Naiknya harga minyak goreng memang tidak bisa dimaafkan bagi masyarakat awam Indonesia

13 Mei 2022

JAKARTA – Ketika negara-negara tetangga mengecam Indonesia karena gagal mengendalikan kebakaran hutan tahunan yang menyebabkan kabut asap menutupi lahan mereka dan mencekik rakyatnya, pemerintah dengan cepat menyalahkan petani kecil kelapa sawit sebagai pelaku bencana yang disebabkan oleh manusia. Namun banyak yang percaya, bahkan pejabat pemerintah sering kali bersikeras dalam percakapan pribadi, bahwa raksasa kelapa sawit tersebut tidak bersalah.

Salah satu kebakaran hutan terparah di Indonesia terjadi pada tahun 2019, membakar tidak kurang dari 1,64 juta hektar kawasan hutan yang tidak produktif atau tidak produktif dan 670.000 hektar lahan gambut. Kebakaran terjadi di Kalimantan Tengah, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jambi, Sumatera Selatan, dan Papua.

Pada tahun 2018, kebakaran hutan dan gambut menghancurkan 529.267 ha lahan.

Pada tahun 2015, kebakaran hutan menghancurkan 2,6 juta hektar hutan dan melepaskan 1,2 miliar ton CO2, yang merupakan setengah dari total emisi karbon negara tersebut pada tahun tersebut.

“Ada banyak spekulasi dalam pemberitaan bahwa kebakaran di Indonesia dipicu oleh aktivitas pembukaan lahan untuk mendirikan perkebunan. Pembukaan lahan untuk tujuan ini hanya menggambarkan sebagian situasi yang ada. Kebakaran yang tidak terkendali dengan mudah menyebar jauh melampaui area kebakaran yang dimaksudkan karena banyaknya lahan kosong yang mudah terbakar dan semak belukar yang terdegradasi, yang merupakan warisan dari deforestasi sebelumnya,” The Jakarta Post mengutip laporan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) pada tahun 2019 .

Setiap kali pemerintah menaikkan harga bahan bakar dan gas, masyarakat marah karena sudah bertahun-tahun kecanduan subsidi pemerintah, padahal Indonesia adalah net importir minyak. Ketika perusahaan listrik negara PT PLN mengumumkan kemungkinan kenaikan tarif listrik tahun lalu, masyarakat menolak, dengan alasan bahwa Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir batubara terbesar di dunia. Sebagian besar pembangkit listrik di negara ini menggunakan bahan bakar batu bara.

Pada bulan Januari tahun ini, produsen batubara memprotes keputusan pemerintah yang melarang ekspor batubara. Kebijakan berani itu diambil karena cadangan batu bara PLN semakin menipis. Produsen batubara menolak memenuhi kewajiban pasar domestik di tengah kenaikan harga batubara. Produsen yang sama meminta PLN membeli stok mereka ketika permintaan internasional sedang turun.

Para penambang batu bara jelas sudah banyak berinvestasi dan mendapat untung. Namun mereka tidak boleh melupakan degradasi lingkungan akibat aktivitas eksploitasi yang harus ditanggung seluruh bangsa. Seperti yang terjadi di Kalimantan, banyak tambang batu bara terbuka yang ditinggalkan dan mungkin menjadi penyebab terjadinya banjir besar di sana.

Industri kelapa sawit juga mengalami hal yang sama. Pemilik perkebunan kelapa sawit skala besar, menengah, dan kecil bisa berbangga karena bisa menjadi sumber pemasukan devisa bagi Indonesia berkat kenaikan harga komoditas tersebut. Namun mereka juga harus ingat bahwa seluruh negara menanggung dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh bisnis mereka.

Dalam webinar baru-baru ini yang diselenggarakan oleh Corona Mea Vos Estis (CMVE), sebuah asosiasi alumni seminari Katolik di Pematang Siantar, Sumatera Utara, para pembicara menyoroti besarnya skala ekspansi industri kelapa sawit di Indonesia. Namun mereka juga menggarisbawahi bahwa hampir semua kementerian dan lembaga pemerintah memandang penting bahwa para pelaku usaha harus mempunyai suara dalam pengambilan kebijakan terkait dengan bisnis yang menguntungkan. Terlalu banyak institusi yang mengaku mempunyai hak untuk menjalankan industri ini.

