9 Februari 2022
JAKARTA – Dari tradisi yang telah berlangsung selama satu dekade hingga inspirasi film – arisan adalah ritual sosial, bantuan keuangan, acara kumpul-kumpul yang menyenangkan, dan masih banyak lagi. Ketika generasi muda saat ini mengalami tren peningkatan dalam blockchain, saham, dan saham, investasi kini menjadi topik hangat yang melampaui kelompok investor pada umumnya. Generasi muda Indonesia mulai terjun ke dunia cryptocurrency. Namun di antara sekian banyak reksa dana online yang trendi, budaya keuangan yang telah berusia puluhan tahun masih tetap hidup berkat praktiknya yang menyenangkan. “Saya telah mengadakan arisan bersama teman-teman saya sejak tahun 1982,” kata Tien, 72 tahun, dari Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, kepada The Jakarta Post pada 15 Januari. Arisan, sebutan untuk perkumpulan simpan pinjam bergilir (yang juga ada di beberapa negara mulai dari Asia hingga Afrika), adalah arisan di mana orang-orang mengumpulkan uang dan memenangkannya melalui undian di lingkaran teman atau keluarga terpercaya. Praktik tersebut sudah lama ada di masyarakat Indonesia mulai dari desa hingga perkotaan. Bahkan diabadikan dalam budaya populer melalui film terkenal tahun 2003 Arisan! karya sineas ternama Nia Dinata dan Joko Anwar. Beberapa orang mungkin akrab dengan stereotipe – hanya sosialita atau ibu-ibu paruh baya yang ikut arisan – dan stigma yang ada – arisan adalah ajang untuk bergosip – namun kenyataannya, arisan telah membantu kondisi keuangan banyak orang. Ikatan keluarga dan bantuan keuangan Tien pertama kali bertemu dengan teman-temannya di SD Banjarsari Jl. Merdeka, Bandung, tempat semua anaknya bersekolah. Itu terjadi pada tahun 1982. “Seiring berjalannya waktu, kami berpikir, ayo kita adakan arisan saja agar ikatan kita tidak hilang,” katanya. Sebagaimana pendapat banyak orang, lebih baik mengadakan arisan daripada mengadakan “pertemuan yang tidak berguna”. Kini, hampir setengah abad kemudian, tradisi tersebut terus berlanjut. Tien dan teman-temannya kerap membawa cucu-cucunya ke arisan untuk bertemu keluarga masing-masing.
Ikatan kekeluargaan terasa baik, bahkan cucu saya yang berusia enam tahun beberapa hari lalu menelepon suami teman saya untuk mengucapkan terima kasih karena telah memberinya permen, kata Tien. Kelanggengan persahabatan mereka melalui arisan adalah hal yang sangat disayangi Tien. “(Sudah) sejak anak kami TK, saat kami masih kecil, bahkan sebelum kami menutup kepala dengan hijab,” dia tertawa. “Kami menjadi saudara perempuan.” Selama bertahun-tahun, uang arisan yang mereka kumpulkan membuat banyak impian Tien dan teman-teman arisannya menjadi kenyataan, mulai dari membeli barang-barang mahal hingga pergi ke luar negeri bersama-sama. Namun “lotere” bukanlah sistem yang kaku. Ketika seorang anggota risena mengalami masa-masa sulit, kelompok tersebut mengirimkan uang untuk membantu mereka. “Itu sudah (sifat kedua), tidak perlu dibicarakan lagi,” kata Tien soal syarat alokasi uang darurat. Tiga suami anggota telah meninggal dunia selama bertahun-tahun, dan masing-masing terbantu oleh dana arisan. “Sempat putri saya dirawat di rumah sakit, (teman-teman arisan) malah menemani saya ke Jakarta.” Selain itu, uang yang mereka sepakati untuk dibayarkan setiap bulan tidak pernah menjadi hambatan bagi anggota yang kesulitan secara finansial. “Jika saya tidak mampu membayar tabungan bulanan, saya akan membayar setengah harga dan anggota lain juga akan membayar setengahnya sehingga kami dapat mengumpulkan jumlah tersebut. Tidak ada paksaan di antara kami,” ujarnya.
