28 Agustus 2023
JAKARTA – Negara-negara anggota ASEAN telah berjanji untuk meningkatkan perdagangan di antara mereka sendiri sambil menarik lebih banyak infrastruktur dan pendanaan ramah lingkungan untuk melindungi kawasan ini dari perlambatan ekonomi global dan meningkatnya risiko geopolitik.
Pada sesi pembukaan Pertemuan Menteri dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) pada hari Jumat, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ketegangan geopolitik menyebabkan ketidakpastian dan mungkin memburuk, menunjukkan bahwa semua negara anggota ASEAN merasakan ketegangan antara Amerika Serikat. Amerika dan Tiongkok.
“Hal ini dapat menyebabkan dunia menjadi semakin terfragmentasi. Isu atau istilah ‘deglobalisasi’ sebenarnya semakin banyak dibicarakan oleh para pembuat kebijakan dan ekonom,” tambahnya.
Saat memberikan pidato pada konferensi pers setelahnya, Menteri Keuangan juga mencatat bahwa pertumbuhan Tiongkok yang lebih lambat dari perkiraan dan risiko-risiko negatif terhadap perekonomian AS dapat mempengaruhi ekspor dari wilayah tersebut pada tahun depan.
“Jadi fokus pertemuan ini adalah bagaimana ASEAN bisa menciptakan ketahanan,” ujarnya.
AFMGM kedua di bawah kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023 mencatat bahwa kawasan ini terus menjadi “titik terang” di tengah pertumbuhan global yang lemah, didukung oleh ketahanan permintaan domestik dan pemulihan yang berkelanjutan dalam industri pariwisata.
Namun, mereka menekankan bahwa negara-negara anggota ASEAN harus tetap waspada, mengingat perkiraan pertumbuhan yang sedikit lebih rendah sebesar 4,5 persen untuk tahun ini akibat melemahnya permintaan ekspor. Tingkat inflasi di beberapa negara anggota juga diperkirakan akan tetap tinggi karena kenaikan harga input, peningkatan permintaan jasa dan tekanan mata uang yang berkelanjutan.
Menurut Sri Mulyani, faktor-faktor ini menyoroti pentingnya memperkuat bauran kebijakan makroekonomi, yang memungkinkan negara-negara anggota menggunakan semua instrumen yang ada untuk menjamin stabilitas ekonomi, bukan hanya sekedar suku bunga.
“Kita harus menjamin stabilitas di tingkat makro, artinya arah fiskal dan moneter harus sinkron,” kata Menkeu.
Ia juga menekankan perlunya memantau stabilitas keuangan kawasan, meskipun ada pernyataan dari Kantor Penelitian Makroekonomi ASEAN+3 (AMRO) yang menyebut keuangan regional cukup stabil.
“Kita tidak boleh menganggap remeh hal ini. Pengambil kebijakan harus melihat semua potensi kerentanan di sektor keuangan,” kata Sri Mulyani.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ketegangan geopolitik antara AS dan Tiongkok dapat memberikan peluang bagi investasi asing langsung (FDI) karena negara lain mungkin memilih untuk merelokasi bisnisnya ke tujuan ASEAN.
“Di sini ada capital outflow, tapi ada juga inflow dalam bentuk FDI,” ujarnya. “ASEAN dan India adalah dua wilayah yang dipandang sebagai penerima manfaat potensial dari situasi ini.”
Namun untuk memanfaatkan potensi tersebut, Sri Mulyani mengatakan anggota ASEAN harus menggunakan segala cara untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi perdagangan dan investasi.
“Di ASEAN kita harus bekerja sama. Kadang kita juga berkompetisi, tapi kompetisinya (harus dilakukan) secara sehat,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya perdagangan regional dan bagaimana perjanjian transaksi mata uang lokal (LCT) yang ditandatangani selama AFMGM dapat menjadi katalis untuk meningkatkan perdagangan.
Pada hari Jumat, Bank Indonesia, Bank of Thailand dan Bank Negara Malaysia sepakat untuk memperluas transaksi LCT mereka untuk mencakup penyelesaian tidak hanya perdagangan dan investasi, tetapi juga pembayaran dan pembelian produk keuangan.
AFMGM kedua juga melihat Vietnam dimasukkan dalam nota kesepahaman (MoU) mengenai konektivitas pembayaran regional (RPC) yang ditandatangani oleh Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina tahun lalu. Kerangka kerja RPC menjabarkan mekanisme desain dan pengujian untuk mengintegrasikan berbagai metode pembayaran, seperti kode QR, penyelesaian kotor waktu nyata (RTGS), dan sistem pembayaran cepat.
Potensi pembiayaan ramah lingkungan
Masalah struktural terpenting yang perlu diatasi oleh anggota ASEAN, kata Sri Mulyani, adalah infrastruktur dan transisi energi. Meskipun keduanya dapat memacu pertumbuhan ekonomi, pembiayaannya bisa jadi sulit, katanya.
“Sektor infrastruktur di ASEAN membutuhkan pembiayaan sebesar US$280 miliar per tahun. Namun hal ini tidak bisa ditutupi oleh dana pemerintah dan swasta yang ada karena masih terdapat gap sebesar $19 miliar per tahun,” jelas Sri Mulyani.
Oleh karena itu, diskusi selama AFMGM terfokus pada bagaimana ASEAN dapat memobilisasi pembiayaan infrastruktur dari luar kawasan, katanya.
Untuk meningkatkan kredibilitas proyek infrastruktur di mata investor internasional dan untuk menarik lebih banyak minat dari mitra keuangan ramah lingkungan, pertemuan tersebut mendukung reposisi Dana Infrastruktur ASEAN (AIF) menjadi dana ramah lingkungan.
Para anggota blok tersebut sepakat untuk menyelaraskan AIF dengan versi terbaru dari Taksonomi ASEAN untuk Keuangan Berkelanjutan, untuk melibatkan banyak pihak sebagai penyandang dana utama, untuk melakukan studi yang lebih luas mengenai kontribusi dana tersebut terhadap rekapitalisasi, dan untuk mengoptimalkan modal yang ada, termasuk melalui perbaikan aset .
“Taksonomi ASEAN versi 2 menjadi contoh bagaimana kami berupaya mewujudkan transisi yang adil, terjangkau, dan teratur. Ini adalah yang pertama di dunia yang mengklasifikasikan transisi energi ke dalam klasifikasi hijau baru,” tambah Sri Mulyani.
Taksonomi baru ini akan dengan jelas mendefinisikan proyek ramah lingkungan sebagai bagian dari transisi energi, sekaligus memberikan jaminan terhadap tuduhan greenwashing, namun ia menekankan interoperabilitas taksonomi ASEAN dengan klasifikasi serupa di kawasan lain.
“Ini adalah topik yang banyak dibicarakan, sehingga tidak mungkin membuat taksonomi hanya untuk ASEAN. Klasifikasi tersebut harus dapat dioperasikan dengan taksonomi lainnya. Jika itu terjadi, pemodal akan merasa percaya diri untuk masuk ke wilayah tersebut,” ujarnya.