17 Juli 2023
JAKARTA – Warga Jakarta telah lama memperkirakan akan hancurnya banyak mal di kota ini, namun beberapa di antaranya berupaya untuk menentang prediksi suram tersebut dan mendapatkan kehidupan baru meskipun realita ritel saat ini sangat sulit.
Dalam beberapa tahun terakhir, mal-mal di Jakarta menghadapi perlambatan ekonomi akibat COVID-19, meningkatnya belanja online, dan kejayaan layanan pesan-antar makanan, perubahan-perubahan yang menyebabkan banyak mal yang tadinya sibuk menjadi sepi.
Namun, loyalitas pelanggan jangka panjang telah membuat beberapa mal tetap hidup karena mereka membangkitkan “kenangan tertentu bagi setiap individu,” menurut Nidia Ichsan, general manager Lippo Malls Indonesia, salah satu operator mal terbesar di Indonesia.
Ia mencontohkan Gajah Mada Plaza, salah satu pusat perbelanjaan tertua di Ibu Kota. Meskipun usianya sudah tua, mal tersebut memiliki “banyak penyewa dan pelanggan setia,” kata Nidia Jakarta Post pada hari Jumat.
Dia mengatakan beberapa penyewa menolak pindah untuk rencana renovasi, bahkan setelah perusahaan menaikkan harga sewa, karena mereka lebih memilih ruangan tersebut. Pada akhirnya, mal tersebut direnovasi secara bertahap, tanpa pernah ditutup.
Dibuka pada tahun 1980-an, Gajah Mada Plaza merupakan sebuah permata pada masanya, terutama di era Ratu Plaza dan Hotel Jayakarta, yang keduanya dibangun pada masa itu.
Mal ini menjadi tuan rumah acara snooker dan biliar untuk Pesta Olahraga Nasional (PON) 1985 dan Pesta Olahraga Asia Tenggara (SEA Games) 1987, menurut sebuah blog bernama SGPC.
Warga Jakarta juga sudah lama meramalkan akan runtuhnya Plaza Semanggi yang juga dioperasikan oleh Lippo Malls Indonesia.
“Kami memperhatikan bahwa orang-orang menyebut (Plaza Semanggi) mal yang sedang sekarat, (padahal sebenarnya) tidak kematian mati,” kata Nidia, mengisyaratkan bahwa ia tidak mati selamanya.
Kasus Plaza Semanggi lebih rumit, jelasnya, karena renovasi mal saja tidak cukup menjamin kelangsungannya di tengah gencarnya mal-mal baru di kawasan itu, meski dulunya merupakan destinasi utama.
Untuk kembali bermain, Lippo harus menyelesaikan beberapa masalah, kata Nidia. Pengaturan penyewaan kembali akan diperlukan untuk bagian-bagian tertentu dari kompleks tersebut dan desain ulang mal di masa depan harus sesuai dengan “tren masyarakat yang berubah dengan cepat dan lokasi mal yang strategis”.
Hermawan Wijaya, direktur operator mal besar Bumi Serpong Damai, membahas situasi mal lain yang diduga sekarat: Epicentrum Walk.
“Kami mengakuisisi mal tersebut untuk meninggikan (kompleks apartemen terdekat) The Element,” kata Hermawan, Senin, seraya menambahkan bahwa mal tersebut terutama melayani kebutuhan masyarakat yang tinggal dan bekerja di kawasan tersebut.
Pada tahun 2014, perseroan menilai kawasan tersebut strategis karena dekat dengan perkantoran dan apartemen.
Belum mati
Pada Januari tahun ini, Jakarta memiliki 96 pusat perbelanjaan, yang terdiri dari 76 mal dan 20 pusat perdagangan, menurut Asosiasi Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI).
Perusahaan-perusahaan mengatakan terlalu dini untuk menganggap beberapa mal mati. Dengan langkanya ruang publik di Jakarta, mereka menyebut mal bisa menjadi alternatif “tempat ketiga” bagi warga kota.
Ketua Umum Asosiasi Ritel dan Penyewa Indonesia (Hippindo) Budiharjo Iduansjah mengatakan, untuk menghidupkan kembali mal yang sedang lesu, mal harus “penuh” oleh para penyewa.
“Jangan sampai pusat perbelanjaan sepi (penyewa),” ujarnya Pos pada hari Jumat.
Budi mendorong operator mal untuk mengadakan acara dan pameran kreatif untuk meningkatkan kunjungan pejalan kaki.
Ia mencontohkan mal Taman Anggrek yang lambat laun berpindah ke mal baru di dekatnya, yakni Central Park dan Neo Soho, namun masih mampu mendatangkan pelanggan untuk acara-acara besar, seperti pembukaan pameran seni eksklusif Van Gogh Alive Jakarta. . .
“Memang sempat sepi, tapi dengan adanya pameran semoga pusat perbelanjaan dan para penyewa bisa mendapat banyak pemasukan,” kata Budi.
Nidia dari Lippo Malls berpendapat bahwa mal perlu memiliki konsep desain yang kuat di tengah ketatnya persaingan kota.
Hal ini termasuk mengikuti tren yang ada, katanya, terutama di kalangan milenial, yang kini mewakili mayoritas pengunjung mal dan mencari tempat untuk dikunjungi, bukan sekadar barang untuk dibeli.
Meskipun solusinya mungkin berbeda untuk setiap mal, mengembangkan formula penyewaan campuran yang kuat agar tetap mengikuti perkembangan saat ini sangatlah penting, kata Nidia.
Direktur dan Kepala Konsultasi Strategis Cushman and Wakefield, Arief Rahardjo, mengamini hal tersebut.
“Pusat perbelanjaan dengan konsep mixed tenancy yang selalu mengikuti tren pasar menunjukkan tingkat traffic dan okupansi yang baik,” ujarnya.
“Tren pusat perbelanjaan saat ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat membeli, tapi juga (memberikan) pengalaman berbelanja baru sekaligus relaksasi,” kata Arief. Pos Friday, menambahkan bahwa faktor-faktor ini akan mempengaruhi pilihan masyarakat untuk mengunjungi mal tertentu.