20 Juni 2023
JAKARTA – Pemerintah menyatakan siap melakukan perlawanan jika ada negara yang mengambil tindakan hukum terhadap larangan ekspor bauksit yang diberlakukan awal bulan ini.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengakui dalam pidatonya pada hari Minggu bahwa Tiongkok, yang merupakan importir bauksit terbesar di Indonesia, dapat mengajukan pengaduan terhadap Jakarta ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
“Kalau ada yang menggugat kami, kami akan hadapi. Tolong, jangan bertindak seperti negara kecil. Indonesia adalah negara besar. Negara besar tidak boleh cuek kalau digugat, jangan konyol,” kata Jokowi seperti dikutip CNBC Indonesia.
Berbicara kepada kantor media yang sama beberapa bulan yang lalu, pejabat Kementerian Perdagangan Bara Krishna Hasibuan mengatakan tidak ada tanda-tanda bahwa Tiongkok akan membawa Indonesia ke WTO, namun kementerian siap menghadapi konsekuensi yang mungkin timbul dari larangan ekspor bauksit.
“Saya berbicara dengan duta besar kami di WTO, dan tidak ada (pembicaraan untuk membawanya ke WTO),” kata Bara pada tanggal 2 Maret, menambahkan: “Secara bilateral, tidak ada indikasi bahwa pemerintah kami tidak merujuk Tiongkok. akan mengambil tindakan.”
Ia mengatakan, pada prinsipnya larangan tersebut diperkirakan tidak akan mengganggu hubungan ekonomi yang lebih luas dengan negara lain, terutama dengan negara yang sangat bergantung pada produk mineral nusantara.
Sekitar 4 persen cadangan bauksit global diperkirakan berada di Indonesia, dan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa negara ini memiliki sekitar 1,2 miliar ton bijih aluminium.
Analis industri pertambangan Ahmad Zuhdi Dwi Kusuma dari bank pemerintah Bank Mandiri mencatat bahwa, tidak seperti nikel, pangsa pasar global Indonesia tidak begitu besar, sehingga negara ini “mudah tergantikan”.
“Saya pikir lebih rasional bagi Tiongkok untuk mencari pasar lain daripada mengajukan (keluhan WTO terhadap) Indonesia,” kata Zuhdi kepada The Jakarta Post pada hari Senin.
Sebagian besar produksi bauksit nasional selalu dialirkan ke pasar ekspor, karena kebutuhan dalam negeri kurang dari separuh output nasional saat ini.
Pelaku industri menekankan bahwa kapasitas gabungan dari smelter yang ada tidak sebanding dengan output pertambangan.
Dengan tingkat produksi saat ini yang mencapai lebih dari 31 juta ton dan kapasitas keempat smelter yang beroperasi hanya sebesar 14 juta ton, pelarangan tersebut akan menyisakan sekitar 17 juta ton bauksit mentah yang belum diolah.
Larangan ekspor bauksit, seperti halnya larangan pengiriman bijih mineral lainnya, bertujuan untuk mengembangkan industri pengolahan logam dalam negeri sehingga negara tersebut dapat meningkatkan rantai nilai komoditas dibandingkan menjadi eksportir bahan mentah. Untuk bauksit, produk yang mempunyai nilai tambah adalah alumina, yang digunakan untuk diproses lebih lanjut menjadi aluminium.
Ketua Komite Tetap Mineral dan Batubara Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rizqi Darsono, mengatakan kepada Post pada hari Senin bahwa pemerintah harus menghadapi segalanya karena agenda hilirnya sendiri “baik”.
Namun jika China atau negara lain memilih untuk membawanya ke panggung WTO, kata Rizqi, negara-negara tersebut bisa melakukan tindakan balasan, misalnya dengan mengenakan tarif impor yang lebih tinggi terhadap produk alumina Indonesia sehingga tidak mampu bersaing dengan produk negara produsen lain.
“Apakah China (mengikuti tindakan WTO) tidak berdampak pada industri pertambangan bauksit, karena pemerintah kita tidak mau mengalah, mereka akan memilih melanjutkan larangan ini,” kata Rizqi.
Ia menambahkan, dalam konteks bauksit, Jakarta harus lebih berhati-hati “karena kenyataan di lapangan sebenarnya industri tersebut belum siap”.
“(Pemerintah) harusnya memberikan (izin) kepada perusahaan yang progres pembangunannya (smelter) melebihi 50 persen,” kata Rizqi.
Penasihat khusus Kementerian Pertambangan pekan lalu mengungkapkan ada delapan perusahaan yang sedang membangun smelter.
Ronald Sulistyanto, Plt Ketua Asosiasi Perusahaan Bauksit dan Bijih Besi (APB3I), mengatakan membangun smelter bukanlah hal yang mudah karena larangan yang sama pernah diberlakukan pada tahun 2014, dan saat Jakarta memutuskan untuk mencabutnya pada tahun 2017. satu perusahaan membangun smelter.
“Ini menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan investor saat itu, karena investasi (yang dibutuhkan) cukup besar, sekitar US$1,2 miliar,” kata Ronald dalam webinar online, 31 Mei.
Selain itu, jelasnya, laba atas investasi (ROI) dalam pengolahan bauksit bisa memakan waktu lama, seperti yang terlihat pada kasus PT Well Harvest Winning Alumina Refinery yang sudah beroperasi hampir satu dekade namun belum menghasilkan ROI hingga saat ini. diikuti
Baik Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta maupun Kementerian Perdagangan tidak menanggapi pertanyaan Post pada hari Senin.