6 Januari 2023
JAKARTA – Presiden Joko “Jokowi” Widodo akhir bulan lalu menyatakan dalam pidato Outlook Perekonomian 2023-nya bahwa tahun ini akan menjadi tahun ketahanan ekonomi dan transformasi struktural. Ia menekankan transisi ke energi hijau sebagai kebijakan utama untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing perekonomian dalam jangka panjang.
Memang benar, dengan komitmen pendanaan awal sebesar US$20 miliar selama 3-5 tahun ke depan, Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) di Indonesia, yang diluncurkan pada KTT Pemimpin Kelompok 20 pada November 2022, akan membantu Indonesia dalam hal bahan bakar fosil dan energi. pada saat yang sama menghasilkan peluang ekonomi baru dan ramah lingkungan.
JETP memaparkan lintasan emisi yang layak untuk Indonesia. Pertama, peraturan ini membatasi emisi sektor ketenagalistrikan hingga 290 megaton (Mt) CO22 pada tahun 2030, sekitar 19 persen lebih rendah dari angka dasar yang ditetapkan sebelumnya sebesar 357 Mt. Tahun ini juga menandai puncak emisi sektor ketenagalistrikan, tujuh tahun lebih cepat dari jadwal, dan berada pada jalur untuk mencapai net zero pada tahun 2050, atau sekitar 10 tahun lebih cepat dari jadwal yang telah disepakati sebelumnya.
Kedua, kemitraan ini membatasi pengembangan pembangkit listrik tenaga batu bara karena mereka berupaya mempercepat pensiunnya sehingga lebih banyak energi terbarukan yang dapat menggerakkan jaringan listrik. Menurut Peraturan Presiden No. 112/2022 energi terbarukan akan terwujud jika terjangkau, dengan harga yang sama atau lebih rendah dibandingkan energi alternatif fosil, dan dapat diandalkan, yang berarti dapat memenuhi permintaan beban dasar.
Peluang dan tantangan berlimpah. Di satu sisi, JETP dapat membantu menyelesaikan trilema energi Indonesia yaitu keamanan, keterjangkauan dan keberlanjutan dengan memberdayakan masyarakat di wilayah yang kaya sumber daya namun miskin listrik. Di sisi lain, bagaimana Indonesia dapat melaksanakan tugas besar ini tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi, atau lebih buruk lagi, menimbulkan utang yang tidak terjangkau?
Dalam pandangan kami, kendala terbesar terletak pada ketergantungan kami pada pembangkit listrik tenaga batu bara. Kita harus mengganti listrik berbahan bakar batu bara yang kaya karbon tanpa meningkatkan biaya pembangkitan listrik, yang akan dibebankan kepada konsumen. Mengandalkan subsidi energi untuk meredam harga konsumen adalah hal yang lebih buruk lagi, karena hal ini mengalihkan dana pemerintah dari penggunaan yang lebih baik di bidang-bidang seperti pendidikan, layanan kesehatan dan infrastruktur dasar yang terus-menerus kekurangan di daerah-daerah yang tidak memiliki listrik.
Secara teori, penggantian batu bara tidak akan terlalu sulit jika diimpor atau diperoleh dengan harga pasar. Namun, nasionalisme sumber daya menyiratkan bahwa batubara yang ditambang di Indonesia harus digunakan terutama untuk konsumsi dalam negeri dan, menurut salah satu interpretasi kedaulatan, tidak harus mengikuti harga pasar dunia. Kebijakan Kewajiban Pasar Domestik (DMO) pemerintah menginstruksikan para penambang untuk memasok batubara ke pembangkit listrik tenaga batubara di negara tersebut dengan harga tetap, yang saat ini berada di bawah keseimbangan global yang berlaku.
Faktanya, kecuali ditemukan pengganti yang terjangkau, penggantian batu bara dapat memicu perdebatan politik mengenai pemahaman kita yang mendalam mengenai kedaulatan sumber daya.
Untungnya, Indonesia tropis diberkahi dengan potensi biomassa yang melimpah. Jika dilakukan dengan benar, pembangkit listrik biomassa dapat membantu mencapai tujuan pembangunan di luar pembangkitan listrik. Biomassa dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai metode: penanaman tanaman biomassa yang tumbuh cepat di lahan terdegradasi dan non-produktif, pengumpulan limbah perkebunan dan pertanian, serta konversi limbah padat perkotaan menjadi bahan bakar yang dapat digunakan.
Bahan bakar ini tentunya perlu diproduksi dengan cara yang berkelanjutan dan sejalan dengan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) internasional. Rantai pasokan produksi biomassa juga dapat dikembangkan di sekitar hutan negara tanpa deforestasi, jika terdapat pengamanan yang ketat.
Perlindungan pertama yang harus diterapkan adalah mengenai cara menanam tanaman biomassa secara nasional. Penting untuk memperkenalkan masyarakat pada tanaman biomassa sebagai praktik pertanian regeneratif. Produksi biomassa di seluruh negeri dapat didorong oleh spesies polong-polongan yang tumbuh cepat Pagar glirisidaatau lilac Meksiko, yang secara lokal dikenal sebagai tua.
