28 Agustus 2023
JAKARTA – Seni pembuatan anggur telah berkembang pesat di Indonesia selama satu dekade terakhir, mulai dari awal yang sederhana di komunitas hip-hop Jawa Timur, melalui produk artisanal yang sedang berkembang, hingga operasi besar. Bali memainkan peran sentral dalam bisnis saat ini.
Dengan populasi mayoritas Muslim, konsumsi alkohol di Indonesia tergolong rendah. Padahal masyarakat Indonesia telah membuat minuman beralkohol selama berabad-abad. Tuak, minuman lokal berbahan dasar gula jawa yang mengandung alkohol sekitar 8 persen, bisa ditemukan di toko-toko di seluruh Indonesia, khususnya di Sumatera dan Lombok. Campuran fermentasi sari kelapa dan buah-buahan lain yang dimasukkan ke dalam Arak Bali, minuman beralkohol populer lainnya, memiliki kandungan alkohol berkisar antara 30 hingga 50 persen.
Konsumsi alkohol per kapita di kalangan orang dewasa berusia 15 tahun ke atas turun menjadi sekitar 0,33 liter pada tahun 2022, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), turun secara signifikan dari angka tahun sebelumnya sebesar 0,36 liter sehingga tren penurunan terus berlanjut.
Meski demikian, industri wine lokal memiliki potensi pasar yang sangat besar, klaim chef dan pengusaha Vania Wibisono, yang juga merupakan pendiri Komunitas Wine Indonesia.
Tidak mengherankan, sebagian besar permintaan didorong oleh Bali sebagai magnet pariwisata internasional, dan para pembuat anggur berharap industri lokal akan berkembang ketika pengunjung kembali ke Pulau Dewata setelah pandemi COVID-19 sudah berlalu.
Ekspor wine Indonesia masih sedikit. Menurut data dari Observatory of Economic Complexity (OEC), wine senilai US$177.000 diekspor ke Singapura pada tahun 2021, diikuti oleh Malaysia ($32.200), Australia ($6.040), Swiss ($1.560) dan Timor-Leste ($1.560).
Hal ini menunjukkan bahwa Bali akan tetap menjadi pasar utama wine lokal, setidaknya untuk saat ini.
“Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan, karena kita perlu mengedukasi lebih banyak orang tentang perbedaan rasa setiap wine. Karena wine lokal kami cenderung memiliki rasa asam, memadukannya dengan bakpao goreng bisa menjadi alternatif cara menikmatinya,” kata Vania kepada The Jakarta Post pada 11 Agustus.
Ekspor wine Indonesia menghadapi beberapa tantangan, termasuk biaya pengiriman yang tinggi dan persaingan dari label asing, kata pendiri Hatten Wines (PT Hatten Bali), Ida Bagus Rai Budarsa kepada Post pada 16 Agustus.
Didirikan pada tahun 1994, kilang anggur yang berbasis di Bali ini tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada bulan Januari tahun ini dengan kode saham WINE. Sebagai cerminan kepercayaan investor, sahamnya meningkat lebih dari tiga kali lipat sejak IPO.
Pabrik anggur tersebut menunjukkan kinerja yang sangat baik pada paruh pertama tahun 2023, dengan penjualannya meningkat 71 persen dibandingkan tahun lalu menjadi Rp 110,09 miliar ($7,19 juta), sementara labanya melonjak 341 persen menjadi Rp 20,69 miliar, menurut laporan keuangannya. diajukan ke BEI
Gunakan palet yang berbeda
Menurut Joshua Simanjuntak, pemilik bar eklektik Lokaholic di kawasan Blok M Jakarta, wine lokal secara keliru dianggap “murah” dan kualitasnya lebih rendah.
“Kalau soal wine, itu sangat subyektif karena preferensi pribadi; ada orang yang lebih menyukai wine yang cenderung asam atau manis. Yang kurang dari kita adalah pendidikan tentang fakta bahwa berbagai daerah menghasilkan wine dengan rasa yang berbeda,” katanya kepada Post pada 9 Agustus.
