22 Juni 2018
Sejak berdirinya republik ini, kita menghadapi kekurangan calon presiden, yang memaksa negara ini membiarkan otoriterisme berkuasa selama lebih dari 50 tahun.
Kelangkaan yang sama terjadi ketika kita menyelenggarakan pemilihan presiden pada tahun 2014, yang menyebabkan bangsa ini terpecah belah dan meninggalkan banyak luka yang belum tersembuhkan.
Ancaman polarisasi yang sama juga mulai terjadi, dengan Presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo menghadapi kemungkinan tanding ulang melawan Prabowo Subianto dalam pemilu mendatang yang dijadwalkan pada 19 April tahun depan. Jika hal ini terjadi, tidak ada yang bisa mencegah terulangnya sejarah: kampanye kotor yang dilakukan secara masif, terstruktur, dan sistematis dengan mengorbankan akal sehat. Berita palsu dan eksploitasi sentimen etnis, kelompok, dan agama akan kembali menjadi ciri pemilu, sehingga menghambat matangnya demokrasi kita.
Tagar #2019Wakil Presiden (ganti presiden) dan baru-baru ini narasi yang disebut poros Beijing vs poros Mekah hanya menunjukkan bahwa Indonesia sedang menuju perjuangan politik yang sama, atau bahkan lebih buruk, penuh kebencian.
Pemerintahan Jokowi punya andil dalam menciptakan jurang pemisah dalam usulan ambang batas presiden yang tinggi, yakni 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara terbanyak. DPR menyetujui ketentuan yang secara teknis akan mengubah pemilu presiden 2019 menjadi pemilu dua pihak atau tiga partai.
Kami menentang skema ini sejak awal dengan alasan bahwa ambang batas tersebut tidak lagi relevan setelah Mahkamah Konstitusi memenangkan petisi yang menuntut pemilihan legislatif dan presiden serentak pada tahun 2014. Mekanisme penetapan Presidential Threshold tahun 2019. pemilu itu cacat dan juga melukai logika kita karena berdasarkan hasil pemilu legislatif 2014.
Koalisi yang berkuasa bisa saja mengklaim telah memenangkan perjuangannya untuk mencapai ambang batas presiden yang tinggi melalui cara yang demokratis, namun keputusan dan prosesnya jelas-jelas menunjukkan sikap tidak menghormati demokrasi. Keyakinan kita terhadap demokrasi harus diterjemahkan ke dalam kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden, asalkan mereka memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan untuk memastikan bahwa hanya yang terbaik yang memenuhi syarat.
Berkat keyakinan kami pada demokrasi, kami mendukung sekelompok orang yang menentang ambang batas di Mahkamah Konstitusi, beberapa di antaranya kalah dalam sidang pertama mereka pada bulan Januari lalu. Dalam putusan tersebut, dua hakim dari sembilan hakim panel tidak setuju, namun petisi baru akan membuka perdebatan.
Faktanya, ambang batas tersebut menghalangi kandidat-kandidat alternatif, yang mungkin lebih baik dari kandidat-kandidat yang sudah ada, untuk bisa maju, padahal demokrasi sejati menawarkan sebanyak mungkin pilihan. Sebagai negara besar, Indonesia berhak mendapatkan lebih dari dua atau tiga calon.
Apa pun bisa terjadi terhadap permohonan tersebut, termasuk kemungkinan pengadilan menunda uji materi hingga KPU menutup pendaftaran calon presiden pada 10 Agustus mendatang. Namun, kecuali pengadilan menolak semangat gerakan reformasi, ambang batas presidensial tidak mungkin dipertahankan.