11 Juli 2023
JAKARTA – Indonesia akan tetap menerapkan larangan ekspor bijih mineral untuk meningkatkan industri hilirnya, meskipun Dana Moneter Internasional (IMF) meminta negara tersebut untuk membatalkan kebijakannya, demikian pemerintah.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan pada hari Sabtu bahwa Presiden Joko “Jokowi” Widodo menginstruksikannya untuk “melawan” pihak mana pun yang mencoba mengganggu kedaulatan negara.
Hal ini terkait dengan rekomendasi dalam laporan IMF baru-baru ini yang mendesak pemerintah Indonesia untuk menghapuskan larangan ekspor mineral secara bertahap, karena lembaga tersebut merasa dapat mengganggu stabilitas “sistem perdagangan multilateral”. Meskipun IMF tidak mengarahkan kritiknya secara langsung kepada Indonesia, namun secara umum ditujukan kepada negara-negara yang dianggap sebagai penghambat perekonomian dunia.
“Apa yang disampaikan Presiden (Jokowi) (kepada saya)? Bahlil, (harus) berjuang dan kedaulatan negara kita tidak boleh dikompromikan oleh siapa pun, termasuk IMF,” kata Menteri Bahlil dalam acara online, Sabtu.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan akan mengadakan pertemuan dengan Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva untuk menjelaskan kebijakan hilirisasi komoditas mineral, menurut seorang ajudannya.
“Menteri Koordinator (Luhut) akan bertemu dengan Direktur Pelaksana IMF di sela-sela kunjungannya ke Amerika Serikat. Kemungkinan awal Agustus,” kata Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi, Jumat, seperti dikutip dari Antara. Kedua.
Baca juga: IMF membuka kembali perdebatan mengenai larangan ekspor nikel di Indonesia
Indonesia telah melarang ekspor bijih nikel sejak tahun 2020, yang ditanggapi oleh Uni Eropa dengan keluhannya ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
November lalu, panel WTO memenangkan UE dan pemerintah mencoba untuk membatalkan keputusan tersebut.
Meskipun ada kasus nikel, pemerintah memilih untuk mempertahankan kebijakannya dan bertekad untuk memperpanjangnya dengan larangan resmi ekspor bauksit yang diberlakukan pada bulan Juni. Ekspor mineral lain seperti timah, emas, dan tembaga mungkin juga dikenakan larangan serupa.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pada tanggal 27 Juni bahwa ia memandang upaya organisasi atau negara internasional mana pun untuk mengendalikan kebijakan ekspor di Indonesia sebagai bentuk kolonialisme modern, dan “bukan sekadar rekomendasi.”
“Kalau ada negara lain yang memaksa kita untuk terus mengekspor (mineral kita), maka saya sebut itu imperialisme regulasi,” kata Airlangga.
Baca juga: Harga tidak tepat: ‘Diskriminasi’ disalahkan atas ekspor nikel ilegal
Bersihkan jalur perdagangan
Agus Krisdiyanto, Staf Ahli Bidang Perindustrian dan Perdagangan Internasional Kantor Eksekutif Presiden (KSP), mengatakan pembatasan yang dilakukan pemerintah merupakan hal yang wajar karena negara lain juga melakukan tindakan serupa.
Di tengah kritik IMF terhadap Indonesia, Amerika Serikat telah menerapkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) dan UE mengusulkan Undang-Undang Bahan Baku Kritis (CRM) untuk mengatur pemrosesan mineral penting dan produksi kendaraan listrik (EV) di wilayah mereka. batasan masing-masing.
“Negara-negara besar di IMF seperti Amerika Serikat juga telah menerapkan larangan ekspor potasium dan germanium,” kata Agus dalam wawancara online dengan CNBC Indonesia, 4 Juli lalu.
Terkait kekhawatiran IMF bahwa rantai pasok global akan terganggu akibat larangan ekspor, Agus menegaskan hal tersebut tidak akan terjadi.
Misalnya, meskipun Indonesia melarang ekspor bijih nikel, negara tersebut masih mengizinkan pengiriman feronikel, besi nikel, dan matras nikel, katanya.
“Kami masih bisa memasok produk nikel yang tidak terlalu jauh di hulu. Silakan digunakan,” kata Agus.
“Bagi negara yang punya smelter dan tidak bisa mendapatkan pasokan (bijih nikel), tetap bisa berinvestasi di Indonesia,” tambah Agus.
Menurut Fahmy Radhi, pakar di Universitas Gadjah Mada, Indonesia meningkatkan nilai ekspor nikelnya 19 kali lipat menjadi Rp 323 triliun (U$21,29 miliar) tahun lalu dari Rp 17 triliun pada tahun 2017, karena larangan ekspor bijih nikel.
“(Mematuhi) usulan IMF tidak hanya mengganggu program hilirisasi, tapi juga bisa menghambat Indonesia menjadi negara ekonomi maju,” kata Fahmy. Jakarta Post Senin dan menjelaskan mengapa pemerintah harus mengabaikan, menolak atau bahkan menentang rekomendasi IMF.