14 September 2022
JAKARTA – Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) berupaya meningkatkan komunikasi bagi semua melalui upaya berkelanjutan untuk menumbuhkan dan menyebarkan idiom isyarat alami Indonesia.
Rowena “Wen” Abdullah menatap tajam ke arah mantan teman sekelasnya di tabletnya, dan mereka sepertinya memiliki keinginan yang sama, namun orang yang lewat yang mengharapkan seruan verbal atas kegembiraan atau kegembiraan mungkin akan terkejut, karena pertemuan tersebut diadakan dalam keheningan.
“Saya tetap berhubungan dengan teman-teman saya (online) setiap hari, dan bertemu langsung seminggu sekali (…). Saya kenal mereka bertahun-tahun karena kami semua alumni Sekolah Berkebutuhan Khusus (SLB) Tunarungu Cicendo di Bandung, Jawa Barat,” kata Wen, yang alumninya tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin).
“Pandemi COVID-19 tidak merusak hubungan kita, karena hubungan kita tetap kuat seperti sebelumnya.”
Di tengah keheningan, gerakan tangan Wen yang lincah dan cepat membentuk kata dan kalimat Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo), sebuah sistem bahasa isyarat yang dikembangkan oleh Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo).
Lahir dari kontroversi
Pusbisindo didirikan di Jakarta pada tahun 2009, namun Bisindo sendiri berkembang pada tahun 2002 menyusul “perselisihan antara Gerkatin yang mewakili penyandang tunarungu se-Indonesia dengan tim perumus Kamus (Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI))”. . . “(Bisindo bertujuan untuk) melestarikan bahasa isyarat alami.”
Organisasi tersebut segera menyadari bahwa pekerjaannya tidak sesuai untuk itu.
“(Pusbisindo) harus berjuang dari tahun 2009 hingga 2017 untuk mengatasi ketidakpedulian masyarakat karena kurangnya kesadaran tentang struktur linguistik bahasa isyarat dan kurangnya sistem yang layak untuk mengadakan kelas bahasa isyarat dan meningkatkan kesadaran tentang bentuk komunikasi tersebut,” kata Laura Lesmana Wijaya, ketua Pusbisindo, yang lahir dari orang tua tunarungu.
“(Kesadaran masyarakat) terhadap Pusbisindo baru mulai meningkat pada tahun 2017, ketika jumlah masyarakat yang mahir bahasa isyarat, mengajar kelas bahasa isyarat dan (bekerja di bagian administrasi organisasi) mulai meningkat.”
Kini Pusbisindo memiliki cabang di 10 provinsi, termasuk sebagian besar wilayah Jawa, Bali, dan sebagian Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Mereka berencana membuka lima cabang provinsi tambahan di Jawa, Sumatera dan Papua.
“Ekspansi Pusbisindo ke berbagai provinsi harus mempertimbangkan budaya dan bahasa yang berbeda-beda, karena bahasa di berbagai daerah ditentukan oleh budayanya masing-masing,” kata alumnus Chinese University of Hong Kong itu dengan bahasa isyarat.
“Bahasa isyarat, seperti bentuk komunikasi lainnya, tidak boleh distandarisasi. Standardisasi bahasa adalah praktik diskriminatif, karena menghalangi hak asasi manusia untuk bebas berekspresi,” tambah Laura.
“Sebagai salah satu bentuk komunikasi visual-spasial, bahasa isyarat memungkinkan penyandang tunarungu berkomunikasi melalui penggunaan pengklasifikasi untuk menyampaikan sejumlah kata, serta ekspresi non-manual (menggunakan) wajah, kepala, dan badan. Misalnya, wajah sedih secara universal dipahami mewakili kesedihan, namun bahasa isyarat memerlukan pendekatan yang lebih abstrak dan non-ikonik untuk mendeskripsikan kata-kata seperti ‘sebagai’, ‘penjelasan’, atau ‘keberadaan’.”
Guru Bisindo Dorothea Dhita Indriyanti menyoroti pendekatan bahasa yang bersifat bottom-up.
