20 Oktober 2022
JAKARTA – Protokol kesehatan yang diterapkan di seluruh dunia untuk mencegah penularan COVID-19 antara lain berupa penggunaan masker, mencuci tangan, penjarakan sosial, karantina. Namun, langkah-langkah ini tidak cukup untuk mengalahkan pandemi ini. Ada kebutuhan untuk mengembangkan obat-obatan dan vaksin yang lebih efektif.
Organisasi Kesehatan Dunia memimpin perjuangan global melawan pandemi ini. Pemerintah, organisasi non-pemerintah, perusahaan, filantropis, dan individu telah bekerja sama untuk menemukan dan menyediakan obat-obatan dan vaksin yang lebih aman dan efektif.
Pemerintah Indonesia juga telah berhasil menangani COVID-19 dengan baik. Secara khusus, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjamin keamanan, efektivitas, dan mutu obat serta vaksin COVID-19.
Bersama tim ahli, BPOM melakukan evaluasi pra-pemasaran obat dan kandidat vaksin secara ilmiah berdasarkan chemistry manufacturing control (CMC), data uji praklinis, dan uji klinis, sesuai dengan pedoman WHO.
BPOM sejauh ini telah menyetujui beberapa obat dan vaksin COVID-19 – baik primer maupun booster – untuk penggunaan darurat. Untuk pengendalian pasca pemasaran, BPOM menjamin stabilitas vaksin dalam proses distribusi, pengendalian mutu, dan pengawasan pasca pemasaran atau dikenal dengan farmakovigilans.
COVID-19 telah berdampak signifikan terhadap penelitian molekuler di Indonesia, termasuk perolehan instrumen canggih dan peningkatan tingkat keamanan hayati (BSL) laboratorium. Tanpa banyak keriuhan, Bio Farma, perusahaan induk perusahaan farmasi milik negara, baru-baru ini mengumumkan vaksin COVID-19 buatan sendiri yang pertama di negara ini.
Vaksin tersebut, Indovac, dikembangkan bekerja sama dengan Baylor College of Medicine di Texas, Amerika Serikat. BPOM, yang terlibat dalam pengembangan vaksin lokal, mengizinkan Indovac untuk penggunaan darurat pada 28 September. Vaksin tersebut juga telah memperoleh sertifikasi halal.
Pada saat yang sama, Bio Farma juga mulai mengembangkan vaksin booster dan vaksin untuk anak-anak. Yang terpenting, perusahaan telah memulai proses pendaftaran daftar penggunaan darurat ke WHO sehingga Indovac dapat digunakan di negara lain dan berkontribusi pada upaya pembendungan virus secara global.
Selain Indovac, vaksin lokal kedua bernama Merah Putih sedang dikembangkan oleh Universitas Airlangga dan PT Biotis Pharmaceutical Indonesia. Vaksin ini merupakan karya tunggal para peneliti Indonesia yang mengembangkannya dari tahap awal dengan menggunakan virus SARS-CoV-2 yang diisolasi dari pasien COVID-19 di Surabaya.
Tonggak sejarah lainnya datang dari PT Etana Biotechnologies Indonesia. Pada tanggal 24 September, BPOM mengeluarkan izin penggunaan darurat untuk AWCORNA, vaksin COVID-19 menggunakan metode mRNA yang dikembangkan oleh Abogen-Yuxi Walvax Tiongkok bekerja sama dengan PT Etana.
Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Abogen akan mentransfer teknologi mRNA pertama ke Etana. Teknologi ini akan memungkinkan perusahaan untuk mengembangkan lebih lanjut vaksin selain COVID-19, untuk mengantisipasi pandemi baru di masa depan.
Berkat keanekaragaman hayati dan genom yang melimpah, Indonesia mungkin akan menjadi pemimpin di sektor bioteknologi di tahun-tahun mendatang.
Pemanfaatan teknologi molekuler yang ditimbulkan oleh COVID-19 tidak hanya terbatas pada pengobatan dan penemuan vaksin COVID-19, namun juga dapat diterapkan pada penyakit lain. Misalnya, teknologi ini dapat diterapkan pada penyakit kanker, yang merupakan penyebab utama kematian dini di sebagian besar negara, terutama negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia.
Meskipun Indonesia terus memerangi penyakit menular seperti tuberkulosis, malaria, demam berdarah, dan penyakit tropis yang terabaikan, terdapat peningkatan jumlah penyakit tidak menular, termasuk kanker, yang dihadapi negara ini. Meskipun ada kemajuan yang menjanjikan dalam pilihan terapi untuk menyembuhkan kanker, ada banyak masalah yang perlu diatasi dalam pembedahan, radiasi dan kemoterapi.
Oleh karena itu, teknologi canggih dari COVID-19 dapat digunakan untuk mengatasi kanker dengan lebih efektif. Hal ini termasuk namun tidak terbatas pada pengobatan kanker menggunakan terapi sel, antibodi monoklonal, protein rekombinan, virus oncolytic dan imunotoksin.
Jelas bahwa COVID-19 membawa harapan bagi pengembangan obat di Indonesia. Melihat potensi yang dimiliki Indonesia, mengingat sangat kaya akan sumber daya alam dan merupakan salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia, maka pembentukan ekosistem pengembangan obat akan memberikan dampak yang besar bagi Indonesia dalam hal ketahanan dan daya saing di bidang kedokteran dan biofarmasi.
Selain itu, banyak potensi penelitian di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), perguruan tinggi, dan lembaga penelitian swasta yang dapat dibidik melalui pemanfaatan teknologi COVID-19.
Pengembangan obat adalah proses yang panjang dan kompleks. Hal ini memerlukan dukungan pemerintah untuk menciptakan suasana kondusif bagi pengembangan produk farmasi dalam negeri. Keberhasilan pembentukan ekosistem pengembangan obat di sini bergantung pada beberapa faktor, antara lain kebijakan dan strategi pemerintah yang efektif dalam penelitian dan pengembangan obat, peningkatan jumlah dan kapasitas peneliti, penerapan teknologi terkini pada infrastruktur dan peralatan laboratorium, lebih banyak investasi, pengawasan yang lebih baik, kerjasama internasional, serta partisipasi aktif LSM, filantropis, industri dan sektor swasta.
Untuk menandingi negara-negara bioteknologi terkemuka, Indonesia memerlukan kawasan ilmiah yang mempertemukan seluruh pemangku kepentingan, seperti Lab Central dan Mass Bio di Massachusetts, Amerika Serikat, atau Macquarie Park Innovation Centre di Sydney, Australia.
Seluruh dunia telah terguncang oleh COVID-19, namun krisis kesehatan ini masih terselubung. Kemajuan dalam pengembangan obat di Indonesia, keberhasilan produksi vaksin lokal, dan teknologi selain COVID-19 telah membuktikan bahwa COVID-19 mempunyai dampak positif.