21 Juli 2023
JAKARTA – Mahkamah Agung melarang pengadilan di tingkat yang lebih rendah untuk mengabulkan permintaan apa pun untuk melegalkan perkawinan beda agama sebagai persyaratan pencatatan di kantor catatan sipil, sehingga menghilangkan harapan bahwa negara akan memperbolehkan dan memfasilitasi perkawinan beda agama.
Larangan itu tertuang dalam surat edaran yang dikeluarkan pada Senin. Surat yang ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin itu memerintahkan hakim menjunjung Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan 1974. Undang-undang menyatakan bahwa suatu perkawinan hanya dapat dianggap sah apabila dilakukan menurut agama yang dianut oleh kedua mempelai.
“Pengadilan tidak dapat mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antara orang yang berbeda keyakinan dan keyakinan,” tulis pengadilan dalam surat edarannya.
Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan tahun 2006, pasangan suami istri dapat mencatatkan perkawinannya di Kantor Keagamaan (KUA) bagi umat Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-Muslim. Undang-undang menyatakan bahwa pasangan beda agama juga dapat mendaftarkan perkawinannya di kantor catatan sipil setelah mendapat izin dari pengadilan.
Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran tersebut beberapa bulan setelah pengadilan negeri di Jakarta menjadi berita utama karena mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antara pria Kristen dan wanita Muslim.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan pada bulan Juni dan mengabulkan permintaan pasangan tersebut untuk mencatatkan pernikahan mereka. Hakim ketua Bintang AL kemudian berargumen bahwa pernikahan beda agama adalah wajar dan mungkin terjadi mengingat kondisi geografis negara dan heterogenitas penduduk, sebagaimana tertulis dalam putusan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggugat larangan Mahkamah Agung dalam memberikan kepastian hukum dan menutup celah hukum pernikahan beda agama. “Semua pihak harus mentaati surat edaran tersebut, terutama hakim yang tidak memahami atau berpura-pura tidak memahami UU Perkawinan,” kata Ketua Fatwa MUI Asrorun Ni’am dalam keterangannya, Selasa.
Namun surat edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan kemunduran bagi jaminan bahwa pernikahan pasangan beda agama dapat diakui oleh negara, menurut kelompok hak asasi manusia Setara Institute.
“Surat edaran tersebut menutup segala kemajuan yang dicapai oleh lembaga peradilan negara dalam menjamin hak-hak warga negara yang berbeda latar belakang,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan, Rabu.
Mahkamah Agung tidak perlu mengeluarkan surat edaran seperti itu, kata Ahmad Suaedy, dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia di Jakarta. Islam, tambahnya, mengakui beragam penafsiran mengenai pernikahan beda agama, dan sebagian ulama sepakat bahwa agama membolehkannya.
Mahkamah Konstitusi sebelumnya menolak permohonan yang menggugat ketentuan perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974. Pada bulan Januari, sembilan hakim pengadilan dengan suara bulat menolak petisi yang diajukan oleh E. Ramos Petege, seorang warga Papua yang menentang undang-undang tersebut karena tidak mengakomodasi persatuan antara orang-orang yang berbeda keyakinan.
Ramos, seorang pria Katolik, mengajukan petisi tersebut setelah keinginan pernikahannya selama tiga tahun dengan pasangan Muslimnya dibatalkan.
Majelis hakim berpendapat, UU Perkawinan hanya memperlakukan pernikahan dari sudut pandang agama. Karena Indonesia bukan negara teokratis, maka perkawinan hanya bisa disetujui oleh lembaga agama.