkan dari penundaan ini adalah pihak legislatif. Tanpa terikat oleh ikatan konstitusional atau akuntabilitas demokratis, mereka akan mampu melanjutkan program tindakan hukum yang telah mengakibatkan terkikisnya hak-hak individu dan jaminan konstitusional. Ketika Jokowi tertidur di depan kemudi dan Mahkamah Konstitusi dihantam tiang kapal, mereka akan bebas mengarungi kapal negara semakin jauh ke perairan yang lebih gelap dan penuh badai.
Indonesia adalah negara demokrasi yang relatif muda dan otoritas lembaga-lembaganya tidak sesuai dengan tradisi yang sudah ada selama berabad-abad. Mungkin hal ini memudahkan para politisi untuk menerima konsep bahwa tindakan mereka sah, bahkan ketika mereka menginjak-injak Konstitusi yang memberi mereka wewenang.
Namun negara-negara demokratis di seluruh dunia telah menyadari perlunya memasukkan kekuatan legislatif terpilih ke dalam struktur hukum. Konstitusi hadir untuk mengatur hal ini dan Mahkamah Konstitusi untuk memastikan bahwa Konstitusi dihormati. Pengadilan dapat membatasi pelaksanaan kekuasaan yang tidak terkekang, namun juga memberikan legitimasi.
Badan legislatif harus menyadari bahwa Mahkamah Konstitusi harus tetap independen dan imparsial. Dibutuhkan cabang eksekutif yang mau memimpin dengan integritas dan kejujuran. Dibutuhkan pemilu yang memungkinkan rakyat melaksanakan kehendak demokratisnya.
Menawarkan suap untuk menambah kekuasaan pada satu cabang pemerintahan dan menghambat cabang pemerintahan lainnya, serta menolak peran rakyat dalam menentukan pemerintahannya sendiri, tidak akan menghasilkan apa-apa.
***
Patrick Grene, Juris Doctor di William & Mary Law School di Williamsburg, Amerika Serikat, dan Haykal, calon master hukum ketatanegaraan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, merupakan peneliti di Pusat Kajian Konstitusi (PUSaKO). Universitas Andalas.