30 September 2022

JAKARTA – Dibutuhkan sebuah desa untuk membesarkan seorang anak, tapi apa yang terjadi dengan perkembangan mereka ketika kota dikunci? Para orang tua dan para ahli melihat apa yang berhasil dan masalah apa saja yang muncul selama pandemi ini.

Di puncak pandemi, para orang tua harus berjuang keras untuk menjaga anak mereka tetap fokus pada layar komputer. Tidak mudah bagi orang tua untuk membantu anak-anak mereka, terutama anak-anak yang masih kecil, untuk belajar online, banyak dari mereka juga harus melakukan tanggung jawab sehari-hari lainnya.

Hal serupa terjadi pada Muhammad Faried Kasaugie, ayah empat anak yang masih kuliah pada tahun 2019, setahun sebelum pandemi melanda, yang mengandalkan istrinya untuk membantu anak-anaknya bersekolah secara online.

“Suasana di rumah kurang mendukung (untuk belajar) dan agak kacau, terutama bagi istri saya karena harus mempersiapkan anak-anak untuk kelas secara online dan juga menyiapkan kebutuhan rumah tangga,” kata warga asli Tangerang, Banten ini.

“Saat pandemi mencapai puncaknya, anak-anak belajar di rumah dan bermain di dalam ruangan. Mereka melakukan sebagian besar aktivitasnya di dalam rumah.

“Karena mereka tidak bertemu guru secara fisik, saya kira (pembelajaran dan) sosialisasinya kurang efektif. Mereka mungkin tahu materi pembelajarannya, tapi anak-anak tetap perlu bertemu secara offline untuk pertumbuhan fisik dan mentalnya,” ujarnya.

Latifah Fitriani Rakhman, 29 tahun dari Malang, memiliki seorang putri yang baru berusia 2 tahun ketika pandemi melanda Indonesia, dan keluarga beranggotakan tiga orang ini harus mengurangi aktivitas luar ruangan secara drastis.

“Saat itu kami tinggal di Jakarta, dan biasanya setiap sore kami keluar apartemen untuk bermain di taman, namun ketika pandemi datang, kami tidak keluar unit sama sekali, kecuali untuk urusan mendesak,” kenangnya. “Biasanya kami menghadiri kelompok bermain di luar ruangan sebulan sekali, tetapi kami harus memindahkannya secara online.”

Untungnya bagi Latifah, kelompok bermain online ini efektif untuk putrinya. “Kegiatan (kelompok bermain) kebanyakan bermain dan bernyanyi. Mereka senang bertemu teman dan instrukturnya serta melihat ekspresi orang lain, tapi tidak untuk (dalam jangka waktu yang lama).”

Kegiatan kelompok bermain online berjalan baik bagi putri Latifah, namun hal tersebut merupakan pengecualian dan bukan aturan. Banyak orang tua menyadari adanya peningkatan keterlambatan bicara, kecanduan gadget, dan kehilangan kemampuan belajar pada anak-anak mereka selama pandemi.

Mutiara Astari adalah salah satunya. Dia ingat betapa bingungnya dia ketika membaca tentang seorang anak berusia 5 tahun yang mengalami masalah makan, namun juga mengalami keterlambatan perkembangan bicara sehingga anak tersebut tidak dapat mengomunikasikan preferensi makanannya.

“Banyak kasus anak yang mengalami keterlambatan bicara di sekitar saya. Sepertinya sekarang ini sudah lumrah melihat anak-anak bermasalah,” kata ibu rumah tangga berusia 31 tahun asal Malang ini. “Itu membuatku khawatir (tentang diriku sendiri).”

Pembelajar yang mudah beradaptasi: Latifah Fitriani Rakhman merasa beruntung putrinya, yang baru berusia 2 tahun saat pandemi dimulai, sudah mampu beradaptasi dengan cukup baik di kelompok bermain luar ruangannya yang kini beralih ke daring. (Atas izin Latifah Fitriani Rakhman) (Atas izin Latifah Fitriani Rakhman/Atas izin Latifah Fitriani Rakhman)

Pertempuran diam-diam di rumah

Keempat anak Faried kini berusia 6, 5, 4, dan 1 tahun. Mereka bermain dengan mainan, menggambar, dan membaca buku bersama saat dikurung di dalam ruangan.

“Saya punya banyak anak sehingga mereka bisa bermain bersama,” kata Faried. “Kami jarang memberi mereka (akses terhadap perangkat), termasuk televisi. Kami membatasi (waktu TV) hanya pada hari Sabtu dan Minggu.”

Latifah, sebaliknya, mempunyai tantangan yang berbeda dengan anak satu-satunya, sehingga ia mempersenjatai diri dengan lebih banyak alat untuk membantu menghibur putrinya: “Kami harus membeli lebih banyak mainan dibandingkan sebelumnya (pandemi) agar si kecil tidak mendapatkan tidak, bosan di rumah.”

Dia tidak sendirian. Ramadhan Niendraputra, Head of Category Development perusahaan e-commerce Tokopedia, mengungkapkan transaksi kategori ibu dan anak kini masih terus meningkat, jauh setelah puncak pandemi.

