7 Februari 2022
JAKARTA – Komitmen terhadap agama tidak berarti Anda harus meninggalkan hasrat Anda terhadap kreativitas. Para cosplayer berhijab ini mendobrak batasan tanpa meninggalkan keyakinan mereka.
Dimulai jauh sebelum dominasi budaya pop Korean wave, anime dan manga Jepang telah menarik minat anak muda Indonesia sejak tahun 90an. Kenangan masa kecil sebagian besar orang dewasa zaman modern sering kali dikaitkan dengan anime Minggu pagi, yang menunjukkan betapa mengakarnya budaya 2D Jepang di negara ini.
Beberapa acara yang berhubungan dengan Jepang seperti Festival Ennichisai Blok M yang terkenal di Jakarta Selatan diadakan di kota-kota besar, dan salah satu yang menarik dari acara ini adalah para cosplayer – sebuah budaya yang bertahan terutama melalui media sosial. Bagi Lina Freya, pegawai BUMN asal Jakarta berusia 28 tahun, semuanya berawal dari Gelar Jepang Universitas Indonesia.
Cosplay adalah kependekan dari “permainan kostum”, sebuah hobi di mana para penggemar berdandan agar terlihat seperti karakter fiksi favorit mereka. Ini dimulai di Jepang dengan sebagian besar karakter manga dan anime Jepang sebelum mendapatkan popularitas di seluruh dunia.
“Saya mulai ikut-ikutan pada tahun 2013, dan mulai berhijab pada tahun 2012,” kata Lina. “Waktu itu (di Gelar Jepang Universitas Indonesia) aku main sama Yukiko Amagi dari Persona 4.”
Para cosplayer punya banyak cara untuk meniru karakter favoritnya, seperti cara membuat rambutnya terlihat persis seperti mahkota berdiri yang berukuran besar. Namun, cosplayer berhijab memiliki tantangan lain: menjadikan hijab sesuai tujuannya sambil tetap berpenampilan seperti karakter favorit mereka. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Lina saat memulainya.
“Dulu saya tertarik dengan cosplay tapi tidak berani mencobanya. Saat itu saya tidak tahu caranya. Saya juga tidak punya teman (dengan minat yang sama),” jelas Lina. Saya pikir jika Anda memakai jilbab, Anda tidak bisa cosplay.”
Suatu hari, Lina melihat seseorang bermain bersama dengan Hatsune Miku, seorang Vocaloid – maskot ikonik dari perangkat lunak musik perusahaan Jepang Crypton Future Media. Sang cosplayer mengenakan hijab sambil tetap menampilkan tampilan sempurna dari sosok moe (bahasa gaul Jepang untuk imut).
“Saya mendapat investasi. Saya bertanya kepada sesama pecinta budaya dan anime Jepang dan mencoba mencari penjahit yang cocok secara online.”
Sementara itu, Ira Kuswara Putri alias Mirai mulai ikut membintangi film tersebut sebelum memutuskan untuk mulai berhijab pada tahun 2018. “Saya mulai ikut bermain pada tahun 2015,” kata Mirai. “Setelah berhijab, saya merasakan keinginan untuk bermain bersama lagi, namun saya masih ragu karena saya tidak bisa melepas jilbab saya begitu saja.”
Dia membaca artikel tentang cosplayer hijab dari Malaysia dan mulai menjadi cosplayer hijab pada awal tahun 2021.
Adaptasi dan mengatasi tantangan
Menurut Angetri Tunggadewi Putri asal Bandung yang lebih dikenal dengan sebutan Ange Minami di kalangan pecinta cosplay, sebaiknya pilih karakter yang tampilan keseluruhannya mudah ditiru.
“Saya biasanya memilih karakter yang cocok untuk dimainkan (fitur wajah saya). Jadi, setiap kali saya merencanakan cosplay, saya menentukan apakah karakter ini cocok dengan fitur wajah saya,” kata Ange yang juga mempertimbangkan hal serupa dengan kostum karakter tersebut.
