Megawati mempunyai pertanyaan yang perlu dijawab mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Aceh

3 Juli 2023

JAKARTA – Dalam pidato kemenangannya setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memenangkan pemilu legislatif bulan Juni 1999, Megawati Soekarnoputri berjanji tidak akan membiarkan Aceh yang mengalami konflik bersenjata antara pemberontak dan pemerintah sejak tahun 1976 menderita.

Dalam jajak pendapat tersebut, yang merupakan pemilu demokratis pertama sejak jatuhnya Suharto tahun sebelumnya, PDI-P meraih 33,7 persen suara dan mengklaim 153 dari 462 kursi DPR yang diperebutkan. Megawati adalah ikon demokrasi saat itu.

Dalam pidatonya yang disiarkan televisi, ia sambil berlinang air mata berbicara kepada masyarakat Aceh yang dilanda bencana.

“Bagi masyarakat Aceh, percayalah, Cut Nyak tidak akan menumpahkan setetes darah pun di Tanah Rencong (Aceh),” Megawati, putri pendiri presiden Sukarno, menyebut dirinya sendiri.

Cut Nyak adalah gelar kerajaan yang diberikan kepada wanita yang sudah menikah di Aceh.

Sejumlah warga Aceh mempertanyakan komentar Megawati karena ayahnya, Sukarno, mengingkari janjinya untuk memberikan kebebasan menjalankan syariah di provinsi tersebut segera setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Megawati tidak mampu berbuat banyak untuk memenuhi janjinya, ketika ulama Muslim Abdurrahman “Gus Dur” Wahid mengalahkannya dalam pemilihan presiden bulan Oktober 1999. Dia harus puas menjadi wakil presiden.

Pada Juli 2001, Megawati menggantikan Gus Dur setelah Majelis Volksraadgewende (MPR) memakzulkannya.

Pada tahun 2003, sebagai presiden kelima Republik Indonesia, Megawati mengumumkan darurat militer di Aceh untuk mengakhiri pemberontakan yang telah berlangsung selama puluhan tahun, hal ini bertentangan dengan janjinya pada tahun 1999 untuk tidak menumpahkan darah di provinsi yang kaya sumber daya alam tersebut.

Megawati seharusnya merasakan tanggung jawab moral atas salah satu dari 12 pelanggaran HAM berat yang ingin diselesaikan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo melalui mekanisme non-yudisial. Daftar kekejaman tersebut antara lain pembantaian di Jambo Keupok, Aceh, yang terjadi sesaat sebelum operasi militer di Aceh yang diperintahkan Megawati.

Konflik Aceh baru berakhir pada tahun 2005, setelah tsunami raksasa melanda provinsi tersebut dan wilayah pesisir lainnya di sepanjang Samudera Hindia, yang merenggut lebih dari 130.000 nyawa di Aceh saja.

Presiden Jokowi pada hari Selasa meluncurkan program nasional untuk mencari solusi non-yudisial terhadap 12 pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dalam sebuah upacara di Pidie, Aceh. Acara tersebut digelar di lokasi Rumoh Geudong, sebuah gedung yang menjadi saksi penyiksaan dan pembunuhan warga sipil oleh aparat keamanan.

Kasus yang paling awal dari 12 kasus tersebut adalah pembersihan komunis pada tahun 1995-1966, yang mana sekitar 500.000 orang dibunuh karena nyata atau dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kini sudah tidak ada lagi.

Kasus lainnya termasuk pembantaian Talangsari di Lampung pada tahun 1989, yang dikaitkan dengan Jenderal. (Purn) Hendropriyono, sekutu Jokowi; penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997-1998; penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada bulan Mei 1998; penembakan mahasiswa Semanggi I dan II; pembunuhan massal di Banyuwangi; peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) tahun 1993 dan pembunuhan Rumoh Geudong tahun 1998 di Aceh.

Masyarakat Aceh berharap Megawati mengingat janjinya sendiri saat menjabat pada tahun 2001. Namun mereka meragukannya, karena belajar dari pengalaman traumatis mereka dengan ayahnya, Sukarno.

