COP27: Sebuah pengingat yang jelas untuk melindungi masyarakat miskin dalam perjuangan melawan perubahan iklim

3 November 2022

JAKARTA – Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP27), Indonesia menghadapi 76 bencana akibat iklim antara tanggal 10 Oktober dan 16 Oktober, yang menyebabkan 13 orang tewas dan berdampak pada lebih dari 70.000 orang lainnya di 21 provinsi, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) ( BNPB).

Pada tahun ini saja, peristiwa meteorologi dan iklim ekstrem telah merenggut lebih dari 200 korban jiwa, lebih dari 800 orang terluka, dan membuat lebih dari 3 juta orang mengungsi, berdasarkan data BNPB. Mengingat BNPB memperkirakan musim hujan akan lebih panjang pada tahun ini, Indonesia harus bekerja keras untuk mencegah terjadinya bencana lebih lanjut.

Masyarakat miskin kemungkinan besar akan terkena dampak paling parah karena mereka hidup dalam kondisi yang menyulitkan mereka menghadapi guncangan cuaca dan suhu ekstrem. Mereka memiliki sedikit aset dan memiliki akses terbatas terhadap modal. Mereka juga bergantung pada sektor-sektor yang sensitif terhadap perubahan iklim seperti pertanian dan perikanan, dan tinggal di wilayah yang lebih rentan terhadap perubahan iklim seperti garis pantai.

Para peneliti juga menemukan bahwa kesejahteraan ekonomi berkaitan dengan cuaca. Peningkatan suhu maksimum sebesar 1 derajat Celcius mengurangi pengeluaran riil per kapita sekitar 0,4 persen, sementara tambahan 10 hari ketika suhu maksimum lebih tinggi dari 34 derajat mengurangi pengeluaran tersebut hampir 4 persen. Demikian pula, penundaan 10 hari tambahan saat musim hujan menurunkan pengeluaran per kapita riil sebesar 0,1 persen.

Dampak buruk perubahan iklim terhadap Indonesia akan terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang. Laporan terbaru dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa pada akhir abad ini dunia akan mengalami kenaikan suhu antara 2,4 dan 2,6 derajat seperti saat ini – jauh lebih tinggi dari target sebelumnya sebesar 1,5 derajat.

Risiko-risiko yang terkait dengan perubahan iklim memerlukan perlindungan perubahan iklim yang lebih baik bagi masyarakat miskin karena Indonesia akan menghadiri COP27 di Sharm El-Sheikh, dekat Kairo, pada tanggal 6-18 November.

Dengan menjadi presiden Kelompok 20 dan menjadi ketua ASEAN mulai tahun 2023, Indonesia harus memanfaatkan posisi strategisnya di COP27 untuk memimpin upaya iklim melalui tindakan nyata.

Indonesia khususnya perlu meningkatkan upaya adaptasi iklimnya. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) menyatakan bahwa negara dan masyarakat harus mengembangkan solusi adaptasi dan menerapkan tindakan untuk merespons dampak perubahan iklim yang sudah terjadi, serta bersiap menghadapi dampak di masa depan.

Indonesia saat ini mengadopsi adaptasi iklim dengan memasukkan bencana dan ketahanan iklim ke dalam program prioritasnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (NMPD). Pemerintah kemudian menerbitkan dokumen Pembangunan Ketahanan Iklim (PBI) 2020-2045 – yang sebelumnya dikenal dengan Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-API) – sebagai pedoman pelaksanaan adaptasi iklim.

PBI memetakan pengaturan kelembagaan, pendanaan, aktor non-pemerintah yang diperlukan, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan yang diperlukan untuk adopsi iklim. Laporan ini mencantumkan empat sektor prioritas – air, pertanian, kesehatan, kelautan dan pesisir – dan mengidentifikasi bidang-bidang prioritas untuk masing-masing sektor.