“Saya biasanya memilih apa yang saya suka, dan yang penting kostum aslinya tidak terlalu terbuka (seperti Kamen Rider wanita). Jadi tetap terlihat bagus kalau saya sesuaikan dengan hijab dan menutupi aurat (area intim tubuh yang wajib ditutup).”
Ad Diena Islamy Haq, mahasiswi Universitas Negeri Semarang berusia 20 tahun, memiliki pendekatan serupa. “Biasanya saya cosplay karakter yang saya suka. Jadi sebelum cosplay saya mempelajari karakternya, meneliti berbagai kostum mereka secara online, lalu saya memilih kostum yang paling rahasia dan memastikan tidak ada ciri-ciri religius atau ambigu seperti salib atau bentuk yang terlihat seperti salib,” kata Diena.
Lina berpendapat bahwa seorang cosplayer tidak harus berpenampilan 100 persen seperti karakter yang ia perankan. Sebaliknya, ia menekankan bahwa hal yang paling penting adalah “menampilkan ciri-ciri kepribadian khas dari karakter tersebut”.
“Yang harus diingat, cukup menciptakan gaya dari ciri-ciri yang unik,” ujarnya seraya menambahkan bahwa cosplayer hijab tidak boleh memperlakukan hijab sebagai pengganti wig.
“Contohnya Hatsune Miku. Ia memiliki warna rambut khas biru dengan ekor kembar. Tak harus pakai twin tail untuk hijabnya, cukup menonjolkan warna rambut plus kostumnya saja, biar orang tahu siapa yang datang. Anda tidak boleh hanya meniru gaya rambut apa adanya. Lalu ada Keqing dari Genshin Impact, rambutnya keriting — hijabnya tidak perlu dikeriting dengan cara yang sama.”
Komitmen dan dedikasi
Bagi Diena, hijab menjadi salah satu nilai jual tersendiri bagi para cosplayer, namun kurang populer di kalangan masyarakat Indonesia.
“Banyak yang mengapresiasi, namun banyak juga yang melontarkan komentar negatif dan tidak konstruktif,” ujarnya. “Orang tuaku juga awalnya menganggapnya agak aneh, tapi sekarang tidak apa-apa asalkan aku memprioritaskan studiku. Teman-temanku juga mendukungku, dan mereka senang aku bisa melakukan apa yang aku suka.”
Ange menceritakan bahwa ada beragam reaksi di komunitas cosplayer hijab, namun dia memahami bahwa setiap orang dapat memiliki pandangan dan preferensinya masing-masing.
“Alhamdulillah banyak juga komunitas hijab cosplay pendukung baik dalam maupun luar negeri. Bahkan ada komunitas yang menjadikan saya tamu di berbagai acara nasional, bahkan di Malaysia,” ujarnya.
Lina, yang melihat adaptasi sebagai tantangan terbesar bagi cosplayer berhijab untuk mematuhi syariah, mengatakan dia akhirnya belajar untuk menepis kritik.
“Ada juga yang mengkritik, kalau sudah berhijab sebaiknya jangan ikut-ikutan, karena cosplayer harus memakai wig agar lebih akurat dengan karakter aslinya. Tapi perlu diingat, kalau dari awal tidak suka, sebagus apa pun cosplaynya, reaksinya akan negatif,” kata Lina.
Lina berbagi kisah tentang seorang cosplayer berhijab baru yang baru-baru ini memicu drama dalam komunitas cosplay berhijab dengan memberikan komentar negatif di media sosial.
“Dia bisa saja menggunakan komentar tersebut untuk meningkatkan cosplaynya, dan malah menjadikannya lebih baik. Pada akhirnya berdampak pada komunitas cosplayer hijab secara keseluruhan. Ini menyedihkan dan membuat saya khawatir,” katanya. “Kadang-kadang saya berpikir tentang bagaimana kita bisa melakukan hobi kita sambil tetap bersikap positif sehingga sesama cosplayer bisa mengekspresikan kreativitasnya.”