6 Juli 2023
JAKARTA – Dengan perkiraan bahwa masyarakat berusia 40 tahun ke bawah akan menjadi mayoritas pemilih pada pemilu 2024, partai politik dan calon presiden tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk menarik demografi yang sudah apatis terhadap politik, kata para ahli.
Dalam waktu sekitar tiga bulan, pendaftaran akan dibuka bagi calon peserta perayaan akbar demokrasi tahun depan, dengan para politisi bersaing untuk mendapatkan kursi di legislatif dan membentuk pemerintahan Indonesia berikutnya.
Para kandidat harus bergantung pada suara dari populasi muda yang terus bertambah, menurut daftar pemilih nasional yang telah diverifikasi dan diumumkan dengan susah payah oleh Komisi Pemilihan Umum (GPC) pada hari Minggu.
Dalam rapat pleno, KPU memaparkan daftar pemilih tetap Pilkada Serentak 2024, setelah melalui proses verifikasi panjang yang melibatkan ratusan pegawai KPU daerah. Kompas dilaporkan setiap hari.
Badan pemilu mencatat 204 juta pemilih yang memenuhi syarat, termasuk 1,7 juta warga Indonesia yang tinggal di luar negeri, yang dapat berpartisipasi dalam pemilu tahun depan, meningkat sekitar 12 juta dibandingkan dengan angka pada pemilu tahun 2019.
Jika dilihat lebih dekat pada daftar pemilih, terlihat bahwa 106 juta pemilih, atau sekitar 52 persen dari total pemilih, adalah warga berusia di bawah 40 tahun. Jika dikategorikan berdasarkan generasi, sepertiga dari seluruh pemilih yang terdaftar adalah generasi milenial, yang secara resmi mengacu pada mereka yang lahir pada awal tahun 1980an hingga akhir tahun 1990an, sementara 22 persen lainnya adalah Generasi Z, atau mereka yang lahir pada tahun 1990an. dan seterusnya.
Dengan mayoritas pemilih yang dipastikan adalah kaum muda, partai-partai politik mulai menyusun strategi untuk bersaing mendapatkan perhatian dari kelompok usia yang lebih muda ini, yang menurut para pengamat akan menjadi faktor kunci keberhasilan calon presiden mana pun.
Baca juga: Siapa yang harus dipilih? Pemilih pemula bersiap menyambut pemilu 2024
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, menaruh kepercayaan pada Sandigaga Uno yang baru saja dilantik, yang memiliki daya tarik besar di berbagai platform media sosial. Sandi, yang kini mengetuai panitia pemilu partai barunya, pada hari Senin menyelenggarakan kursus pelatihan selama tiga hari bagi jajaran PPP dengan fokus utama pada pemilih muda.
Demikian pula dengan Partai Golkar yang merekrut dan menunjuk Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang populer dan paham media sosial sebagai salah satu ketua panitia pemilihan umum partai tersebut, meskipun hanya sebagai cara untuk meningkatkan posisinya di mata generasi muda.
Perilaku kampanye
Noory Okhtariza, peneliti di lembaga pemikir Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Jakarta, berpendapat bahwa membuat calon presiden lebih cocok dengan generasi milenial akan menjadi aspek penting dalam keberhasilan kampanye presiden.
“Bisa karena gaya berpakaian, cara berbicara, atau bahkan hobinya, tapi (calon presiden) semua ingin menampilkan diri sesantai mungkin dalam upaya menarik generasi milenial,” kata Noory, Senin.
Pengamat hanya perlu menunjuk pada penampilan dadakan calon presiden Ganjar Pranowo bulan lalu di M Bloc Space di Jakarta Selatan, tempat nongkrong populer bagi kaum muda ibu kota. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu tampak berbincang dengan anak muda saat menyusuri kompleks tersebut, lengkap dengan sejumlah sesi foto.
Politisi senior Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, juga dikutip pada hari Senin yang mengatakan bahwa seruan kepada pemilih pemula akan menjadi salah satu program inti dari platform kampanye partai untuk ketua umum, Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerindra.
Peralihan ke pendekatan yang lebih santai, kata Noory, juga dapat menyebabkan calon presiden mengadakan debat dalam suasana yang lebih santai, termasuk di kampus atau di podcast media sosial online, dibandingkan di acara yang disetujui KPU, yang telah menjadi hal biasa pada pemilu-pemilu sebelumnya. mencuci.
“Saya pikir pemilih muda mungkin menganggap debat (yang disetujui KPU) terlalu kaku,” kata Noory. “Dan dengan maraknya konten politik (di media sosial), terutama podcast, saya rasa di situlah calon presiden akan mencoba tampil dengan (bentuk kampanye) yang lebih santai.”
Baca juga: Para pemilih menantikan janji-janji mengenai iklim pada pemilu tahun 2024
Hal ini, katanya, akan membantu mendorong pemilih muda untuk berpartisipasi, terutama sejak survei CSIS pada bulan Agustus, yang mensurvei responden berusia 17 hingga 39 tahun, mengungkapkan tanda-tanda ketidakpuasan terhadap sistem politik di kalangan generasi muda yang semakin meningkat.
Survei tersebut menemukan bahwa hampir seperlima responden percaya bahwa demokrasi tidak mengubah apa pun, dibandingkan dengan 10 persen ketika pertanyaan serupa disurvei pada tahun 2018 sebelum pemilihan presiden.
Masih Jawa-sentris
Selain fokus pada pemilih muda, para pengamat politik mengatakan calon presiden juga akan memfokuskan kampanye mereka untuk menarik pemilih dari Pulau Jawa, karena daftar pemilih nasional KPU menunjukkan bahwa enam provinsi di pulau tersebut saja menyumbang 56 persen dari seluruh pemilih di seluruh negeri.
Jawa Barat masih menjadi penyumbang pemilih nasional terbesar dengan jumlah 35 juta jiwa, sedangkan Jawa Timur dan Jawa Tengah kini menyusul di peringkat kedua dan ketiga dengan masing-masing 31 juta dan 28 juta pemilih.
Populasi penduduk Jawa-sentris, menurut analis politik Firman Noor dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kemungkinan besar akan mempengaruhi pasangan wakil presiden ketika partai-partai mencoba untuk mencocokkan calon presiden mereka dengan pasangan yang mempunyai daya tarik lebih luas di kalangan pemilih. memiliki. di Jawa.
“Karena pemilu adalah soal perolehan suara terbanyak, calon presiden tentu saja akan fokus ke Pulau Jawa dan memilih pasangannya (yang sesuai),” kata Firman, Senin. “Rekan pengurusnya tidak harus etnis Jawa, tapi harus populer di kalangan pemilih di Jawa.”