Hari Berita Sedunia: Disinformasi adalah wabah dalam wacana publik, jurnalisme berbasis fakta dapat membantu menghentikannya

28 September 2022

DHAKA – Era digital mengantarkan era konektivitas yang belum pernah terjadi sebelumnya, memungkinkan orang-orang di seluruh dunia untuk berbagi ide dan pendapat hampir secara real-time. Hal ini juga ditandai dengan penyebaran disinformasi.

Hal ini terbukti ketika mengkaji hampir semua permasalahan utama yang dihadapi dunia saat ini.

Misalnya, kebangkitan Internet dan teknologi digital membawa janji demokratisasi yang lebih besar melalui kemampuan berbagi informasi yang belum pernah ada sebelumnya. Namun, kenyataan saat ini lebih mirip distopia digital yang diperingatkan oleh Laporan Risiko Global Forum Ekonomi Dunia hampir satu dekade lalu. Di banyak negara, disinformasi online yang sengaja dibuat dan dikumpulkan di luar negeri beredar bebas, sehingga merusak stabilitas politik negara-negara tersebut.

Lembaga-lembaga demokrasi juga mendapat tekanan karena disinformasi semakin memicu polarisasi dan kekerasan politik. Saat ini, beberapa negara – termasuk Brasil, Italia, Nigeria, dan Amerika Serikat – memperingatkan bahwa disinformasi menyebar menjelang pemilu penting.

Sementara itu, platform digital telah memungkinkan kita untuk berbagi keahlian dan memperluas solusi untuk mengatasi perubahan iklim. Namun sering kali disinformasi menggagalkan diskusi. Faktanya, dalam laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, PBB memperingatkan bahwa upaya untuk memerangi perubahan iklim “dirusak secara signifikan” oleh informasi yang salah.

Teknologi digital juga mendukung upaya memerangi respons pandemi COVID-19. Hal ini mencakup pengembangan sistem deteksi infeksi dan pemberian vaksinasi. Namun disinformasi juga ikut menentukan pandemi ini—sedemikian rupa sehingga isu ini disebut sebagai infodemik.

Disinformasi seputar isu-isu ini dan isu-isu lainnya telah memperburuk wacana publik dan menghambat dialog dan tindakan produktif. Hal ini juga memicu teori konspirasi.

Ambil contoh, teori konspirasi seputar The Great Reset, sebuah inisiatif Forum Ekonomi Dunia yang mempromosikan gagasan membangun kembali perekonomian menjadi lebih hijau dan adil pasca-COVID-19. Sejak tahun 2020, penyedia disinformasi yang disponsori negara dengan sengaja menciptakan dan menyebarkan kebohongan tentang inisiatif tersebut, sering kali mengaitkannya dengan teori konspirasi anti-Semit tentang “kontrol” atas ekonomi global.

Klaim seperti ini tidak berdasar dan dibagikan tanpa bukti. Namun demikian, mereka telah menyebar dari sudut-sudut ekstrem di Internet hingga ke arus utama. Laporan terbaru mengenai kampanye disinformasi Rusia terhadap demonstrasi perempuan Amerika pada tahun 2017 juga menunjukkan bahwa hampir semua topik dapat dijadikan sasaran. Dalam kasus ini, disinformasi telah digunakan untuk memicu perang budaya yang memecah belah dan mengalihkan wacana publik dari diskusi berbasis kebijakan.

Kebangkitan jurnalisme berbasis fakta dapat membantu mengekang disinformasi.

Editor dan reporter harus melawan politisi dan komentator politik yang membawa kebohongan ke dalam wacana publik arus utama. Ruang redaksi juga harus berhati-hati untuk menghindari pandangan kedua belah pihak yang menyesatkan. Bagaimanapun, netralitas bukan berarti meninggalkan jurnalisme berbasis fakta.

Selain itu, jurnalisme berbasis fakta sangat penting untuk melindungi kebebasan berpendapat, karena disinformasi sering kali mencemari perdebatan yang berpikiran maju. Hal ini hanya akan memperlambat kemajuan dan melemahkan upaya untuk mengatasi masalah-masalah mendesak seperti kesehatan masyarakat dan krisis iklim.

Pada Hari Berita Sedunia, penting untuk diingat bahwa para disinformasi tidak boleh dibiarkan menang.

Pertukaran ide dan pendapat yang bebas harus terus dilakukan dengan tidak tercemar, dan wacana publik tetap terfokus pada isu-isu penting yang dihadapi masyarakat di seluruh dunia.

Adrian Monck adalah direktur pelaksana Forum Ekonomi Dunia.

slot online gratis

By gacor88