2 November 2022
JAKARTA – Inflasi melambat pada bulan Oktober setelah penurunan pada berbagai komoditas pangan, namun para analis memperkirakan penurunan tersebut hanya bersifat sementara karena risiko membayangi perekonomian pada minggu-minggu tersisa tahun ini.
Tingkat pertumbuhan tahunan turun menjadi 5,71 persen pada bulan lalu, turun dari 5,95 persen tahun-ke-tahun (y-o-y) yang tercatat pada bulan September, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterbitkan pada hari Selasa.
Angka terbaru ini jauh di bawah proyeksi beberapa analis. Perusahaan pemberi pinjaman milik negara Bank Mandiri dan firma riset keuangan Moody’s Analytics, misalnya, memperkirakan angka inflasi masing-masing sebesar 5,91 persen dan 6,1 persen.
“Harga pangan melemah, sehingga mengurangi inflasi pada bulan Oktober,” Setianto, Wakil Menteri Statistik Distribusi dan Jasa BPS, mengatakan kepada wartawan, Selasa.
Banyak komoditas pangan yang dijual dengan harga lebih rendah pada bulan Oktober dibandingkan bulan sebelumnya, dengan cabai merah memberikan kontribusi terbesar terhadap deflasi bulanan, disusul telur ayam, unggas, cabai merah dan minyak goreng. Sementara itu, harga beras dan tempe masih dalam tren kenaikan.
Penurunan harga bulanan pada kelompok makanan jauh melebihi kenaikan pada kelompok transportasi, dan deflasi bulanan secara keseluruhan yang terjadi pada bulan Oktober mengurangi inflasi tahunan, jelas BPS.
Mendinginnya harga pangan pada bulan lalu menyebabkan inflasi harga bahan pangan yang bergejolak turun menjadi 7,04 persen yy dari 9,02 persen yy pada bulan sebelumnya.
Sementara itu, inflasi harga yang diatur pemerintah, yang mengukur harga barang-barang seperti sebagian besar bensin dan produk energi lainnya yang dijual dengan harga tetap, tidak berubah pada angka 13,28 persen tahun-ke-tahun, mencerminkan kenaikan harga bahan bakar bersubsidi yang baru-baru ini terjadi.
Inflasi inti, tidak termasuk harga barang yang diatur pemerintah dan harga bahan pangan yang bergejolak, naik menjadi 3,31 persen tahun-ke-tahun di bulan Oktober dari 3,21 persen tahun-ke-tahun di bulan September.
Pada tingkat tersebut, inflasi inti, yang digambarkan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai hal yang penting dalam kebijakan suku bunganya, masih jauh di bawah tingkat inflasi umum.
Indonesia sejauh ini terhindar dari kenaikan harga konsumen yang jauh lebih cepat seperti yang terjadi di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris, yang mengalami tingkat inflasi dua digit yang mencapai angka tertinggi dalam beberapa dekade.
IMF telah memperingatkan bahwa para pembuat kebijakan di UE akan menghadapi pilihan kebijakan yang sulit untuk mengatasi lemahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya inflasi. Sementara itu, para analis memperkirakan Federal Reserve (Fed) AS akan kembali menaikkan suku bunga besar-besaran pada hari Rabu dalam upaya mengendalikan inflasi, sehingga memberikan tekanan pada bank sentral lain untuk melakukan hal yang sama.
Pertemuan keempat dan terakhir para menteri keuangan dan gubernur bank sentral (FMCBG) di bawah kepemimpinan Kelompok 20 Indonesia bulan lalu menimbulkan kekhawatiran mengenai risiko resesi di banyak negara di dunia.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara kepada wartawan, Selasa, mengatakan data terbaru akan membantu pemerintah mengendalikan inflasi sepanjang tahun ini.
Selain itu, pemerintah akan terus memastikan kelancaran produksi dan distribusi komoditas pangan untuk mengantisipasi kenaikan musiman pada periode Natal dan Tahun Baru, ujarnya.
“Untuk tahun ini, kami akan berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga inflasi tahunan di bawah 6 persen,” kata Suahasil di kantor kementerian.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengingatkan inflasi tahunan akan tetap tinggi setidaknya pada semester pertama tahun depan, antara 5 hingga 6 persen.
Untuk tahun ini, bank milik negara tersebut memperkirakan tingkat inflasi sebesar 6,27 persen, sementara pemerintah telah menetapkan target untuk mengakhiri tahun ini dengan inflasi tidak lebih tinggi dari 6 persen.
Ia mengaitkan risiko ini dengan dampak lanjutan dari kenaikan harga bahan bakar bersubsidi baru-baru ini, yang berarti bahwa biaya transportasi yang lebih tinggi akan dibebankan pada harga barang dan jasa.
“Ini berarti inflasi umum dan inflasi inti dapat meningkat secara signifikan setelah kenaikan harga bahan bakar pada periode mendatang,” jelas Faisal.
Dia mengatakan pemerintah harus mengantisipasi dampak pelemahan nilai tukar karena bank sentral di banyak negara secara agresif menormalisasi kebijakan moneter karena nilai tukar rupiah yang terdepresiasi membuat barang impor menjadi lebih mahal, sehingga memicu apa yang oleh para ekonom disebut sebagai inflasi impor.
Dengan inflasi yang jauh di atas target dan ancaman pelemahan nilai tukar lebih lanjut, Faisal memperkirakan BI akan terus menaikkan suku bunga acuannya menjadi 5,5 persen sepanjang tahun ini, dari level saat ini sebesar 4,75 persen.
Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS), sepakat bahwa inflasi yang tinggi kemungkinan akan bertahan hingga tahun depan dan membuat masyarakat Indonesia lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang sehari-hari.
“Pendapatan banyak orang Indonesia tidak bisa mengimbangi kenaikan harga. Oleh karena itu, ada risiko hal ini dapat memperlambat pengeluaran rumah tangga,” kata Bhima kepada The Jakarta Post pada hari Selasa.
Ia menyiratkan bahwa hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan PDB karena konsumsi swasta menyumbang lebih dari setengah produk domestik bruto (PDB) negara tersebut, sementara melemahnya pertumbuhan ekonomi global dapat berdampak buruk pada ekspor negara tersebut.
Berdasarkan data terbaru, BI mengatakan pada hari Selasa bahwa pihaknya memperkirakan inflasi setahun penuh akan tetap berada di atas kisaran targetnya yaitu 2 hingga 4 persen, namun jauh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.