“Pertumbuhan ini tidak hanya didorong oleh kota-kota besar,” kata Ramadhan seraya menyebutkan banyak pelanggan yang berlokasi di kota-kota kecil seperti Parepare di Sulawesi Selatan dan Jepara di Jawa Tengah. “Kami (yakin) orang tua di Indonesia lebih teredukasi dalam membeli kebutuhan pengasuhan mereka secara online.”

Berkat Internet, orang tua juga dapat mencari ribuan situs web untuk mendapatkan tip dan trik mengasuh anak. Sedangkan Mutiara, ia telah bergabung dengan beberapa kelompok dukungan online di mana orang tua dapat bertukar informasi sekaligus curhat.

Mutiara mencatat bahwa keterlambatan bicara pada anak-anaknya “biasanya terjadi karena waktu menonton tanpa pengawasan”.

“Gaya pengasuhan saya bukannya tanpa screen time. Saya memperbolehkan anak saya menggunakan gadget, tapi memberikan pengawasan dan stimulasi,” ujarnya.

Dokter spesialis anak asal Jakarta, Citra Amelinda mengatakan, memberikan stimulasi sama halnya dengan memberikan nutrisi untuk perkembangan fisik anak. Selama pandemi ini banyak laporan yang menyebutkan bahwa banyak anak mengalami keterlambatan bicara dan penurunan kemampuan sosial. Ia menekankan bahwa dalam kasus seperti ini, orang tua harus waspada dan cekatan dalam mencari tanda-tanda peringatan dini.

“Misalnya anak sudah berumur satu tahun dan masih belum ada upaya untuk berkomunikasi, ini tanda peringatan. Anda tidak perlu menunggu sampai mereka berumur dua tahun. Semakin dini mereka didiagnosis mengalami keterlambatan bicara, semakin cepat pula penanganannya,” kata Citra.

“Dalam hal penarikan diri dari pergaulan, orang tua perlu menghemat waktu untuk mendapatkan interaksi yang berkualitas dengan anak-anak mereka. Kalau kalian (tinggal) berjauhan, pakai video call, tidak apa-apa.”

Perilaku meniru: Agung Pranggono (duduk, kedua dari kiri) dari Grahita Indonesia, sebuah lembaga psikologi terapan di Bandar Lampung, Lampung, menekankan bahwa anak-anak mengambil isyarat sosial dan perkembangan lainnya dari lingkungannya, termasuk benda dan orang di sekitarnya. (Atas izin Grahita Indonesia) (Atas izin Grahita Indonesia/Atas izin Grahita Indonesia)

Masalah yang diwariskan

Bertentangan dengan anggapan yang berkembang bahwa kecanduan gadget mempengaruhi perkembangan kognitif pada anak kecil, psikolog Agung Pranggono dari Grahita Indonesia, sebuah lembaga psikologi terapan di Bandar Lampung, ibu kota provinsi Lampung, tidak tertarik pada gadget untuk mengatasi semua keterlambatan perkembangan pada anak-anak. menyalahkan. .

“Ada banyak faktor ketika kita berbicara tentang keterlambatan perkembangan, dan kita tidak bisa hanya menyalahkan kambing hitam apa pun yang bisa kita temukan untuk masalah ini. Ada kasus anak melekat pada gadget, namun perkembangannya masih normal,” kata Agung.

Priska Parsaulian, direktur kreatif dan salah satu pendiri Montessori Madness di Bekasi, Jawa Barat, yang menawarkan kelas pengayaan untuk anak usia 6 bulan hingga 6 tahun, memiliki pandangan serupa.

“Gadget dapat memberikan manfaat, terutama untuk perkembangan bahasa dan kognitif pada anak. Namun tidak disarankan untuk merangsang perkembangan motorik pada anak,” kata Priska.

“Dari pantauan kami, anak usia 18 bulan hingga tiga tahun membutuhkan aktivitas keterampilan motorik nyata dalam menggunakan jari-jarinya. Hal ini penting sebagai persiapan menulis (keterampilan). Saat ini, anak-anak belum bisa memegang pensil dengan baik karena kurangnya rangsangan motorik halus,” tambahnya.

Agung juga menjelaskan, dari observasinya, tanpa disadari ada beberapa orang tua yang menghambat tumbuh kembang anaknya karena masalah psikologis yang belum terselesaikan, dan pandemi ini mungkin justru mengungkap masalah laten, bukan penyebab langsungnya.

“Janin juga bisa merasa stres. Kalau ibu stres saat hamil, maka anak yang lahir akan dalam kondisi mental stres,” jelasnya. “Ada juga orang tua yang merasa sudah memberikan stimulasi yang tepat pada anaknya, namun tidak membangun percakapan. Ini adalah (komunikasi) satu arah di mana anak bahkan tidak merasa perlu bereaksi.”

Masalah biasanya muncul antara anak-anak dan perangkat ketika komunikasi hanya bersifat satu arah. Oleh karena itu, para ahli seperti Citra dan Agung berpendapat bahwa perangkat digital aman digunakan oleh anak-anak selama mereka masih mengalami interaksi sosial dua arah.

“Kita harus ingat bahwa gadget adalah (benda mati). Anak-anak belajar dari kehidupan (sesuatu),” kata Agung.

“Anak-anak itu seperti mesin fotokopi. Sepanjang hidup mereka, mereka meniru hal-hal di sekitar mereka. Bahkan ketika akses mereka ke dunia luar terbatas, mereka tetap memiliki orang tua.”

slot

By gacor88