Menurut Tungkot Sipayung, dosen IPB University di Bogor, kelapa sawit merupakan komoditas paling kompetitif dibandingkan minyak kedelai dan minyak bunga matahari. Indonesia menguasai 59 persen produksi dunia, dan Malaysia menguasai 25 persen.

Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia mengalami kemajuan besar di bidang hilirisasi produk kelapa sawit. Pada tahun 2010, minyak sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit (CPKO) menyumbang 57 persen ekspor, sedangkan minyak sawit olahan dan minyak inti sawit menyumbang 38 persen. Komposisi tersebut berubah pada tahun 2021 ketika CPO hanya menyumbang 7 persen ekspor, sedangkan lebih dari 80 persen sudah dalam bentuk olahan minyak sawit. Pendapatan ekspor dari industri ini mencapai US$36,2 miliar pada tahun lalu.

Indonesia memiliki 16,38 juta ha perkebunan kelapa sawit di 22 provinsi. Empat puluh dua persen di antaranya merupakan milik petani kecil dan petani plasma yang luas lahannya sekitar 2 ha, sedangkan 52,5 persen dikuasai korporasi besar dan hanya 6 persen dikelola perusahaan perkebunan milik negara. Pada tahun 2021, Indonesia memproduksi 52 juta ton CPO dan CPKO.

Meski produksinya besar, pemerintah belum mampu mengendalikan harga minyak goreng, salah satu turunan CPO, selama lebih dari empat bulan. Masyarakat sulit memaafkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo atas kegagalannya menurunkan harga meskipun keputusan tegasnya melarang ekspor minyak sawit sampai pasokan dalam negeri terjamin dengan harga terjangkau.

Perintah Presiden tidak didengarkan. Harga minyak goreng terus meningkat.

Yang lebih meresahkan adalah perilaku raksasa kelapa sawit yang meremehkan perintah presiden. Kejaksaan Agung telah menahan tiga eksekutif produsen minyak goreng besar karena diduga menawarkan suap sebagai imbalan atas izin ekspor.

Raksasa kelapa sawit tersebut tanpa malu-malu menuntut pembebasan ketiga tersangka, dengan menyatakan bahwa mereka tidak bersalah. Mereka juga meminta pemerintah memberikan subsidi harga minyak goreng dalam negeri.

Setiap kali terjadi kebakaran lahan gambut, pemerintah menghubungkan bencana tersebut dengan tebang dan bakar yang dilakukan oleh petani kecil untuk membuka lahan. Cara tersebut merupakan cara termurah dan tercepat untuk memperluas perkebunan kelapa sawit.

Namun lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional seperti Greenpeace menduga korporasi besar juga terlibat dalam pembakaran hutan karena membutuhkan lebih banyak lahan untuk mengembangkan usahanya.

Sementara itu, pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030. Dalam pidatonya pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris, akhir tahun lalu, Presiden Jokowi meminta dukungan tersebut. dan kontribusi negara-negara industri. Penyediaan dana iklim dari negara-negara maju akan menjadi game changer dalam mitigasi dan penerimaan perubahan iklim di negara-negara berkembang. Berkat bantuan tersebut, Indonesia dapat berkontribusi terhadap target nol emisi dunia, kata Presiden.

“Pertanyaannya seberapa besar kontribusi negara-negara maju terhadap kita? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Ini perlu tindakan, perlu implementasi segera,” tegas Presiden.

Industri kelapa sawit tentunya telah memberikan kontribusi besar terhadap kelangsungan perekonomian Indonesia, terutama di masa pandemi COVID-19. Namun mereka yang terus memperoleh keuntungan dari industri ini juga harus ingat bahwa dampak lingkungan dan sosial dari bisnis mereka juga sangat besar.

Masyarakat awam Indonesia hanya mempunyai tuntutan yang sederhana namun masuk akal. Menurut mereka, harga minyak goreng seharusnya terjangkau karena Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. Apa yang terjadi sekarang tidak dapat dimaafkan bagi mereka.

login sbobet

By gacor88