Kekuatan politik
Dengan banyaknya nama yang dimiliki di berbagai negara (tandas di Amerika Latin, kameti di Pakistan, hui di komunitas Tionghoa di Asia Timur dan Tenggara), arisan pada dasarnya adalah sistem tabungan umum yang dimiliki banyak negara. “Tetapi hal ini berkembang di Indonesia karena tradisi agraris yang sudah lama ada, dengan konsep awal gotong-royong (gotong royong).” jelas sejarawan Andi Achdian kepada Post pada 19 Januari. Andi, yang penelitiannya di Jawa Timur menelusuri sejarah panjang arisan, mengatakan bentuk awal arisan agraris adalah masyarakat desa mengumpulkan hasil panennya dalam satu gudang. Versi modern yang kita kenal sekarang muncul ketika mereka pindah ke kota-kota Hindia Belanda sekitar akhir abad ke-19. “Warga desa berusaha bertahan, ada yang bekerja sebagai buruh pabrik, pembantu rumah tangga, dan lain-lain. menjadi (…), makanya mereka bergotong royong sebagai komunitas untuk menyusun mekanisme (membantu mereka) jika misalnya terjadi kematian atau hal lain yang membutuhkan banyak biaya,” ujarnya. “Jadi pada saat itu ada semacam jaring pengaman bagi masyarakat miskin di lingkungan perkotaan.” Dan nampaknya arisan mempunyai peranan yang cukup besar dalam membentuk masyarakat sebagai sebuah kekuatan politik. “Bentuk arisan dijadikan dasar pengorganisasian rakyat pada masa gerakan anti kolonial. Sedangkan untuk pengorganisasian masyarakat, beberapa aktivis arisan (saat itu) membuat semacam tradisi yang berkembang menjadi hal yang lebih besar dalam organisasi politik,” jelasnya. “Pada saat itu, kesadaran kolektif didorong oleh pekerja, petani, dan masyarakat miskin di perkotaan. Dan cara paling efisien untuk melakukan hal tersebut adalah melalui arisan.”
Artikel ini telah tayang di thejakartapost.com dengan judul “Ikon Indonesia: Tradisi Silaturahmi ‘Arisan'”. Klik untuk membaca: https://www.thejakartapost.com/culture/2022/02/08/indonesian-icons-the-get-together-tradition-of-arisan.html.
Mencakup generasi
Saat ini, arisan telah mendapatkan nafas baru, baik dalam keadaan baik maupun buruk. Arisan online yang anggotanya asing kini banyak bermunculan di internet. Namun kejadian penggelapan uang yang dilakukan oleh satu orang terjadi akibat praktik tersebut, salah satu contohnya adalah seorang perempuan berusia 32 tahun asal Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan yang menggelapkan uang sekitar 250 juta rupiah (US$17.471) pada Minggu (23/12) lalu. “(Dengan arisan online), prinsip membangun komunitas, kolektif melalui arisan mungkin kurang terwakili. Jadi dari segi budayanya agak (sedikit berbeda),” kata Andi. Betapapun liciknya bentuk online yang ditampilkan, hal ini menunjukkan bahwa arisan telah melalui banyak generasi dan berulang. “Anggota keluarga saya yang naik daun terdiri dari sepupu saya, karena kebetulan saya mempunyai delapan saudara laki-laki dan perempuan. (…) Laki-laki dan perempuan semua ikut renang, jadi tidak hanya ibu-ibu saja yang terlibat,” kata Indah Kurniati, 54 tahun, asal Tangerang. Keluarga besar yang telah bangkit ini memungkinkan dia dan anak-anak sepupunya untuk saling mengenal dan bermain bersama. Dan pada akhirnya, kini putri Indah yang berusia 26 tahun itu malah memiliki lingkaran arisan sendiri bersama teman-teman seumurannya. “Saya membentuk kelompok bangkit bersama rekan-rekan saya dari tim promosi kampus,” kata Mariyatul “Tia” Qibtiyah kepada Post pada 17 Januari. Lulusan Universitas Al-Azhar Indonesia Jakarta Selatan, Tia dan teman-temannya yang berjumlah sekitar 30 orang memutuskan pada tahun 2018 untuk melanjutkan pertemuan melalui arisan. “Karena sibuk, kami sering melakukannya secara online karena khawatir kalau sebulan sekali ketemu hanya sedikit yang bisa datang,” ujarnya. “Jadi, daripada (pertemuan bulanan secara umum), kami sesekali mengadakan pesta,” tambahnya. Ketika ditanya mengapa ia dan teman-temannya lebih memilih arisan dibandingkan investasi berorientasi keuntungan lainnya, Tia mengatakan ia menyukai kedekatan arisan. “Arisan pada dasarnya menghasilkan euforia yang berbeda,” tutupnya. “Ini tidak kuno atau ketinggalan jaman seperti yang diperkirakan banyak orang.”