21 Desember 2022
JAKARTA – Pikiran saya teringat kilas balik mantan Menteri Luar Negeri, Ali Alatas yang bercerita tentang kekuatan sebenarnya Kementerian Luar Negeri beberapa tahun yang lalu ketika saya membaca pidato Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi di masa Indonesia pertama. -Pacific Forum for Development (IPFD) di Bali, dibacakan awal bulan ini.
Pengalaman Alatas menangani Timor Timur saat itu bisa menjadi pengingat bagi Retno dalam merundingkan masalah Papua. Tentu saja, dia memahami hal ini karena dia adalah bagian dari Kementerian Luar Negeri di bawah Alatas.
Retno memimpin IPFD pertama yang menghasilkan Deklarasi Pesan Bali. Ia mengatakan Indonesia telah secara intensif bekerja sama dalam proyek pembangunan dengan negara-negara Pasifik sejak tahun 2019, di mana pemerintah memberikan 211 paket bantuan teknis dan pembangunan kepada negara-negara Pasifik.
Sejujurnya, salah satu motif utama di balik pendekatan Pasifik adalah untuk “mengejutkan” masyarakat di wilayah tersebut yang memiliki ikatan emosional dan budaya yang kuat dengan masyarakat di Papua. Vanuatu adalah salah satu negara yang paling vokal mengkritik kebijakan Indonesia di Papua, serta perlakuan pemerintah Indonesia terhadap Timor Timur sebelum negara tersebut memilih kemerdekaan pada tahun 1999.
Pertemuan di Bali dihadiri para menteri, pejabat senior dan perwakilan dari Australia, Selandia Baru, Kepulauan Cook, Fiji, Kiribati, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Niue, Palau, Papua Nugini (PNG), Kepulauan Solomon, Timor leste, tonga, tuvalu dan vanuatu. Delegasi dari Amerika Serikat, Tiongkok, Prancis, Jepang, dan Korea Selatan juga turut hadir dalam acara tersebut.
“Kita harus menjaga Pasifik sebagai kawasan yang damai, stabil, dan sejahtera,” kata Retno saat membuka pertemuan 7 Desember itu.
Dalam menghadapi Papua, Presiden Joko “Jokowi” Widodo nampaknya mengikuti taktik “memecah belah dan menguasai” Belanda untuk mempertahankan kolonialismenya di Hindia Belanda selama lebih dari tiga abad. Baru-baru ini, pemerintahannya membentuk empat provinsi baru di Papua, selain provinsi Papua dan Papua Barat yang sudah ada. Pemerintah yakin akan lebih mudah menggagalkan aspirasi separatis di Papua jika masyarakat tidak bersatu.
Pengalaman Alatas menangani Timor Timur dan keakraban Retno dengan isu Papua memiliki banyak kesamaan.
Saya tidak meragukan kemampuannya dalam mewujudkan visi diplomasi Indonesia di Kepulauan Pasifik. Saya bahkan berani mengatakan bahwa dia telah mengabaikan kecenderungan kementerian yang memilih pendekatan ad hoc terhadap negara-negara Pasifik, termasuk alokasi empat kedutaan besar Indonesia untuk melayani negara-negara Pasifik. Pendekatan yang dilakukan saat ini hanya membawa Indonesia pada kelompok elit. Oleh karena itu, strategi yang terencana dan dilaksanakan untuk menjangkau akar permasalahan harus diprioritaskan.
Meski demikian, Kementerian Luar Negeri bukanlah satu-satunya lembaga pemerintah yang melakukan diplomasi. Kementerian dan lembaga negara lainnya juga terlibat dalam urusan luar negeri, namun seringkali tidak ada koordinasi antar lembaga tersebut.
Dalam wawancara dengan The Jakarta Post setelah mengakhiri masa jabatannya selama 11 tahun sebagai menteri luar negeri pada tahun 1999, Alatas mengatakan perkembangan di Timor Timur berada di luar kendali kementerian luar negeri. Padahal, diplomasi luar negeri Indonesia mencerminkan situasi dalam negeri.
