6 Juni 2023
JAKARTA – Pemerintah telah mengeluarkan peringatan terhadap bahaya infeksi rabies pada manusia, yang telah menewaskan hampir selusin orang tahun ini di tengah meningkatnya jumlah kasus gigitan anjing gila yang disebabkan oleh gangguan kampanye vaksinasi hewan yang disebabkan oleh pandemi virus corona.
Hingga April tahun ini, Kementerian Kesehatan mencatat ada 31.000 kasus orang yang digigit hewan terduga rabies, yang sebagian besar adalah anjing. Dari jumlah tersebut, sekitar 23.000 orang langsung menerima suntikan rabies, dan 11 orang meninggal. Kasus tersebut paling banyak dilaporkan di Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan.
Tahun lalu terdapat 104.000 kasus orang yang digigit hewan rabies, mengakibatkan 102 kematian akibat rabies, yang merupakan angka tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah kematian akibat gigitan hewan rabies pada tahun lalu meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2021, ketika sebagian besar orang tinggal di rumah selama puncak pandemi COVID-19.
“(Pada tahun 2020 dan 2021) sebagian besar orang berada di rumah, sehingga (kasus gigitan hewan rabies) lebih sedikit,” kata Direktur Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi dalam konferensi pers baru-baru ini. . “Tetapi pada tahun 2022, ketika (pembatasan pandemi) dilonggarkan dan orang-orang mulai meninggalkan rumah mereka, terjadi lonjakan besar.”
Saat itulah pihak berwenang melihat adanya hubungan antara gigitan hewan gila dan pandemi virus corona, yang mengganggu program vaksinasi hewan. Hal ini menyebabkan penurunan efektivitas vaksin rabies sejak tahun lalu, sehingga anjing lebih mungkin tertular virus rabies dan menularkan virus tersebut ke manusia melalui gigitan atau cakaran.
Imran mengatakan, sekitar 95 persen penularan rabies pada manusia di Indonesia disebabkan oleh anjing rabies, sementara rubah, rakun, dan tikus merupakan sebagian kecil kasusnya.
Rabies merupakan penyakit endemik di 28 kabupaten, atau hampir 75 persen di seluruh negeri. Dua kabupaten di NTT, Sikka dan Timor Tengah Selatan, telah menyatakan “insiden kesehatan luar biasa” (EHI) rabies.
Baca juga: Rabies: Ancaman Pariwisata di Nusa Tenggara Timur
Berbeda dengan Sikka, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang terletak di Pulau Timor, bertetangga dengan Timor Leste, tidak pernah melaporkan adanya infeksi rabies, menurut Kementerian Kesehatan.
“Di Pulau Timor belum pernah ada kasus rabies sebelumnya. Jadi, masyarakat di sana pun belum mengetahui gejala-gejala anjing atau manusia yang terjangkit rabies (tertular rabies). Makanya kita perlu meningkatkan kewaspadaan,” kata Imran.
Gejala infeksi rabies pada manusia antara lain demam, sakit kepala, susah tidur, dan nyeri otot. Pada tahap akhir infeksi rabies, pasien akan mulai mengalami hidrofobia dan fotofobia, yaitu rasa takut terhadap air dan cahaya, sebelum akhirnya meninggal.
Orang-orang yang telah digigit oleh hewan yang diduga rabies didesak untuk segera mencari pertolongan medis di klinik setempat, di mana mereka bisa mendapatkan vaksin atau serum anti-rabies. Awal tahun ini, Kementerian Kesehatan mendistribusikan 227.000 vaksin dan 1.500 serum untuk perawatan pasca pajanan secara nasional.
Rabies pada manusia merupakan salah satu angka kematian tertinggi dibandingkan penyakit apa pun, hampir 90 persen begitu gejala muncul, menurut M. Syahril dari Rumah Sakit Penyakit Menular (RSPI) Sulianti Saroso yang juga juru bicara Kementerian Kesehatan.
Kematian dapat dicegah jika vaksin atau serum anti-rabies diberikan setelah gigitan tetapi sebelum gejala muncul.
Dalam upaya mencapai target pemerintah menghilangkan rabies pada tahun 2030, Imran mengatakan pihak berwenang akan memprioritaskan vaksinasi anjing peliharaan, anjing liar, dan anjing liar, karena vaksinasi anjing tahunan dapat menghilangkan rabies, sehingga hampir semua kasus rabies pada manusia dapat dihentikan.
Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan hal tersebut.
“Setelah diskusi kami dengan Kementerian Pertanian, (kami menyadari bahwa) target (saat ini) untuk memvaksinasi 70 persen populasi anjing tidak akan cukup. Jadi harus kita tingkatkan sampai 90 persen,” kata Imran.
Namun cakupan vaksinasi anjing di provinsi endemis rabies masih rendah. Misalnya, tingkat vaksinasi di NTT yang mencapai 27 persen.
“Kami berharap komunitas pemilik anjing juga ikut berpartisipasi dalam inisiatif vaksinasi anjing,” kata Syahril.
Kementerian Kesehatan juga telah meminta pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan populasi anjing liar di wilayah mereka, baik dengan memastikan bahwa anjing-anjing tersebut tidak berkeliaran dengan bebas, atau dengan memusnahkan anjing-anjing tersebut.