19 September 2022
JAKARTA – Google dan anak perusahaannya di Indonesia berpotensi didenda maksimal Rp 25 miliar (US$1,67 juta) jika terbukti melanggar Undang-Undang Antimonopoli negara tersebut, karena mempraktikkan penggunaan wajib Penagihan Google Pay (GBP).
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengumumkan rencananya untuk melakukan penyelidikan awal terhadap Google selama sekitar 60 hari ke depan, atas dugaan monopoli, komitmen produk, penyalahgunaan posisi dominan dan diskriminasi, semuanya melalui penggunaan GPB.
Badan antimonopoli tersebut menggarisbawahi bahwa praktik tersebut mungkin melanggar UU No. 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dengan ancaman denda paling banyak Rp 25 miliar, sesuai pasal 47 ayat 2 huruf g undang-undang tersebut.
Edmon Makarim, dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa undang-undang ini dibuat untuk memastikan adanya persaingan yang adil.
“Tujuannya (peraturan antimonopoli) adalah untuk membuka peluang usaha yang setara. Kalau ada peluang bisnis harus dibuka untuk pendatang baru, dan pemain yang lebih mapan tidak boleh menghambat persaingan,” jelas Edmon, Jumat.
“Tidak masalah kalau monopoli lahir karena ‘naturalia’ atau hukum. Namun, jika (persaingan) ditentukan oleh pasar, pasar harus diatur untuk menjamin keadilan. Kalau (sektor) teknologi, persaingannya ditentukan oleh pasar,” imbuhnya seraya menjelaskan, tindakan Google membatasi masuknya pasar bisa dianggap sebagai upaya monopoli.
Kasus antimonopoli global terhadap Google telah mengganggu perusahaan ini dalam beberapa tahun terakhir, dengan kasus terbaru yang terjadi di Uni Eropa, di mana pengadilan menjatuhkan denda sebesar $4,12 miliar, menjadikannya denda antimonopoli terbesar yang pernah dikeluarkan oleh Komisi Eropa.
“Jika Anda berada dalam bisnis yang hanya mengikat orang pada Google dan produk-produknya, hal ini akan menghambat pertumbuhan bisnis baru,” kata Edmon, menjelaskan logika hukum di balik kasus Google.
“Perkembangan baru bisa memunculkan industri-industri baru dan pemain-pemain baru, sehingga peluang tersebut harus bisa diakses secara merata oleh semua pihak demi kesejahteraan rakyat,” imbuhnya.
KPPU mengumumkan pada hari Kamis bahwa penyelidikan awal terhadap Google diluncurkan pada hari Rabu setelah penelitian berbulan-bulan terhadap kebijakan Google yang mengikat penggunaan GPB untuk aplikasi tertentu, yang mana raksasa teknologi multinasional tersebut memungut biaya layanan sebesar 15 hingga 30 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan yang lain. biaya penyedia pembayaran, yang mencapai 5 persen atau lebih rendah.
“KPPU merasa situasi ini sulit bagi pengembang aplikasi di Indonesia karena tingginya biaya layanan. (…) Selain menyebabkan peningkatan biaya produksi dan harga, kewajiban (biaya) ini juga menyebabkan terganggunya pengalaman pengguna konsumen,” kata badan antimonopoli.
Agensi lebih lanjut menjelaskan bahwa aplikasi yang tunduk pada kebijakan tersebut tidak punya pilihan selain mematuhinya, dan aplikasi tersebut akan dihapus dari Google Play Store atau pembaruannya tidak akan muncul di toko jika menolak untuk mematuhinya. . .
“Kebijakan wajib penggunaan GPB mewajibkan aplikasi yang diunduh dari Google Play Store untuk menggunakan GPB sebagai metode transaksinya (untuk pembelian produk dan pembayaran layanan) dan penyedia konten atau pengembang aplikasi harus mematuhi ketentuan dalam GPB,” kata KPPU.
“Google juga tidak mengizinkan penggunaan metode pembayaran alternatif di GPB. Kebijakan penggunaan GPB ini berlaku efektif pada 1 Juni 2022,” tambah lembaga tersebut, menyoroti poin monopoli dalam fakta bahwa perusahaan AS menguasai 93 persen pangsa pasar di platform aplikasi Indonesia.
Lebih lanjut, KPPU juga menduga Google menjual layanan Google Play Store dan GPB sebagai sarana product bundling, yaitu praktik menjual satu produk atau jasa sebagai tambahan wajib pada pembelian produk atau jasa tersendiri.
“Ditemukan juga bahwa untuk pembelian dalam aplikasi, Google hanya bekerja sama dengan satu penyedia gateway/sistem pembayaran, sedangkan penyedia lain di Indonesia tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menegosiasikan metode pembayaran mereka. (Ini) berbeda dengan perlakuan Google terhadap penyedia konten digital global, di mana Google terbuka terhadap sistem pembayaran alternatif,” kata KPPU dalam keterangan pers yang dirilis, Kamis.
Meski tidak disebutkan secara spesifik, lembaga tersebut mengungkapkan bahwa jenis aplikasi yang tunduk pada kebijakan ini antara lain yang menawarkan perangkat lunak cloud, item digital yang dapat digunakan dalam game, layanan berlangganan seperti pendidikan, kesehatan, musik atau video serta program tertentu yang konten yang disediakan.
Penyalahgunaan posisi dominan
Sementara itu, Google berpendapat bahwa mereka tidak melihat apa yang dilakukannya sebagai penyalahgunaan posisi dominannya – sebaliknya, raksasa tersebut melihatnya sebagai membantu pengembang lokal.
“Google Play (store) telah memungkinkan pengembang Indonesia meraih kesuksesan dengan memberi mereka akses ke alat dan kemampuan yang membantu mereka membangun aplikasi dan bisnis yang sukses serta mendukung semua hal hebat yang mereka lakukan. Kami terus mendengarkan dan meningkatkan berdasarkan masukan yang kami terima dari komunitas Play,” kata juru bicara Google kepada The Jakarta Post pada hari Jumat.
“Misalnya, awal bulan ini kami meluncurkan fase berikutnya dari uji coba penagihan pilihan pengguna di Indonesia, yang memungkinkan pengembang menawarkan sistem penagihan alternatif kepada pengguna selain sistem penagihan Google Play. Kami berharap dapat bekerja sama dengan KPPU untuk menunjukkan bagaimana Google Play mendukung pengembang,” tambah mereka.
Trissia Wijaya, kepala penelitian peluang ekonomi di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), mengatakan KPPU harus berhati-hati dalam menangani kasus antimonopoli ini.
“Masalah monopoli ini perlu dipertimbangkan kembali karena banyak faktornya. Google sendiri mungkin menghadapi kasus yang sama di negara lain seperti AS, namun AS sendiri memutuskan untuk menunda penilaiannya karena kurangnya validasi; semuanya kembali pada hak pengguna untuk memilih browser mana yang ingin digunakan,” kata Trissia.