10 Juli 2023
JAKARTA – Menteri Senior Mahfud MD akan mengunjungi beberapa negara Eropa untuk menjangkau para pengasingan politik yang tidak memiliki kewarganegaraan setelah tragedi tahun 1965. Namun, rencana tersebut mendapat tanggapan hangat dari orang-orang buangan politik yang tinggal di luar negeri.
“Saya akan mengunjungi beberapa negara Eropa (untuk menjangkau orang-orang buangan politik) yang ingin kembali ke negaranya dan bersedia mendapatkan kembali kewarganegaraannya,” kata Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan dalam pertemuan Selasa kepada regional. perwakilan. Dewan (DPD).
Namun Mahfud tidak menyebutkan kapan akan memulai tur tersebut.
Kunjungannya ini akan menjadi bagian dari komitmen baru pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk memperbaiki kesalahan masa lalu melalui tindakan non-yudisial, sebuah perubahan kebijakan besar di negara ini, yang telah lama mengedepankan isu hak asasi manusia.
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah telah merancang skema untuk memulihkan hak-hak orang-orang yang berada di pengasingan politik, sebagian besar adalah pelajar yang mendapat beasiswa, yang dijadikan tidak memiliki kewarganegaraan karena keterkaitan mereka, atau dugaan keterkaitan, dengan upaya kudeta tahun 1965 yang digunakan. sebagai dalih untuk pembersihan berdarah komunis.
Meskipun fokus utama pemerintah adalah memulihkan hak-hak konstitusional dan sipil para pengasingan politik, pemerintah juga berkomitmen untuk memberikan kompensasi sosial dan kesehatan kepada para korban 11 pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang terjadi antara tahun 1965 dan 2003.
Pemerintah, kata Mahfud, harus turun tangan demi kemanusiaan, karena 60 tahun telah berlalu sejak para pengungsi terpaksa tinggal di luar negeri, dan banyak dari mereka yang sudah meninggal sebelum sempat pulang.
Menurut data terakhir pemerintah, setidaknya 130 orang eksil politik yang dicabut kewarganegaraan Indonesianya pasca peristiwa 1965 saat ini tinggal di 12 negara asing. Jumlah tersebut lebih tinggi dari temuan awal pemerintah.
Pada bulan Januari, Presiden Jokowi mengakui dan menyatakan penyesalan atas 12 pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembersihan anti-komunis tahun 1965-66, tragedi Semanggi I dan Semanggi II terkait serta pembunuhan dan penyiksaan yang terjadi selama tragedi Rumoh Geudong di Aceh.
Di tengah kritik bahwa hal ini berarti pemerintahannya akan berhenti mencoba membawa para pelaku ke pengadilan, pemerintah telah berulang kali menegaskan bahwa penyelesaian di pengadilan dan cara-cara non-yudisial dapat berjalan beriringan.
Namun para eksil politik yang tinggal di luar negeri tidak terkesan dengan rencana Mahfud untuk mengunjungi mereka, atau dengan langkah pemerintah untuk menyelesaikan kekejaman di masa lalu melalui cara-cara non-yudisial.
“Saya pikir kunjungan Mahfud hanya akan menambah garam pada luka yang ada,” kata Tom Ilyas, 85 tahun, seorang pengasingan politik. Jakarta Post di hari Rabu.
Tom belajar teknik pertanian di sebuah universitas di Tiongkok selama pembersihan dan tidak dapat kembali ke rumah setelah misi Indonesia di Beijing menyita paspornya.
Tom, yang kini menjadi warga negara Swedia, mengatakan kunjungan tersebut tidak diperlukan jika pemerintah tidak mengungkapkan kebenaran di balik pencabutan paspornya pada tahun 1965 dan membawa pelakunya ke pengadilan.
Sungkono, 84 tahun, yang tinggal di kota Amstelveen, Belanda, juga menuntut pemerintah mengungkapkan kebenaran di balik pencabutan paksa kewarganegaraannya dan membawa pelakunya ke pengadilan.
Pada tahun 1962, Sungkono terbang ke Moskow, yang saat itu merupakan bagian dari Uni Soviet, untuk belajar teknik mesin dengan beasiswa. Pada pertengahan tahun 1966, paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia.
Sungkono mengatakan, tawaran pemerintah untuk memulihkan kewarganegaraan atau memberikan izin tinggal khusus saja tidak cukup. Ia mempertanyakan bagaimana pemerintah menjamin keselamatannya sekembalinya ke kampung halamannya di Langkat, Sumatera Utara, karena sentimen anti-komunis terus berlanjut di Indonesia.
“Bagi saya (penawaran ini) tidak material. Pemerintah harus mengungkap kebenaran agar generasi muda mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada tragedi 1965,” ujarnya.