Menurut situs resmi pemerintah Aceh, dalam kunjungannya ke Aceh pada bulan Juni 1948, Sukarno mendorong masyarakat Aceh untuk menyumbangkan uang guna membiayai perang melawan kolonialisme Belanda.

Aceh menyumbangkan pesawat pertama Indonesia, Seulawah. Namun pada tahun 1953, dalam sebuah tindakan pengkhianatan di mata masyarakat Aceh, Sukarno mengatakan dia tidak akan mengizinkan wilayah mana pun di negara ini untuk menjalankan hukum Islam.

Seperti ayah, seperti anak perempuan. Megawati menepati ingkar janji ayahnya.

Megawati awalnya mencoba bernegosiasi dengan kelompok pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mengakhiri perang. Dia setuju untuk memberikan status khusus kepada Aceh dengan otonomi penuh untuk melaksanakan syariat Islam.

Pada tanggal 9 Desember 2002, Jakarta dan GAM menandatangani Perjanjian Penghentian Permusuhan di Jenewa. Negosiasi tersebut dimediasi oleh Henry Dunant Center. Jepang juga secara aktif berusaha menjadi tuan rumah perundingan antara pemberontak dan pemerintah pusat.

Namun Megawati kehilangan kesabaran karena tidak ada kemajuan berarti dalam pembicaraan dengan para pemimpin GAM yang tinggal di pengasingan di Eropa. Dia menyatakan perang habis-habisan di provinsi tersebut atas nama negara kesatuan Indonesia.

Pada masa darurat militer, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengirimkan 30.000 personel dan polisi mengerahkan 12.000 personel untuk menumpas GAM. Megawati menutup telinga terhadap kecaman internasional terhadap kejahatan sistematis terhadap kemanusiaan yang dilakukan militer terhadap warga sipil. Menurut TNI, selama operasi setahun tersebut, tentara membunuh 2.439 pemberontak, menangkap 2.003 lainnya dan menerima penyerahan 1.559 orang. TNI kehilangan 147 prajurit dan 422 orang luka-luka.

Keputusan Megawati serupa dengan darurat militer selama sembilan tahun yang diberlakukan oleh Soeharto yang berakhir dengan kejatuhannya pada tahun 1998. Dua presiden berikutnya setelah Soeharto, BJ Habibie dan Gus Dur, memilih pendekatan yang lebih lunak, dan kekerasan di Aceh telah berkurang secara signifikan.

Menurut laporan resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dikeluarkan pada bulan Maret 2016, kekejaman di Jambo Keupok di Kabupaten Aceh Selatan terjadi pada bulan Mei 2003, tepat sebelum Megawati mengumumkan darurat militer di Aceh. Badan HAM tersebut mengatakan 16 laki-laki dibakar hidup-hidup, empat ditembak dari jarak sangat dekat dan 16 disiksa sampai mati, sementara lima perempuan dipukuli dengan kejam.

Pada tanggal 19 Mei 2004, Megawati memperpanjang keadaan darurat sipil di Aceh selama enam bulan lagi. Pada bulan September tahun itu, Megawati kalah dari mantan Menteri Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden.

Kemudian pada tanggal 26 Desember 2004, terjadi tsunami mematikan yang meluluhlantahkan Aceh dan negara-negara lain di Samudera Hindia. Bencana tersebut membantu mempercepat perundingan damai antara pemerintah dan pemberontak. Setelah berbulan-bulan negosiasi antara tim yang dipimpin oleh Wakil Presiden saat itu Jusuf Kalla dan para pemimpin GAM, kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, pada tanggal 15 Agustus 2005.

Perang sudah lama berakhir, namun dampaknya masih ada. Tiga dari 12 pelanggaran HAM berat yang ingin diatasi oleh pemerintah terjadi di Aceh, termasuk satu pelanggaran yang terjadi pada masa darurat militer Megawati. Dia setidaknya harus merasa bersalah atas kekejaman tersebut dan mengambil langkah untuk menyembuhkan luka para korban dan keluarganya.

***

Penulis adalah editor senior di Jakarta Post.

Togel Hongkong

By gacor88