25 Agustus 2023
JAKARTA – Pada pertemuan moneter bulanan terakhir yang berakhir pada hari Kamis, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan tidak berubah selama tujuh bulan berturut-turut karena ketidakpastian global.
Memberikan pengarahan kepada pers setelah pertemuan tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan bahwa acuan suku bunga reverse repo tujuh hari harus dipertahankan pada level saat ini.
“Keputusan mempertahankan BI 7-day repo rate (BI7DDR) sebesar 5,75 persen konsisten dengan kebijakan moneter untuk memastikan inflasi berada dalam kisaran sasarannya,” kata Perry.
Target indeks harga konsumen (CPI) bank sentral untuk tahun ini adalah 3 plus/minus 1 persen. Untuk tahun 2024 ditetapkan sebesar 1,5 hingga 3,5 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan awal bulan ini bahwa pertumbuhan CPI tahunan adalah 3,08 persen pada bulan Juli, turun dari 3,52 persen pada bulan Juni.
Setelah berbulan-bulan mengalami tekanan harga yang tinggi, inflasi di Indonesia tetap berada dalam kisaran BI sejak bulan Mei, ketika CPI tumbuh tepat sebesar 4 persen.
Angka pertumbuhan ekonomi terbaru juga solid, karena negara ini melampaui ekspektasi dengan pertumbuhan PDB kuartal kedua sebesar 5,17 persen, seperti yang diungkapkan BPS pada 7 Agustus.
Namun, kondisi perekonomian secara keseluruhan bukannya tanpa risiko, mengingat perlambatan perekonomian Tiongkok, mitra dagang utama Indonesia. Namun, Perry mengatakan perekonomian nusantara tetap solid, didorong oleh belanja domestik, dan bank sentral belum akan merespons dengan menurunkan suku bunga.
BI saat ini sedang menyusun skenario dasar (baseline) dimana Federal Reserve AS akan menaikkan kembali suku bunga dana federal sebesar 25 basis poin pada bulan September tahun ini.
Baca juga: Inflasi Indonesia turun hingga hampir di bawah 3 persen
Karena tekanan kenaikan suku bunga AS terhadap nilai tukar rupiah, BI mengatakan bahwa pihaknya fokus menjaga kestabilan mata uang dan mengindikasikan tidak ada rencana untuk mengubah BI7DDR setidaknya hingga akhir tahun ini.
Deposito berjangka valas mendapatkan daya tarik
Dalam arahannya, BI juga mencatat bahwa deposito berjangka valuta asing mulai ditarik sebagai respons terhadap peraturan baru yang mewajibkan perusahaan komoditas untuk menyimpan penerimaan ekspor (DHE) mereka di dalam negeri.
BI telah meluncurkan tujuh instrumen keuangan untuk tujuan tersebut.
Deputi Gubernur BI Aida Budiman dalam arahan yang sama mengatakan deposito DHE sudah mulai menunjukkan “tanda-tanda pemulihan”.
Dia mengatakan simpanan tersebut meningkat dua kali lipat sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 36/2023, berlaku sejak 1 Agustus.
Baca juga: Pemerintah membicarakan insentif bagi eksportir untuk mempertahankan pendapatan di RI
Salah satu alat yang disiapkan BI memungkinkan pendapatan ekspor disimpan dalam rekening deposito khusus untuk dijadikan jaminan kredit dalam rupiah dan swap mata uang jika eksportir membutuhkan rupiah di rekeningnya.
Sebagai insentif, bank sentral menawarkan suku bunga yang kompetitif untuk simpanan eksportir, yang dirancang agar lebih tinggi dibandingkan suku bunga yang ditawarkan oleh bank asing.
Pemerintah juga menawarkan tarif pajak yang jauh lebih rendah atas penerimaan ekspor yang disimpan di negara tersebut dibandingkan deposito berjangka pada umumnya, yang dikenakan pajak sekitar 20 persen.
Deposito berjangka pendapatan luar negeri yang berjangka waktu satu bulan dikenakan pajak sebesar 10 persen, namun tarifnya turun menjadi 2,5 persen untuk tenor enam bulan dan menjadi nol untuk tenor lebih dari enam bulan.
Kementerian Keuangan bahkan menawarkan tarif pajak yang lebih rendah jika eksportir mengkonversi pendapatannya ke rupiah, katanya, seperti pajak 7,5 persen untuk deposito sebulan dan tidak ada pajak untuk tenor enam bulan atau lebih.
Produk lainnya termasuk surat promes dalam mata uang asing, yang dapat digunakan untuk swap dan jaminan utang.