21 Maret 2022
DHAKA – Sejak perang antara Rusia dan Ukraina dimulai pada 24 Februari 2022, perekonomian dunia telah memasuki wilayah ketidakpastian baru. Tantangan yang disebabkan oleh perang muncul dalam beberapa bidang. Dengan integrasi ekonomi global, krisis seperti ini, yang melibatkan negara seperti Rusia, akan berdampak pada perekonomian lain.
Invasi Rusia ke Ukraina terjadi pada saat dunia baru saja mulai pulih dari dampak pandemi Covid-19 selama lebih dari dua tahun. Namun pemulihan menghadapi tekanan inflasi karena kekurangan pasokan di tengah meningkatnya permintaan ketika negara-negara mulai memperluas aktivitas ekonomi. Perang yang sedang berlangsung menimbulkan guncangan baru bagi dunia. Gangguan pasokan dan sanksi keuangan menimbulkan tantangan ekonomi yang serius. Tanpa adanya tanda-tanda rekonsiliasi antara Rusia dan Ukraina, dampaknya terhadap perekonomian global akan jauh lebih serius.
Negara-negara besar termasuk Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Uni Eropa (UE) semuanya telah menangguhkan hubungan ekonomi dengan Rusia. Sanksi dijatuhkan pada lembaga keuangan Rusia dengan tujuan mengganggu transaksi dengan negara tersebut. Karena Rusia adalah negara penghasil minyak terbesar ketiga di dunia, perekonomian global menderita akibat tingginya harga minyak. Meskipun negara-negara maju memperoleh kebutuhannya dari negara-negara penghasil minyak lainnya, namun negara-negara kecil dan miskin mengalami kesulitan dengan terbatasnya kemampuan finansial mereka untuk memenuhi kebutuhan energinya. Selain itu, tingginya harga minyak juga berdampak pada harga-harga lainnya sehingga menimbulkan tekanan inflasi lebih lanjut.
Dampak dari tantangan-tantangan ini terlihat pada harga komoditas dan minyak yang lebih tinggi. Harga pangan meroket. Harga minyak bumi telah meningkat selama beberapa waktu. Perang mendorongnya ke atas. Pada Maret 2021, harga minyak bumi sebesar USD 65,2 per barel, mencapai USD 95,8 per barel.
Tergantung pada durasi perang, dampaknya pada tingkat negara akan bergantung pada hubungan ekonomi dengan Rusia dan Ukraina, serta paparan mereka terhadap perekonomian global.
Bangladesh sudah merasakan panasnya perang antara Rusia dan Ukraina dalam banyak hal. Jika perang berlanjut dalam jangka waktu yang lebih lama, dampaknya akan semakin buruk. Kami merasakan dampaknya melalui penurunan ekspor dan peningkatan tagihan impor. Sebagai negara pengimpor minyak, Bangladesh sudah merasakan tekanan pembayaran impor yang tinggi. Bangladesh Petroleum Corporation (BPC) sebelumnya melaporkan bahwa mereka mengalami kerugian sekitar Tk 19 crore per hari. Dengan tingginya harga minyak, dampak berantainya dirasakan melalui kenaikan harga gas, pupuk dan kebutuhan pokok lainnya. Pemerintah menaikkan harga solar sekitar 23 persen pada bulan November 2021, yang sudah tercermin di pasar melalui tingginya biaya transportasi dan harga barang-barang penting lainnya.
Selain harga bahan bakar, harga produk impor lainnya juga meningkat signifikan. Hal ini akan mendongkrak biaya produksi, yang pada gilirannya akan menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen. Sanksi global terhadap Rusia menyiratkan bahwa perdagangan Bangladesh dengan Rusia akan terpengaruh. Rusia merupakan pasar bagi produk garmen jadi (RMG) Bangladesh. Pada FY2021, ekspor Bangladesh ke Rusia sebesar USD 550 juta, dan impor dari Rusia sebesar USD 480 juta. Bangladesh mengimpor gandum dan jagung dari Rusia. Sanksi tersebut berarti Bangladesh harus mengimpor barang-barang tersebut dari negara lain.
Rusia juga melaksanakan beberapa proyek di Bangladesh. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Rooppur (RNPP) merupakan proyek besar yang dilaksanakan Rusia dengan biaya sebesar USD 12,65 miliar dan dijadwalkan selesai pada tahun 2025. Perang yang sedang berlangsung dan sanksi ekonomi terhadap Rusia mungkin menunda proyek mahal ini, yang berarti peningkatan biaya di Bangladesh. Hal ini berarti pinjaman dan beban yang lebih tinggi pada negara.
Neraca pembayaran akan tertekan akibat tingginya harga dan sanksi perdagangan. Pada akhir Januari FY2021-22, defisit transaksi berjalan mencapai USD 10 miliar karena adanya peningkatan pembayaran impor dan pengurangan pengiriman uang. Jika defisit transaksi berjalan yang tinggi terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama, maka nilai tukar juga akan mengalami tekanan.
Perlu diingat bahwa dampak perang akan terus berlanjut bahkan setelah perang selesai, karena perekonomian memerlukan waktu untuk pulih dari kerusakan yang terjadi. Oleh karena itu, negara-negara akan merasakan dampak krisis dalam jangka waktu yang lebih lama, dan oleh karena itu harus bersiap menghadapinya.
Para pembuat kebijakan di Bangladesh harus memantau pasar dengan cermat. Negara harus segera mendapatkan komoditas dari pasar dunia dengan harga bersaing dan mendistribusikan komoditas penting dengan harga lebih murah melalui penjualan pasar terbuka. Manajemen makroekonomi yang hati-hati harus diikuti untuk menciptakan ruang fiskal. Saat pemerintah sedang dalam proses merumuskan anggaran untuk tahun fiskal 2022-23, pemerintah harus mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk program jaring pengaman sosial dalam skala yang lebih besar bagi masyarakat miskin dan keluarga berpenghasilan rendah. Dalam hal ini, subsidi untuk komoditas penting, seperti bahan bakar, listrik dan pertanian, harus dilanjutkan selama beberapa bulan. Pemulihan ekonomi akan bergantung pada besarnya belanja pemerintah. Namun pemborosan sumber daya publik dan pengeluaran publik yang tidak perlu harus dibatasi. Upaya harus dilakukan untuk mempercepat proyek-proyek yang hampir selesai, daripada memulai proyek baru. Pemerintah harus menggunakan devisanya dengan hati-hati, karena pembayaran impor terus meningkat di masa perang yang tidak menentu dan seterusnya.