21 Juli 2022
JAKARTA – Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Kelompok 20 (FMCBG) minggu lalu bisa dilihat setengah gelas saja.
Tidak ada ketegangan seperti sambutan bermusuhan yang ditunjukkan beberapa delegasi terhadap Rusia pada pertemuan para menteri luar negeri G20 seminggu sebelumnya. Yang juga tidak hadir adalah tidak hadirnya perwakilan negara yang merusak pertemuan FMCBG kedua di Washington pada bulan April.
Para peserta pertemuan di Bali malah menunjukkan kecenderungan yang lebih positif terhadap kerja sama, karena perekonomian dunia merasakan ancaman resesi dan kekaguman terhadap kebangkrutan Sri Lanka.
Namun FMCBG ketiga tidak dianggap sukses, karena pandangan yang bertentangan di antara anggota G20 mengenai invasi Rusia ke Ukraina dan dampak perang yang menyeluruh menghalangi mereka untuk menyampaikan komunike tradisional di akhir pertemuan.
Kesepakatan untuk melawan krisis pangan dicapai dalam sebuah seminar yang dihadiri oleh para kepala keuangan, termasuk Menteri Keuangan AS Janet Yellen, namun tidak ada kesepakatan formal yang dicapai.
Terdapat pula dukungan yang kuat terhadap usulan Indonesia sebagai tuan rumah untuk membentuk forum gabungan tingkat menteri di bidang keuangan dan pertanian guna meringankan pembatasan perdagangan dan proteksionisme terhadap produk pangan dan pupuk, namun hal ini memerlukan komitmen yang lebih besar dari negara-negara anggota agar perjanjian dapat terwujud.
Saat ini memang merupakan masa yang suram bagi semua negara, baik kaya maupun miskin, yang sedang berjuang untuk pulih dari pandemi ini dan dampak buruk dari perang di Ukraina. Dan pada saat yang rentan ini, pemerintah merasa sulit untuk bergandengan tangan atau bahkan berbagi beban. Tidak mudah untuk mendahulukan kesejahteraan negara lain dibandingkan kesejahteraan rakyatnya sendiri.
Bahkan Indonesia, yang dipuji oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva karena kinerjanya mengungguli negara-negara lain, berada dalam kondisi yang rapuh.
Inflasi tahunan di negara ini, yang mencapai 4,35 persen pada bulan Juni, relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lain di dunia karena pemerintah menggelontorkan lebih banyak dana untuk subsidi listrik dan bahan bakar hingga mencapai Rp 520 triliun (US$35 miliar), lebih besar dari inflasi tahunan yang dicapai negara tersebut. tiga kali lipat dari alokasi awal sebesar Rp 152,5 triliun.
Namun dengan krisis energi yang diperkirakan akan berlangsung hingga akhir tahun ini, pemerintah mungkin harus mengalokasikan lebih banyak uang untuk mengendalikan inflasi.
Anggaran pemerintah tidak terkalahkan dan tidak ada habisnya untuk mendukung 270 juta penduduk negara ini. Defisitnya relatif besar, mencapai 4,65 persen tahun lalu setelah peraturan untuk sementara waktu menghapus batasan 3 persen pada awal pandemi.
Meskipun sebagian besar anggaran pemerintah, termasuk defisit, dibiayai dari dalam negeri, sebagian besar dibiayai oleh bank sentral. Pada tahun 2020, Bank Indonesia dan pemerintah menyepakati skema pembagian beban sebesar Rp 574,59 miliar untuk membiayai defisit tersebut. Tahun lalu, Kementerian Keuangan melaporkan bank sentral akan membeli obligasi pemerintah senilai Rp 439 triliun antara tahun 2021 dan 2022.
Peraturan di era pandemi ini mengatur ulang batas defisit anggaran menjadi 3 persen pada tahun depan, yang berarti pemerintah tidak akan sekuat sekarang dalam memikul lebih banyak subsidi, terutama jika inflasi global serta krisis energi dan pangan terus berlanjut.
Ketidakpastian ini mengharuskan negara-negara, termasuk Indonesia, untuk berhati-hati. Perdamaian, dibandingkan perang, setidaknya akan membantu kita mengatasi badai ini.