“Bisindo bisa berkembang secara mandiri karena struktur alamnya tetap lestari. Sebagai bahasa yang digunakan untuk pendidikan dan komunikasi di kalangan penyandang tunarungu, Bisindo berhasil berkembang secara mandiri dari pengaruh luar negeri,” ujarnya.
Komunikasi terbuka
Sejak didirikan, Pusbisindo telah berupaya menjembatani kesenjangan antara penyandang tuna rungu dengan masyarakat lainnya.
“Diperkirakan ada 2,5 juta penyandang tunarungu di Indonesia, (dan) Bisindo adalah bentuk komunikasi paling efektif bagi mereka. Ini dapat digunakan oleh semua orang, tidak hanya tuna rungu,” kata situs web organisasi tersebut.
“Selain mendobrak hambatan dalam berkomunikasi dan menciptakan lingkungan yang inklusif bagi penyandang tuna rungu, pembelajaran Bisindo memiliki sejumlah manfaat, antara lain memperluas ekspresi, menyeimbangkan otak kiri dan kanan, jaringan pertemanan antar penyandang tuna rungu, serta kesempatan untuk menjadi juru bicara bahasa isyarat.”
Pusbisindo mengamalkan apa yang diberitakannya. Selama bertahun-tahun, pusat ini telah menyelenggarakan lokakarya dan kelas untuk berbagai perusahaan dan lembaga pemerintah, termasuk Gojek, Grab, Universitas Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. “Pusbisindo mengadakan tiga acara besar setiap tahunnya, yaitu Hari Bahasa Isyarat Internasional, pertemuan antara guru-guru Bisindo dan direksi (Pusbisindo), serta penghargaan bagi guru-guru bahasa isyarat terbaik,” kata Laura. “
(Penghargaan) tersebut dirancang untuk memperkuat kepercayaan diri guru terhadap keterampilan mereka dan menampilkannya di depan umum. Kemampuan mereka untuk melakukan hal ini dapat memperkuat kepercayaan diri komunitas tunarungu dan membantu mereka mempertahankan identitas mereka.”
Seperti halnya bentuk komunikasi lainnya, menguasai bahasa isyarat tidak selalu mudah.
“Kemampuan orang dalam menguasai (bahasa isyarat) berbeda-beda. Namun menurut pengalaman saya, yang membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa fasih berbahasa isyarat antara lain penyandang tunarungu yang buta huruf dan orang yang pendengarannya normal,” kata Dhita, instruktur Bisindo selama lebih dari tujuh tahun.
Upaya Pusbisindo dalam memperluas komunikasi terlihat dari kehidupan orang-orang seperti Wen dan orang-orang tercintanya.
“Memahami Bisindo dan perannya dalam memfasilitasi (komunikasi) membantu saya menjadi lebih sadar dan peka terhadap (tuli dan gangguan pendengaran) dan tantangan mereka. Saya melihat Bisindo membantu menjembatani kesenjangan antara mereka dan masyarakat lainnya,” kata keponakan Wen, Ariqa Rahma.
“Meski pemerintah telah mengalami kemajuan, seperti menyediakan alat bantu dengar atau memfasilitasi pembuatan surat izin mengemudi bagi mereka (tuli dan sulit mendengar), yang paling penting bagi mereka adalah dukungan keluarga dan peran bahasa isyarat di sekitar mereka. . “
Meskipun upaya Pusbisindo telah membawa kemajuan bagi komunitas tunarungu di Indonesia, Laura tidak berkhayal mengenai tantangan yang masih mereka hadapi.
“Penyandang tunarungu mengalami diskriminasi setiap detik dalam hidup mereka, sebagian besar berasal dari kurangnya akses terhadap komunikasi yang efektif, dimulai dari keluarga dekat, kemudian masyarakat luas,” katanya.
“Bahasa isyarat bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi prasangka. Ini harus digunakan secara bersamaan dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya (…). Penyandang tunarungu harus percaya diri untuk menandatangani kontrak dengan Bisindo, karena ini merupakan bagian integral dari identitas kami.”