3 November 2022
JAKARTA – Meskipun pemerintah mendorong pembentukan pusat semikonduktor di negaranya, para ahli dan pejabat pemerintah asing menyambut baik ambisi ini, mengingat sektor ini telah menjadi landasan fundamental dunia modern.
Mark Goldsack, direktur Departemen Perdagangan Internasional, Pertahanan dan Keamanan Ekspor Inggris, mengatakan kepada The Jakarta Post pada hari Rabu bahwa memutuskan apakah Indonesia harus memproduksi microchip sendiri merupakan tindakan penyeimbang.
“Kita semua memerlukan hal-hal minimum yang esensial, hal-hal minimum yang tidak dapat direduksi dan dapat kita kendalikan sendiri. (…) ‘Haruskah kita membuat semua microchip yang dibutuhkan untuk menopang industri mobil?’ Tidak, kami tidak melakukannya. ‘Apakah kita memerlukan cukup banyak kendaraan untuk menghasilkan jumlah kendaraan yang penting bagi perekonomian?’ Ya, kami melakukannya,” katanya.
Goldsack menggarisbawahi bahwa sebagai produsen mobil besar, masuk akal bagi Indonesia untuk melakukan produksi semikonduktor di dalam negeri, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan minimum.
Namun, ia menekankan bahwa evaluasi ekstensif terhadap rantai pasokan nasional juga sama pentingnya karena pilihan perdagangan dan kemitraan selalu ada untuk mencapai keseimbangan. “Kita hidup di dunia global, tidak ada satupun dari kita yang bisa memproduksi semua yang kita butuhkan sendiri. Jadi, triknya adalah memperjelas di mana Anda tidak boleh mengambil risiko, (dan mengambil risiko itu), dan di mana Anda bisa mengambil risiko,” kata Goldsack.
“Semua orang akan selalu ingin menghasilkan sesuatu dan tidak ada yang bisa memproduksi semuanya. Jadi, Anda berada dalam suatu skala, dan Anda (harus) menentukan di mana Anda berada dalam skala tersebut dan itu akan didorong oleh kebutuhan ekonomi Anda yang lain,” tambahnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, berbicara secara terbuka pekan lalu dan mengundang Amerika Serikat untuk berinvestasi di industri semikonduktor negara kepulauan.
“Saya rasa kita harus menyadari bahwa Indonesia dapat melengkapi rantai pasokan Tiongkok. Indonesia punya pasar, iklim investasi (dan kita punya keunggulan komparatif yang kuat, terutama dalam produksi baja (dan) lingkungan digital, termasuk bahan baku semikonduktor,” kata Airlangga pada 25 Oktober.
Dari sisi geopolitik, keinginan Indonesia untuk menarik investasi semikonduktor dari AS dinilai berani oleh para ahli, mengingat kedekatan Indonesia dengan Tiongkok.
Meski memiliki konsekuensi ekonomi, tindakan ini dapat dilihat sebagai penyeimbang politik yang baik, menurut Dafri Agussalim, pakar hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Kami juga dapat mengatakan bahwa Indonesia-lah yang menunjukkan kepada Tiongkok betapa kami memiliki posisi tawar yang kuat,” kata Dafri, seraya menunjukkan bagaimana Indonesia mengambil keuntungan dari “perang chip” yang sedang berlangsung antara kedua negara adidaya tersebut dengan menjaga kedekatan keduanya.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede sepakat bahwa langkah ini tepat untuk mengisi kesenjangan yang diciptakan oleh gangguan pada rantai pasokan global akibat perang dagang yang akan terjadi.
“Investor harus mempertimbangkan untuk memindahkan produksi semikonduktor mereka ke luar Tiongkok dengan harapan menghindari dampak perang dagang. Indonesia harus memanfaatkan peluang ini dengan mengundang investor Amerika yang berpikir untuk keluar dari pasar Tiongkok,” kata Josua.
Ia melanjutkan, terlepas dari potensi rejeki yang ada, pemerintah tidak boleh lupa bahwa membangun hub semikonduktor membutuhkan banyak modal karena membutuhkan teknologi yang lebih maju dan memiliki dampak yang relatif rendah terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia, sehingga masa depan masih panjang.
Ambisi yang mahal
Jazi Eko Istiyanto, Guru Besar Elektronika dan Instrumen UGM, membenarkan bahwa industri semikonduktor merupakan investasi mahal karena teknologinya yang maju dan berkembang pesat sehingga memerlukan peningkatan secara berkala.
Meski begitu, Jazi mengatakan bukan hal yang mustahil bagi Indonesia karena India, negara yang dinilainya tidak jauh dari Indonesia dalam hal pembangunan, telah berhasil membangun pabrik desain (fab) sirkuit terpadu (IC) sendiri yang memiliki merilis prosesornya sendiri yang disebut Shakti.
Jazi menjelaskan bahwa opsi yang bagus adalah lebih efisien secara ekonomi, seperti yang dilakukan perusahaan Amerika Advanced Micro Devices (AMD) dengan mensubkontrakkan pabrik IC-nya ke Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) sambil melakukan semua desain. Meski begitu, jelas Jazi, opsi ini bukannya tanpa kendala tersendiri, seperti kelebihan pasokan atau kekurangan chip yang terjadi secara tiba-tiba seperti yang terjadi saat ini sehingga mengurangi pangsa pasar.
Namun, Jazi mengatakan kendala terbesar penerapan industri semikonduktor di Indonesia adalah talenta di sektor tersebut.
“Saya melihat dosen dan mahasiswa kurang berminat dengan desain IC. Secara umum, semua orang lebih tertarik pada perangkat lunak (desain) karena menjanjikan lebih banyak (uang),” kata Jazi, menjelaskan bahwa pembangunan manusia di sektor ini masih tertinggal dan memerlukan intervensi pemerintah.