Hasil awal evaluasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terhadap 170 aksi ketahanan iklim lintas kementerian dan lembaga yang dilakukan oleh PBI tampak menjanjikan. Ditemukan bahwa tindakan ini dapat mengurangi kerugian ekonomi sebesar Rp 44 triliun (US$2,8 miliar) pada tahun 2020. Aksi ketahanan iklim juga diperkirakan dapat mengurangi kerugian ekonomi sebesar Rp 281,9 triliun selama periode 2020-2024.

Namun, pemerintah mungkin akan kesulitan melindungi masyarakat miskin dengan tindakan seperti ini jika tidak mempertimbangkan penyebab kerentanan sosial. Individu dan komunitas memiliki tingkat akses terhadap sumber daya, kapasitas mengatasi dan ketahanan yang berbeda-beda, sebagaimana dikutip dalam penelitian tahun 2021. Oleh karena itu, pengkajian kerentanan yang komprehensif diperlukan, terutama di tingkat lokal untuk lebih memahami penyebab kerentanan sosial, yang seringkali bersifat spesifik pada konteksnya.

Selain itu, sebagaimana dicatat dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2021, terdapat semakin banyak bukti bahwa tindakan adaptasi semakin memperdalam kesenjangan sosial yang ada dan mengarah pada hasil yang merugikan – yang umumnya dikenal sebagai “malaadaptasi”.

Salah satu contoh maladaptasi adalah Proyek Garuda Raya di Jakarta – sebuah kawasan pemukiman di atas lahan reklamasi – yang tidak hanya gagal mengatasi akar penyebab banjir di Jakarta, namun juga membuat kota dan penduduknya lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan dengan Proyek Garuda Raya. mereka saat ini miliki. adalah.

Menurut laporan IPCC yang sama, salah satu cara untuk meminimalkan maladaptasi adalah dengan mendorong perencanaan yang memiliki jalur fleksibel dan multisektoral, multiaktor, dan inklusif. Dengan kata lain, sebuah rencana yang mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk beradaptasi, ketidakpastian mengenai tingkat dan tingkat risiko iklim, serta berbagai potensi dampak buruk dari tindakan adaptasi dapat mengurangi risiko maladaptasi.

Upaya ketahanan iklim juga akan menjadi kurang efektif jika kebijakan “hijau” lainnya bertentangan dengan tujuan adaptasi. Upaya Indonesia untuk beralih ke biofuel – seperti REDD+ di Kalimantan Tengah dan Kawasan Pangan dan Energi Terpadu Merauke di Papua – telah menyebabkan perluasan lahan yang mendorong petani dan masyarakat lokal meninggalkan lahan mereka, termasuk mereka yang hidup dalam kemiskinan.

Oleh karena itu, secara makro, pemerintah perlu mengidentifikasi potensi konflik kebijakan dan menyelaraskannya dengan tujuan PBI. Bappenas melalui Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon (LCDI) harus memimpin dan memantau upaya tersebut untuk memastikan bahwa setiap kementerian dan lembaga tidak menghambat upaya adaptasi iklim. Indonesia juga perlu berinvestasi lebih banyak dalam produksi pengetahuan untuk menangani isu perubahan iklim guna memastikan bahwa kebijakan iklim didasarkan pada bukti.

Dalam jangka panjang, komitmen politik untuk menindaklanjuti rencana adaptasi Indonesia akan sangat penting untuk menjamin masa depan yang berketahanan iklim. Ketika para elit global berkumpul untuk menghadiri COP27, Indonesia harus bergerak lebih dari sekedar perencanaan hingga implementasi untuk memastikan masyarakat miskin dapat mengatasi perubahan iklim.

***

Sudarno Sumarto adalah peneliti senior di Lembaga Penelitian SMERU dan penasihat kebijakan pada Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K), Kantor Wakil Presiden. Made Anthony Iswara adalah peneliti junior di SMERU Research Institute. Pendapat yang dikemukakan adalah pendapat mereka sendiri.

situs judi bola online

By gacor88