Berasal dari Amerika Tengah, tua sudah lama diperkenalkan ke Indonesia dan umumnya ditanam oleh masyarakat sebagai tanaman pagar hidup, melindungi teras dari erosi dan sebagai tanaman pakan ternak. Gamal tidak dianggap invasif atau bermasalah seperti beberapa spesies yang tumbuh cepat lainnya, namun belum menghasilkan nilai ekonomi selain penggunaannya saat ini.
Gamal dapat menyediakan penjualan biomassa kayu untuk pembakaran dan pembangkit listrik lokal, serta menyediakan pakan ternak tambahan, jika diperlukan. Manfaat-manfaat ini sangat penting bagi masyarakat lokal dan dapat menciptakan perekonomian pedesaan yang baru.
Di samping itu tua, bambu juga dapat digunakan untuk meningkatkan penyerapan karbon tanah dan memproduksi bahan baku biomassa, seperti yang ditunjukkan oleh proyek percontohan pembangkit listrik tenaga biomassa berbasis masyarakat di Pulau Mentawai, Sumatera Barat. Di Indonesia, bambu ada dimana-mana dan dapat ditemukan di sepanjang sungai, desa, jalan, dan lapangan terbuka.
Bambu juga cocok sebagai sumber energi di tempat tumbuhnya, karena dapat diterima secara sosial, memiliki jejak ekologis yang kecil dan dapat ditanam di lahan marginal, didukung oleh kerangka hukum sebagai komoditas perkebunan berbasis masyarakat, dikategorikan sebagai non-kayu. hasil hutan (HHBK). Sebagai anggota keluarga rumput, ia juga memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat baik dengan regenerasi pasca panen yang cepat dan jarang memerlukan penanaman kembali.
Dalam kondisi pertumbuhan yang berkelanjutan, setiap hektar bambu dapat menyerap hingga 30 ton CO22 setara setiap tahunnya.
Dengan membangun tanaman biomassa rotasi pendek seperti tua dan bambu, masyarakat di seluruh Indonesia dapat berpartisipasi dalam program pembakaran biomassa dan secara aktif berkontribusi pada JETP. Membangun pembangkit listrik tenaga biomassa berbasis masyarakat di daerah tertinggal juga akan memastikan bahwa masyarakat lokal akan memperoleh manfaat ekonomi langsung dari melimpahnya sumber daya alam di sekitar desa mereka. Selain itu, penciptaan kegiatan ekonomi baru ini juga akan memperkuat upaya perlindungan dan restorasi bentang alam di tingkat lokal sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca di tingkat regional.
Perlindungan kedua yang harus diterapkan adalah memastikan tanaman biomassa ditanam dengan partisipasi aktif penduduk lokal sebagai pemilik lahan, produsen tanaman atau keduanya. Pendekatan partisipatif ini akan memastikan tidak ada seorang pun yang terpinggirkan dalam industri ini. Penduduk setempat masih dapat memutuskan tanaman mana yang akan ditanam di komunitasnya.
Sementara itu, pemerintah berencana memberikan sertifikat masyarakat atas 12,7 juta hektar lahan kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Hak-hak ini akan memungkinkan mereka untuk memanfaatkan HHBK, melakukan agroforestri, menjalankan usaha pariwisata dan melakukan penebangan selektif di zona produksi yang ditentukan. Sebanyak 60 juta orang yang tinggal dalam jarak 1 kilometer dari hutan negara di seluruh negeri masih bergantung, setidaknya sebagian, pada lahan untuk mata pencaharian mereka, seperti untuk HHBK dan pertanian skala kecil, serta mengelola atau bekerja di perkebunan.
Pemerintah juga berharap dapat mengurangi laju deforestasi dengan memberikan hak penggunaan lahan kepada masyarakat melalui program perhutanan sosial.
Perlindungan terakhir adalah memastikan bahwa setiap pembangkit listrik tenaga biomassa, besar atau kecil, pada akhirnya menerapkan teknologi emisi negatif (NETs). Tiga NET yang paling umum digunakan di sektor bioenergi adalah gasifikasi biomassa, pencerna biogas, dan bioenergi dengan penangkapan dan penyimpanan karbon (BECCS). Pabrik gasifikasi biomassa dan reaktor biogas telah digunakan di Indonesia sejak tahun 2014. Pembelajaran dari proyek-proyek tersebut juga telah dibagikan secara luas di kalangan praktisi, akademisi, dan pengambil keputusan.
Peluang untuk meningkatkan NET terbuka lebar, terutama untuk digunakan di daerah tertinggal.
***
Penulis adalah dosen Pusat Kajian Ketahanan Energi Universitas Pertahanan Indonesia. Pendapat yang dikemukakan bersifat pribadi.