7 Juli 2023
JAKARTA – Indonesia telah mendapatkan kembali statusnya sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, menandai pemulihan perekonomiannya setelah pandemi.
Pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita suatu negara, yang mengukur jumlah uang yang diperoleh suatu negara dibagi jumlah penduduknya, mencapai US$4.580 pada tahun lalu. Angka ini meningkat sebesar 9,8 persen dari tahun sebelumnya, menurut database Bank Dunia.
Negara-negara dengan pendapatan GNI per kapita lebih dari $4.466 menerima status pendapatan menengah atas dari Bank Dunia. Setiap tahun Bank Dunia memperbarui klasifikasinya, yang menurut mereka mengikuti metodologi serupa dengan kebijakan pinjaman operasionalnya.
Pada tahun 2019, Indonesia masuk dalam peringkat negara berpendapatan menengah atas berdasarkan GNI per kapita, namun diturunkan ke status menengah bawah akibat dampak pandemi COVID-19 terhadap perekonomian.
Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen untuk menjaga kualitas pemulihan ekonomi, kata Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, dalam keterangannya, Senin.
Febrio mengaitkan perbaikan ini dengan keberhasilan pemerintah dalam mengembalikan angka kemiskinan menjadi satu digit pada tahun 2022 setelah meningkat di atas 10 persen pada tahun sebelumnya, serta menurunnya tingkat pengangguran seiring dengan kembalinya perekonomian ke tingkat lapangan kerja sebelum pandemi.
Selama pandemi ini, Indonesia mengalami kontraksi ekonomi tahunan yang pertama sejak tahun 1998, ketika PDB turun sebesar 2,07 persen pada tahun 2020 di tengah terpuruknya belanja konsumen dan investasi swasta.
Negara ini tumbuh sebesar 5,31 persen tahun lalu, menyusul pemulihan belanja rumah tangga dan investasi serta peningkatan ekspor karena tingginya harga komoditas.
Kementerian mengatakan kembalinya Indonesia ke status berpendapatan menengah atas juga tidak terlepas dari upaya meningkatkan nilai ekspor mineral, serta efektivitas penanganan COVID-19 yang mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional.
M. Rizal Taufiqurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan Jakarta Post Selasa bahwa peningkatan status Indonesia baru-baru ini belum tentu berdampak pada kesejahteraan negara secara keseluruhan.
Ia berpendapat bahwa pendapatan nasional yang diukur dalam metrik ini terutama didorong oleh perdagangan internasional, termasuk pajaknya. Hal ini mencakup sektor pertambangan dan kelapa sawit, yang diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas.
Sementara itu, indikator-indikator yang berwawasan ke dalam (inward-looking) seperti rasio pajak terhadap PDB, yang lebih mencerminkan perekonomian domestik, mengalami penurunan meskipun terjadi peningkatan yang signifikan pada tahun 2022 karena tingginya harga komoditas.
Kementerian Keuangan mencatat rasio Indonesia mencapai 10,38 persen pada tahun lalu, naik dari sekitar 9 persen pada tahun sebelumnya. Namun, angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan dekade sebelumnya, yang menunjukkan rasio tahunan di atas 10,5 persen, menurut data Trading Economics.
“Pembangunan ekonomi harus dibarengi dengan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan,” kata Rizal.
Novia Xu, peneliti di lembaga think tank Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), mengatakan Pos Selasa bahwa meskipun Indonesia telah pulih ke status negara berpendapatan menengah ke atas, jalan yang harus ditempuh untuk keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah masih panjang.
Istilah ini mengacu pada negara-negara yang perekonomiannya terjebak dalam kelompok berpendapatan menengah. Menurut Bank Dunia, hal ini dapat mengindikasikan stagnasi daya saing suatu perekonomian, sementara Bank Pembangunan Asia (ADB) menyatakan bahwa hal ini dapat mencerminkan pertumbuhan yang lambat, stagnasi atau penurunan upah, dan pertumbuhan perekonomian informal.
Untuk menghindari hal ini, suatu negara harus masuk ke dalam kelompok berpendapatan tinggi yang memerlukan GNI per kapita lebih dari $13.845 menurut standar Bank Dunia pada tanggal 30 Juni.
Menurut Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), perekonomian Indonesia harus tumbuh antara 6 dan 7 persen per tahun untuk mencapai kelompok berpendapatan tinggi, sementara pertumbuhan negara hanya berkisar pada 5 persen selama satu dekade terakhir.
Novia menekankan bahwa Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada sumber daya alamnya, namun belum mengalami kemajuan dalam menerapkan praktik berkelanjutan. Dia mengatakan tren ini bisa menjadi masalah karena semakin banyak negara yang menaruh perhatian pada keberlanjutan perekonomian.
Selain itu, upaya infrastruktur yang sebelumnya diklaim oleh pemerintah akan membantu pertumbuhan ekonomi masih kurang efisien, terutama dalam hal standar anti-bencana, yang dapat menimbulkan biaya tinggi jika terjadi bencana alam yang melanda banyak wilayah di negara ini. .memukul. .