“Saya harus mengakui bahwa kadang-kadang saya menjadi sangat frustrasi dengan lambatnya langkah kita dan kemunduran yang kadang-kadang terjadi, sepenuhnya di luar kendali Departemen Luar Negeri (…) Menjadi isu yang menjadi konteks nasional. Sebelumnya, orang lain yang memutuskan apa yang terjadi di Timor Timur, bukan Kementerian Luar Negeri,” kata Alatas kepada saya.
Alatas meninggalkan jabatannya hanya tiga bulan setelah Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam referendum yang diselenggarakan PBB pada bulan Agustus 1999.
Andai saya bisa menafsirkan pernyataan Alatas, betapapun sempurna dan cemerlangnya ia dalam membela kedaulatan Indonesia di Timor Timur, ketika kekejaman dan pelanggaran HAM terus berlanjut, upaya diplomasinya tidak akan ada artinya.
Kasus Papua sangat berbeda dengan kasus Timor Timur. PBB, dan juga sebagian besar negara di dunia, mengakui Papua sebagai bagian sah dari Indonesia, namun tidak pernah mengakui Timor Timur. Namun permasalahannya adalah persepsi bahwa Jakarta memperlakukan Papua sebagaimana memperlakukan Timor Timur pada masa pendudukannya pada tahun 1975-1999.
Retno harus lebih banyak mengambil tindakan bersama dalam menghadapi negara-negara kepulauan Pasifik, termasuk mengakhiri praktik penempatan empat duta besar Indonesia di wilayah tersebut. Akan lebih praktis jika Indonesia hanya memiliki satu kedutaan yang mencakup seluruh Kepulauan Pasifik.
Kementerian Luar Negeri telah memiliki Direktorat Pasifik dan Kelautan yang fokus menangani negara-negara Pasifik. Badan ini berada di bawah Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika. Direktorat ini harus ditingkatkan untuk mencerminkan meningkatnya kepentingan Indonesia di Pasifik.
Saat ini KBRI Port Moresby di PNG juga terakreditasi di Kepulauan Solomon. Sebaiknya KBRI hanya berkonsentrasi pada hubungan Indonesia dengan PNG, karena negara tersebut berbatasan langsung dengan Indonesia.
Kedutaan besar di Canberra juga mencakup Vanuatu, sedangkan kedutaan besar di Wellington juga mencakup Samoa, Kerajaan Tonga, Kepulauan Cook, dan Kepulauan Niue. Duta Besar kita di sana sibuk dengan masalah hubungan bilateral. Tugas tambahan tersebut akan menambah beban dan mustahil bagi diplomat untuk memiliki cukup waktu untuk menangani negara-negara kecil di Pasifik.
Sementara itu, kedutaan besar di Suva, Fiji juga terakreditasi di Kiribati, Nauru dan Tuvalu.
Menteri Retno sebaiknya mempertimbangkan KBRI di Suva sebagai pusat diplomasi Indonesia di Kepulauan Pasifik dan mengambil alih tugas tambahan dari kedutaan besar di Port Moresby, Canberra, dan Wellington. Artinya, kedutaan di Suva perlu menambah staf dan anggaran.
Akar permasalahan Papua berasal dari dalam negeri kita sendiri, bukan dari luar negeri. Negara-negara Kepulauan Pasifik sensitif terhadap penderitaan saudara-saudara Melanesia mereka di Papua, namun tidak dapat memberikan solusi apa pun kepada kami.
Perkataan Alatas tentang Timor Timur menjadi pengingat bagi kita dalam menyikapi permasalahan Papua. Retno bisa berbuat lebih banyak untuk mengakhiri perselisihan Papua, namun mengacu pada komentar mendiang Alatas, persoalan Papua berada di luar kendali Kementerian Luar Negeri.
***
Penulis adalah editor senior di The Jakarta Post.