13 September 2022
JAKARTA – Pemilu legislatif dan presiden tinggal 17 bulan lagi. Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden tanpa harus berkoalisi. Pada saat yang sama, PDI-P setidaknya memiliki tiga tantangan yang harus diselesaikan menjelang pemilu karena akan menentukan masa depan partai.
Pertama, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri masih bersikeras agar putrinya Puan Maharani ikut serta dalam pemilihan presiden. Masalahnya, jajak pendapat masyarakat secara konsisten menunjukkan tingkat elektabilitas Puan yang rendah, tertinggal jauh dari kandidat populer, termasuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang juga kader PDI Perjuangan.
Menurut saya, rendahnya nilai Puan setidaknya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, rekam jejaknya sebagai legislator dan menteri sama sekali tidak mengesankan. Kedua, masih adanya penolakan kuat terhadap calon presiden perempuan di kalangan umat Islam, mayoritas penduduk Indonesia.
Tantangan kedua adalah usia Megawati. Pemimpin utama partai ini akan berusia 77 tahun pada tahun 2024, namun partai tersebut, apalagi Megawati sendiri, belum mulai membicarakan suksesi.
Tentu saja, para pendukung PDI-P akar rumput ingin partai tersebut tetap berada di antara keturunan presiden pertama Indonesia, Sukarno. Mereka percaya bahwa keturunan Sukarno adalah penjaga sah Marhaenisme, ideologi partai yang menekankan persatuan nasional, budaya, ekonomi kolektivis, dan hak-hak demokrasi sebagai antitesis terhadap liberalisme.
Namun, hampir tidak realistis mengharapkan ketiga anak Megawati, termasuk Puan, akan berbagi kekuasaan dalam kepemimpinan partai di masa depan.
Ketiga, Presiden Joko “Jokowi” Widodo akan mengakhiri masa jabatan lima tahun keduanya pada Oktober 2024. Saat ia meninggalkan jabatannya, ia akan berusia 63 tahun, yang masih dalam usia produktif sebagai politisi.
Jokowi kemungkinan akan tetap populer dan berkuasa bahkan setelah masa jabatan presidennya berakhir. Dia akan memainkan peran lebih dari sekedar raja. Meski bukan anggota PDI-P, ia akan mendapat dukungan baik dari internal partai selama beberapa tahun ke depan. Jokowi dan Megawati telah membangun ikatan pribadi yang kuat, salah satunya karena ia tahu cara menghibur Megawati, termasuk dengan mengangkatnya ke posisi teratas di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Saya yakin Megawati punya rencana sendiri soal hubungannya ke depan dengan Jokowi. Besar kemungkinannya dia ingin agar Jokowi menempati posisi tinggi di partainya, seperti ketua eksekutif. Namun berdasarkan pengalamannya sendiri, ia juga mengetahui bahwa mengendalikan Jokowi itu sulit.
Megawati, presiden kelima Indonesia, seharusnya tahu peluang Puan kecil untuk memenangkan Pilpres 2024, namun sejauh ini Megawati lebih memilih berperan sebagai ibu yang baik yang selalu menyemangati putrinya untuk terus berusaha. Megawati, putri Sukarno, menyadari hampir mustahil baginya untuk mempertahankan partai sebagai bisnis keluarga setelah pemilu 2024. Baik kedua putranya Mohammad Rizki Pratama, Mohammad Prananda Prabowo, maupun putrinya Puan tidak akan siap mengambil alih kepemimpinan partai jika terjadi sesuatu pada ibu mereka. Meski Rizki tak tertarik dengan dunia politik, Prananda memilih diam di belakang layar sebagai penulis pidato Megawati.
Selama Megawati masih memimpin, ia dapat menjalankan partai seperti seorang diktator, dengan seluruh pengurus dan anggota partai tetap setia kepadanya. Dan ketika dia sakit parah atau bahkan meninggal, dia akan meninggalkan kekosongan kepemimpinan karena tidak ada orang nomor dua atau tiga yang berhak menduduki takhta partai.
PDI-P adalah kelanjutan dari PDI – yang merupakan penggabungan beberapa partai termasuk Partai Nasional Indonesia pimpinan Sukarno – salah satu dari tiga partai politik yang diizinkan Suharto berdiri selama 32 tahun kediktatorannya. Pada Juli 1996, Soeharto menyerang PDI, atau tiga tahun setelah Megawati memenangkan kepemimpinan partai. Megawati menjadi ikon demokrasi hingga Soeharto lengser pada Mei 1998.
Pada tahun 1999, PDI menjadi PDI-P dan meraih 33,74 persen suara atau 153 kursi legislatif dalam pemilu legislatif demokratis pertama di negara tersebut. Namun Megawati hanya bisa menjadi wakil presiden karena partai-partai Islam memilih ulama buta Abdurrahman “Gus Dur” Wahid menjadi presiden keempat negara tersebut. Megawati menggantikan Gus Dur pada Juli 1999 setelah Majelis Volksraadgewende memakzulkannya.
Pada tahun 2004, Indonesia mengadakan pemilihan presiden langsung yang pertama, di mana petahana Megawati kalah dari mantan Menteri Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, PDI-P meraih kursi terbanyak atau 109 kursi DPR.
Yudhoyono mengalahkan Megawati untuk kedua kalinya pada tahun 2009, sementara PDI-P hanya mampu menempati posisi ketiga dalam pemilu legislatif dengan perolehan 95 kursi.
Pada tahun 2014, pada menit-menit terakhir, Megawati mendukung Gubernur Jakarta saat itu, Jokowi, sebagai calon presiden melawan Prabowo Subianto. PDI-P kembali menjadi partai terbesar dengan meraih 109 kursi DPR. Pada pemilu 2019, Jokowi memberikan kekalahan kedua berturut-turut kepada Prabowo, sementara PDI-P tetap mempertahankan partai nomor satu dengan 19,33 persen suara atau 128 kursi DPR.
Langkah apa yang perlu dilakukan Megawati untuk menghadapi tiga tantangan di atas?
Pertama, ia harus mempertimbangkan kembali pencalonan Puan dalam pemilihan presiden karena kecilnya peluangnya untuk menang. Kekalahan akan semakin mengikis popularitas PDI-P. Secara realistis, Puan bisa terpilih menjadi wakil presiden meski tidak mudah juga.
Bukan tidak mungkin keputusan di menit-menit terakhir terulang seperti yang terjadi pada 2014, saat Megawati mencalonkan Ganjar sebagai calon presiden. Hal ini bisa terjadi, terutama jika Presiden Jokowi menyatakan preferensinya secara jelas.
Kedua, naiknya Jokowi ke hierarki partai setidaknya akan menjadi solusi sementara untuk mencegah kekosongan kekuasaan jika terjadi sesuatu pada Megawati. Artinya, tinggal menunggu waktu saja sebelum marga Sukarno kehilangan kendali mutlak atas PDI-P.
*** Penulis adalah editor senior di The Jakarta Post.