31 Juli 2023
JAKARTA – Kementerian Kesehatan melipatgandakan upayanya untuk menghentikan maraknya penindasan terhadap dokter yang sedang menjalani pelatihan spesialis medis, dan berjanji akan mengambil “tindakan tegas” untuk mengakhiri siklus pelecehan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Pekan lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengeluarkan peraturan menteri yang secara resmi melarang segala bentuk perpeloncoan di rumah sakit pendidikan milik negara dan meluncurkan platform pelaporan intimidasi bagi residen medis.
Peraturan tersebut mencantumkan tindakan-tindakan yang termasuk perundungan selama menjalani residensi medis, termasuk memukul, meninju, menggigit, mencaci, melecehkan, mengejek, memeras, mengabaikan, memperlakukan penghuni sebagai asisten pribadi dan menuntut agar penghuni membayar barang-barang yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan mereka.
Jika terbukti bersalah, pelanggar akan menghadapi sanksi mulai dari peringatan hingga skorsing dari rumah sakit pendidikan, tergantung pada keseriusan pelanggarannya.
Korban penindasan, atau teman atau anggota keluarganya, dapat melaporkan kejadian tersebut secara anonim melalui situs web kementerian atau hotline WhatsApp, dan tim dari inspektorat jenderal kementerian akan menyelidiki kasus tersebut.
Budi mengatakan, tim akan memastikan korban tetap anonim dan terlindungi setelah melaporkan kasus perundungan. Kementerian juga akan memberikan konseling psikologis dan hukum jika diperlukan.
“Kami ingin menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan kondusif bagi para dokter agar dapat lulus menjadi tenaga medis profesional yang memiliki empati dan kemanusiaan yang kuat,” ujarnya.
Masalah sistemik
Kementerian mengatakan laporan pelecehan dan pelecehan terhadap petugas medis telah meningkat selama setahun terakhir.
Pelecehan tersebut, kata Budi, antara lain memperlakukan warga sebagai asisten pribadi, memaksa warga baru masuk untuk membayar sendiri biaya makan malam atau biaya atasannya, serta menuntut warga junior menjalankan tugas dan kewajiban seniornya.
“Ada penyangkalan sistematis untuk menutupi perundungan di rumah sakit”, kata Budi, seraya menambahkan bahwa budaya perpeloncoan paling banyak terjadi di kalangan dokter dari semua petugas kesehatan.
“Kami ingin mengambil tindakan tegas dan tegas untuk mengakhiri budaya ini. Ini satu-satunya cara untuk memutus siklus perundungan ini,” kata Budi.
Insiden intimidasi selama residensi medis telah dilaporkan di masa lalu.
Pada tahun 2020, seorang residen bedah di Universitas Airlangga di Surabaya, Jawa Timur, bunuh diri tiga hari setelah memulai program residensi medis di rumah sakit pendidikan, setelah diduga diintimidasi oleh residen senior.
Masalah ini muncul kembali pada bulan April tahun ini ketika seorang dokter yang tidak disebutkan namanya memberi tahu Menteri Budi dalam konferensi pers online tentang penindasan yang dia alami selama dia tinggal di sana. Dokter mengatakan kejadian tersebut menyebabkan dia menghentikan pelatihan spesialis medisnya dan didiagnosis menderita gangguan stres pasca-trauma.
Budi mengatakan langkah-langkah anti-perpeloncoan yang diluncurkan baru-baru ini hanya akan berlaku untuk rumah sakit pendidikan milik pemerintah karena sebagian besar pelatihan spesialis medis di negara ini dilakukan di rumah sakit tersebut.
Namun kementerian bermaksud untuk memperluas kebijakan tersebut ke rumah sakit swasta, tambahnya, dan sedang mempertimbangkan untuk meminta bantuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi agar kebijakan serupa dapat diterapkan di sekolah kedokteran.
Dari lebih dari 1.122 rumah sakit di tanah air, baik milik pemerintah maupun swasta, sekitar 240 rumah sakit saat ini digunakan sebagai rumah sakit pendidikan.
Kekurangan spesialis
Kebijakan baru Kementerian Kesehatan yang melakukan intimidasi adalah bagian dari upayanya untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis yang parah di Indonesia.
Negara ini memiliki 0,28 spesialis medis per 1.000 penduduk dan membutuhkan 30.000 spesialis lagi untuk memenuhi standar minimum Organisasi Kesehatan Dunia.
Pejabat kesehatan mengatakan banyak dokter enggan menjalani pelatihan spesialis kedokteran karena tingginya biaya sekolah, sulitnya ujian masuk, lamanya waktu pelatihan, dan fakta bahwa dokter tidak mendapat gaji selama masa tinggalnya.
Omnibus Health Act yang baru-baru ini disahkan bertujuan untuk mengatasi masalah ini, antara lain dengan mengizinkan lebih banyak rumah sakit untuk menawarkan program residensi medis dan menyederhanakan proses perizinan bagi dokter. Pemerintah juga memberikan beasiswa spesialisasi kedokteran kepada lebih dari 2.000 dokter tahun ini.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ari Fahrial Syam menyambut baik inisiatif pemerintah untuk mengakhiri perundungan di rumah sakit pendidikan.
“FKUI telah memiliki kebijakan sejak tahun 2018 untuk mengatasi permasalahan bullying. Tapi peraturan menteri yang baru bisa mengisi kesenjangan peraturan yang ada, misalnya jika yang melakukan perundungan adalah pegawai rumah sakit atau dokter yang tidak terafiliasi dengan universitas, ”ujarnya.
Pakar kesehatan masyarakat Tjandra Yoga Aditama mengatakan pemerintah perlu mengumpulkan data tentang perpeloncoan selama rawat inap untuk menentukan seberapa efektif kebijakan baru tersebut.