“Namun, jika orang mengatakan anggur Indonesia asam, bukan berarti anggur tersebut kurang harum dibandingkan anggur Eropa atau Australia,” tambah Joshua, menjelaskan bahwa ia mencoba memperkenalkan anggur lokal kepada audiens yang lebih muda melalui acara wine tasting. di barnya, yang menyajikan berbagai minuman beralkohol domestik.
Ia menjelaskan bahwa asal muasal industri pembuatan anggur di Eropa telah membuat sebagian orang ragu apakah anggur Indonesia benar-benar dapat memenuhi standar tersebut.
Manajer Penjualan dan Pemasaran Wine Isola, Ngurah Gede Purnawan, mengamini sentimen serupa, dengan mengatakan bahwa meskipun wisatawan saat ini merupakan mayoritas pasar wine lokal, hal ini diperkirakan akan berubah mengingat banyaknya tempat nongkrong trendi bagi kaum muda. masyarakat di Jakarta, seperti kawasan Blok M yang kini juga menyajikan wine lokal.
“Kami akan terus menerima kritik, namun kami juga harus menjaga realisme, karena industri wine di Indonesia relatif muda dibandingkan di Barat,” kata Ngurah.
Iklim dan peraturan menghambat industri ini
Pembatasan iklim dan pemerintah di Indonesia dianggap sebagai hambatan terbesar bagi wine lokal.
Pada bulan Maret 2021, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan niatnya untuk menerbitkan pedoman baru yang dimaksudkan untuk mendukung investasi di industri minuman beralkohol di negara tersebut.
Namun, Presiden menarik rancangan undang-undang tersebut dua hari kemudian sebagai tanggapan atas protes rakyat. Keputusan tersebut secara efektif mematikan peluang pertumbuhan jaringan distribusi penyulingan dan kilang anggur lokal.
Ida dari Hattan Wine mengatakan, bagi yang sudah punya izin boleh melanjutkan, tapi bagi yang belum, tidak bisa mengajukan izin baru. Dari sisi penyaluran, jelasnya, sebagian besar pengusaha masih bergantung pada pemerintah kota.
“Namun, aturan distribusinya ada, dan berbeda-beda di setiap wilayah. Banyak tempat di Bali misalnya yang diperbolehkan menjual minuman beralkohol, namun ada juga daerah yang melarangnya. Kami tidak mengeluarkan izin seperti (di Yogyakarta), kami juga tidak mengeluarkan izin edar; kami hanya bisa menjual,” jelas Ida.
Menurut portal web Penggemar Anggur, iklim adalah faktor terpenting dalam menentukan ekspresi anggur, dan anggur anggur biasanya diproduksi di negara-negara non-tropis.
Anggur yang ditanam di daerah beriklim sedang tidak cepat matang, sehingga menghasilkan lebih sedikit karbohidrat alami dan peningkatan keasaman. Anggur ini dimurnikan, halus dan menyegarkan.
Sementara itu, daerah yang lebih sejuk juga memproduksi wine dengan body dan rasa yang lebih kuat. Selama fermentasi, anggur berkembang lebih cepat dan memperoleh lebih banyak karbohidrat, sehingga menghasilkan konsentrasi alkohol yang lebih tinggi.
Ida dan perusahaannya masih mencari bibit yang sesuai dengan iklim dua musim di Indonesia: “Tentunya harus mempertimbangkan dengan matang varietas apa yang bisa dikembangkan untuk menghasilkan wine berkualitas.”
Vania mencatat bahwa industri pembuatan anggur di Indonesia masih dalam tahap awal dan banyak merek telah mengalami transformasi signifikan. “Seiring dengan semakin matangnya kilang anggur, anggur mereka cenderung memiliki profil rasa yang lebih halus dan unggul,” tutupnya.