Kampanye tidak resmi memanas ketika para pembuat kebijakan di Indonesia menolak menutup celah yang ada

3 Juli 2023

JAKARTA – Kampanye tidak resmi untuk pemilu tahun depan sedang berlangsung karena para pembuat kebijakan menolak menutup celah yang memungkinkan calon kandidat untuk berkampanye di luar jangka waktu yang ditentukan. Musim kampanye secara resmi akan dimulai pada akhir bulan November, namun papan reklame yang menampilkan tiga calon presiden terkemuka, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Badwedan, telah muncul di berbagai wilayah pedesaan di negara ini, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur. dan Sumatera, beberapa bulan terakhir. Ketiga calon presiden tersebut juga telah melakukan kampanye tidak resmi dalam beberapa bulan terakhir untuk mengumpulkan dan menarik dukungan, dengan melakukan berbagai aktivitas mulai dari blusukan (kunjungan dadakan) ke pasar lokal untuk menyambut para pendukung dalam acara-acara seperti rapat umum dan tampil di masjid-masjid setempat. Meningkatnya kunjungan politik yang dilakukan oleh ketiga calon presiden telah memicu perdebatan mengenai apakah mereka melakukan kampanye awal yang ilegal. Salah satu tuduhan tersebut muncul awal tahun ini ketika seorang warga setempat melaporkan Anies ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menuduhnya melakukan kampanye terselubung ketika ia menandatangani dua petisi untuk mendukung pencalonannya sebagai presiden di Masjid Baiturrahman di ibu kota Aceh, Banda Aceh. . Meskipun Bawaslu memutuskan bahwa Anies tidak melakukan pelanggaran administratif, laporan tersebut memicu perdebatan mengenai batasan antara kampanye di luar waktu yang ditentukan yang tidak diperbolehkan berdasarkan aturan yang berlaku dan kegiatan sosialisasi yang dianggap sah. Menanggapi kekhawatiran masyarakat tersebut, Komisi Pemilihan Umum (GEC) dan Bawaslu telah membentuk tim untuk merancang peraturan baru yang merinci lebih lanjut aspek teknis bagaimana partai politik melakukan program sosialisasi untuk mempromosikan diri mereka selama masa pra-kampanye. Namun hal ini mendapat perlawanan dari anggota DPR di Komisi II DPR yang membidangi urusan dalam negeri. KPU dan Bawaslu akhirnya membatalkan rencana tersebut pada bulan Februari, dengan menyatakan bahwa peraturan KPU no. 33/2018 tentang kampanye pemilu memberikan pedoman yang cukup mengenai program penjangkauan. Pasal 25 beleid tersebut secara tegas melarang partai politik peserta pemilu untuk berkampanye di ruang publik dan media sosial, termasuk menyebarkan bahan kampanye yang memuat gambar dan nomor uniknya di kertas suara, sebelum musim kampanye resmi dimulai. Pasal yang sama memperbolehkan partai politik untuk melakukan program sosialisasi untuk meningkatkan literasi politik yang secara ketat menyasar anggota internal partai. Program-program tersebut mungkin termasuk memasang bendera partai dan nomor pemilu mereka serta mengadakan acara kampanye internal. Namun, tidak disebutkan apa pun mengenai kegiatan penjangkauan yang dilakukan di lingkup yang lebih luas, seperti ruang publik. Peraturan ini juga gagal menangani kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh calon legislatif dan calon presiden yang sudah terdaftar menjelang musim kampanye selama 75 hari yang akan dimulai pada tanggal 28 November, sehingga menimbulkan lebih banyak pertanyaan tentang bagaimana Bawaslu harus memutuskan apakah para calon telah melakukan pelanggaran administratif. Saat ditanya baru-baru ini apakah calon presiden melakukan kampanye ilegal saat melakukan kunjungan politik, Hasyim Asy’ari, Ketua KPU, menegaskan bahwa hanya calon presiden terdaftar yang akan dikenakan pelanggaran tersebut. “Kami belum memiliki calon presiden yang terdaftar. Pendaftarannya pada bulan Oktober (tahun ini). Jadi, orang-orang ini tetaplah warga negara biasa di mata KPU (…),” kata Hasyim pekan lalu merujuk pada pendaftaran calon presiden yang rencananya dibuka pada 19 Oktober hingga 25 November. Kelompok aktivis pemilu seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat bahwa peraturan yang longgar mengenai apa yang dimaksud dengan kegiatan penjangkauan di luar masa kampanye hanya memberikan lebih banyak ruang bagi para kandidat untuk menghindari tanggung jawab. Masa kampanye yang lebih singkat, yaitu 75 hari yang ditetapkan KPU untuk pemilu mendatang, juga menyebabkan rentang waktu yang lebih panjang antara pengumuman partai politik yang terverifikasi pada Desember tahun lalu dan dimulainya musim kampanye pada November tahun ini, kata Perludem. . “Hal ini menimbulkan banyak wilayah abu-abu karena belum jelasnya status hukum calon presiden dan legislatif sebelum masa kampanye,” kata Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati. Jakarta Post Sabtu ini. Mengambil langkah berani dengan menetapkan peraturan yang lebih menyeluruh mengenai program penjangkauan mempunyai risiko tersendiri, kata Aditya Perdana, dosen Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI). “KPU sepertinya bermain aman karena mengambil langkah yang lebih proaktif dan progresif, seperti regulasi program penjangkauan dalam peraturan KPU yang baru bisa menjadi bumerang,” kata Aditya. “UU pemilu yang ada tidak mengenal ‘penjangkauan’ dan hanya mendefinisikan ‘kampanye’. Partai politik yang tidak menyukai langkah KPU yang mengatur kegiatan sosialisasi bisa menuduh KPU melanggar hukum,” tambah Aditya.

Data SDY

By gacor88