Presiden Indonesia Joko Widodo menyampaikan pidato yang jarang dilakukan di depan parlemen Australia kemarin ketika kedua negara berkomitmen untuk memulai “awal baru” yang bertujuan untuk meningkatkan perdagangan dan mengakhiri sejarah ketegangan hubungan mereka.
Dalam pidato pertama pemimpin Indonesia di sidang gabungan Parlemen sejak Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010, Joko mengatakan kesepakatan perdagangan baru antara kedua negara dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan “mengubah persaingan menjadi kerja sama”.
Kerja sama seperti ini akan sangat penting, katanya, karena ketidakpastian ekonomi mengancam akan mengganggu demokrasi dalam beberapa dekade mendatang. Dia mengatakan perjanjian perdagangan ini dapat memungkinkan kedua negara bertetangga untuk bekerja sama dalam menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara-negara di seberang Samudera Pasifik.
“Indonesia dan Australia harus menjadi jangkar kerja sama di kawasan Indo-Pasifik,” kata Presiden Joko, yang akrab disapa Jokowi, kepada parlemen. “Stagnasi pertumbuhan ekonomi dan bahkan resesi tampak besar, dan ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai demokrasi dan keberagaman semakin terpinggirkan.”
Ia menguraikan sejumlah bidang kerja sama yang potensial dengan Australia, termasuk memerangi proteksionisme, mendorong demokrasi dan hak asasi manusia, dan bekerja sama untuk mengatasi perubahan iklim. Kedua negara tersebut merupakan negara kepulauan yang terancam oleh naiknya permukaan air laut dan keduanya merupakan eksportir batu bara utama yang mengalami kebakaran hutan dan lahan yang dahsyat.
Bapak Joko mendesak kedua negara untuk menjajaki pembangunan berkelanjutan dengan melakukan inovasi ramah lingkungan, mengingat rencananya untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke kota metropolitan cerdas dengan teknologi ramah lingkungan.
“Kita harus bekerja sama untuk menjaga lingkungan, mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan penghijauan hutan dan kawasan hulu sungai, mencegah kebakaran hutan dan lahan, berkomitmen mengurangi emisi karbon, serta mendorong energi terbarukan dan teknologi hijau lainnya,” ujarnya.
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, mengatakan kedua pemimpin ingin melihat “Indo-Pasifik yang terbuka dan sejahtera” yang didukung oleh institusi, aturan, dan norma yang kuat.
“Bagi Australia, kami melihat keberhasilan Indonesia sebagai sesuatu yang patut dirayakan,” katanya kepada parlemen.
“Kami menganggap Indonesia sebagai salah satu mitra terpenting kami… Ada banyak tantangan di kawasan Indo-Pasifik… Kami membutuhkan mitra. Kami membutuhkan teman-teman kami.”
Kedua negara telah membangun hubungan anti-terorisme dan keamanan yang kuat serta menikmati hubungan yang relatif hangat antara para pemimpin mereka. Namun, meski berdekatan, kedua negara bertetangga ini telah lama berjuang untuk meningkatkan hubungan perdagangan dan bisnis mereka.
Perdagangan antara kedua negara bernilai A$16,8 miliar (S$15,6 miliar) pada tahun 2018, menjadikan Indonesia mitra terbesar Australia ke-13.
Sebaliknya, perdagangan dengan Singapura bernilai A$32,2 miliar pada tahun yang sama, menjadikannya mitra terbesar kelima bagi Australia.
Perjanjian perdagangan antara Jakarta dan Canberra yang telah lama ditunggu-tunggu akhirnya diratifikasi oleh DPR pada pekan lalu. Pak Joko dan Pak. Morrison setuju untuk mengadopsi rencana aksi 100 hari untuk mengimplementasikannya dengan cepat.
Morrison mengatakan dia akan meninjau persyaratan visa Australia untuk memudahkan warga Indonesia berkunjung. Ia juga mengumumkan bahwa universitas terbesar di Australia, Monash University, akan menjadi universitas pertama di dunia yang membuka kampus luar negeri di Indonesia berdasarkan perjanjian perdagangan.
Namun beberapa analis ragu apakah perjanjian perdagangan baru ini akan cukup untuk meningkatkan kepercayaan investor secara signifikan dan mendorong masyarakat dan dunia usaha kedua negara untuk terlibat.
Profesor Tim Lindsey, direktur Pusat Hukum, Islam dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne, mengatakan perjanjian tersebut sudah lama tertunda tetapi “bukanlah solusi yang sempurna atau lengkap”.
“Retorika Jokowi mengenai pasar terbuka masih panjang jika ingin mengatasi tradisi proteksionis yang kuat di badan legislatif, pengadilan, dan layanan sipil,” katanya kepada ABC News. “Bisnis Australia masih sangat khawatir mengenai kepastian hukum dan penegakan kontrak di Indonesia, dan mereka akan sangat berhati-hati.”
Namun para analis mencatat bahwa kebangkitan Tiongkok berarti bahwa kepentingan kedua negara secara keseluruhan menjadi lebih selaras karena keduanya berupaya mengendalikan pengaruh regional Beijing.