Inflasi semakin parah karena Indonesia bersiap menghadapi biaya transportasi yang membengkak

4 Oktober 2022

JAKARTA – Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan pada pertemuan bulanannya minggu lalu untuk menaikkan suku bunga kebijakannya (7-day reverse repo rate atau 7-DRRR) sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen.

Kenaikan sebesar 50 bps, lebih tinggi dari perkiraan sebagian besar analis yang memperkirakan kenaikan bertahap, sesuai dengan kenaikan sebesar 75 basis poin yang dibuat oleh Federal Reserve AS pada Rabu pagi untuk melawan inflasi.

Ketika Amerika mengalami inflasi yang tinggi, lokomotif ekonomi dunia lainnya, Tiongkok, justru mengalami perlambatan. Munculnya kembali wabah C0VID-19 di Tiongkok telah memaksa pemerintah menutup beberapa pusat produksi besar, yang menyebabkan penurunan produksi dan kenaikan harga.

Negara-negara Eropa terancam krisis energi akibat minimnya pasokan gas dari Rusia. Ada kekhawatiran mengenai resesi ekonomi dan tingginya inflasi global.

Oleh karena itu, keputusan BI untuk menaikkan suku bunga kebijakannya dapat dilihat sebagai langkah yang sudah matang, bersifat preemptif, dan berwawasan ke depan untuk mengatasi tingginya ketidakpastian perekonomian global. Sebagai sistem perekonomian terbuka, Indonesia tentu rentan terhadap faktor eksternal. Kenaikan suku bunga merupakan langkah moneter untuk mengurangi ekspektasi inflasi yang disebabkan oleh dinamika faktor perekonomian global.

Pengendalian inflasi inti merupakan target jangka pendek dari kendala moneter BI karena inflasi inti dan inti diperkirakan akan meningkat akibat dampak putaran kedua kenaikan harga bahan bakar yang terjadi baru-baru ini.

Kenaikan suku bunga kebijakan juga bertujuan untuk memperkuat nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya, sehingga membatasi arus keluar modal (capital outflow) dari saham dan obligasi, sekaligus menarik aliran modal baru untuk memanfaatkan perbedaan suku bunga yang besar.

Cadangan devisa Indonesia turun dari US$144,9 miliar pada akhir tahun 2021 menjadi $132,2 miliar pada Agustus.

Kebijakan pembatasan uang, meskipun menaikkan biaya pinjaman, tidak terlalu mengganggu pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Perekonomian diperkirakan masih tumbuh sebesar 5,4 persen tahun ini, naik signifikan dari 3,7 persen pada tahun 2021.

Mengingat ketidakpastian perekonomian global dan meningkatnya kekhawatiran terhadap peningkatan risiko resesi ekonomi, kenaikan suku bunga kebijakan juga merupakan waktu yang tepat untuk menopang ekspektasi inflasi dan nilai tukar rupiah agar lebih dapat diprediksi.

Prediktabilitas inflasi dan nilai tukar tentu memudahkan pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Keputusan produsen mengenai usahanya selalu dikaitkan dengan prospek harga jual dan harga input.

Demikian pula perilaku konsumen selalu dipengaruhi oleh keadaan daya belinya, yang selanjutnya dipengaruhi oleh inflasi dan nilai tukar. Kombinasi aktivitas produsen dan konsumen menentukan pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, kunci menjaga stabilitas (inflasi dan nilai tukar) serta pemulihan ekonomi terletak pada kepercayaan seluruh pelaku ekonomi. Pada akhirnya, stabilitas dan pertumbuhan saling mendukung.

***

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta dan Direktur Penelitian pada Lembaga Sosial Ekonomi dan Bisnis Pendidikan (SEEBI).

slot

By gacor88