30 Desember 2022
JAKARTA – Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah memberi isyarat bahwa hubungan antara Uni Eropa dan Indonesia berada dalam risiko dengan peraturan deforestasi yang baru, dan memperingatkan bahwa UE tidak boleh mencoba mendikte standar keberlanjutannya kepada ASEAN jika ingin melanjutkan hubungannya dengan ASEAN. Indonesia tidak mempertahankannya
Saat berbicara pada KTT khusus UE-ASEAN di Brussels pada tanggal 15 Desember, presiden menyatakan: “Tidak boleh ada paksaan, tidak ada lagi pihak yang selalu mendikte dan berasumsi bahwa standar saya lebih baik daripada standar Anda.”
Menurut pendapat kami, peraturan mengenai label deforestasi, yang akan diberlakukan pada tahun 2023 pada minyak sawit dan turunannya serta berbagai komoditas pertanian lainnya, menegaskan bahwa UE pada akhirnya meninggalkan kebijakan perdagangan apa pun yang dianggap adil dan bahwa blok tersebut tidak dapat mengubah kebijakan perdagangannya dan tidak dapat mewujudkan tujuan-tujuan eksternal yang lebih luas secara koheren.
UE tidak mempunyai kepentingan apa pun terhadap kesejahteraan petani kecil di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, atau memasukkan mereka ke dalam rantai pasok global dengan menjadikan perdagangan global lebih inklusif. Penerapan persyaratan ketertelusuran yang ketat bagi petani kecil kelapa sawit di masa lalu telah menyebabkan para petani tersebut dikucilkan dari rantai pasok tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana sikap negara-negara ASEAN lainnya, khususnya Malaysia dan Thailand, yang keduanya menyumbang sekitar 95 persen produksi minyak sawit dunia?
Para analis mengatakan bahwa Malaysia kemungkinan besar akan mendukung posisi Indonesia dan hal ini dapat menyebabkan terkikisnya perdagangan dan kerja sama antara kedua kelompok regional tersebut, jika UE tetap melanjutkan Peraturan Deforestasi dan secara sepihak menetapkan standar keberlanjutan untuk produk pertanian, terutama minyak sawit, yang mana UE 27 negara.
Meningkatnya penolakan terhadap peraturan tersebut dapat membahayakan akses pasar UE di masa depan ke 10 negara ASEAN. Indonesia, ketua ASEAN pada tahun 2023, juga telah mengindikasikan niatnya untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas baru dengan Uni Ekonomi Eurasia (EAEU), sehingga membuka akses strategis ke pasar baru bagi kedua belah pihak. Indonesia juga membangun hubungan ekonomi dan strategis yang lebih erat dengan Amerika Serikat.
Bukan suatu kejutan besar jika minyak sawit bisa menjadi hambatan besar bagi hubungan UE dengan Indonesia. Suka atau tidak suka, minyak sawit telah menjadi ekspor terbesar Indonesia ke UE.
Melihat gambaran yang lebih besar, apa yang diutarakan Jokowi pada KTT Brussels bisa dilihat sebagai garis besar kebijakan perdagangan luar negeri dan internasional yang berdasarkan pada prinsip-prinsip perdagangan yang adil dan keadilan iklim.
Jokowi menunjukkan tekadnya untuk menanggapi kebijakan perdagangan Uni Eropa mengenai deforestasi, yang telah disalahgunakan oleh anggota parlemen dan pemangku kepentingan Uni Eropa sebagai alat untuk membenarkan proteksionisme perdagangan dan komitmen aksi iklim.
Presiden menekankan komitmen pemerintahnya terhadap penerapan dan penegakan prinsip-prinsip perdagangan yang adil dan kemitraan perdagangan berdasarkan dialog, transparansi dan rasa hormat, sehingga menghasilkan kesetaraan yang lebih besar dalam perdagangan internasional, termasuk perdagangan minyak sawit dan komoditas.
Pada saat yang sama, ia juga menyoroti platform keadilan iklim untuk mengatasi distribusi yang adil, pemerataan dan pemerataan beban perubahan iklim serta mitigasi dan tanggung jawabnya, untuk menangani penyebab dan dampak perubahan iklim.
Ketegasannya dalam menanggapi kebijakan UE mengenai deforestasi terutama dibentuk oleh rasa frustrasinya terhadap dominasi UE dalam perdagangan dunia dan standar keberlanjutan yang ditetapkan meskipun terjadi perubahan dalam perekonomian global.
Para pemangku kepentingan di Indonesia menyadari bahwa penerapan label bebas deforestasi didorong oleh kesalahpahaman bahwa deforestasi sebagai penyebab utama perubahan iklim, atau karena gangguan dari faktor pendorong emisi GRK sebenarnya dan fakta bahwa negara-negara Uni Eropa mempunyai angka rata-ratanya. emisi per kapita sebesar 6,4 ton, hampir tiga kali lipat tingkat emisi Indonesia sebesar 2,2 ton per kapita.
Secara khusus, Indonesia dan Malaysia melihat peraturan UE hanya sekedar pelarangan terhadap minyak sawit, minyak nabati yang paling kompetitif di pasar UE.
Peraturan ini akan menambah beban biaya pada industri kelapa sawit, yang memainkan peran yang semakin penting di Indonesia sebagai penyedia lapangan kerja, penghasil devisa utama, dan pemasok makanan. Yang lebih penting lagi, industri ini melibatkan lebih dari 4,5 juta petani kecil dan berkontribusi besar terhadap pengentasan kemiskinan.
Kami yakin bahwa peraturan terbaru ini tidak akan efektif dalam menghilangkan minyak sawit dan turunannya dari pasar UE. Kebijakan perdagangan yang membatasi ini akan gagal seperti Petunjuk Energi Terbarukan pada tahun 2009, undang-undang Informasi Pangan kepada Konsumen pada tahun 2011, pajak Nutella pada tahun 2012 dan banyak kebijakan lainnya dalam beberapa dekade terakhir.
Fakta sederhananya adalah ada permintaan pasar yang jelas. Minyak sawit masih menjadi produk penting dengan permintaan yang tinggi. Keuntungan alami berupa biaya rendah, produktivitas tinggi, dan keserbagunaan tetap menarik bagi bisnis dan konsumen Eropa. Dengan kata lain, minyak sawit merupakan minyak nabati paling kompetitif di pasar internasional.
Selain itu, keberlanjutan memainkan peran yang semakin penting dalam pengelolaan industri baik oleh pemerintah maupun sektor swasta. Percepatan komitmen terhadap keberlanjutan, deforestasi, ketertelusuran, dan sertifikasi oleh sektor swasta minyak sawit telah mengatasi kekhawatiran pelanggan dan mitra rantai pasokan Eropa.
Misalnya, pada tahun 2021 saja, pemerintah mencabut izin konsesi kehutanan seluas total 3 juta hektar (ha) untuk meningkatkan tata kelola dan praktik lingkungan di sektor tersebut. Sekitar 106 izin konsesi telah dicabut, dan beberapa izin mencakup lebih dari 100.000 ha di Papua. Hal ini juga termasuk pencabutan beberapa izin perkebunan kelapa sawit di Riau.
Skema pemerintah seperti Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia, Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia, dan Meja Bundar tentang Minyak Sawit Berkelanjutan yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan telah menambah kredibilitas kampanye keberlanjutan minyak sawit. Sebagian besar perusahaan kelapa sawit Indonesia, yang memenuhi standar ISPO dan RSPO, juga lebih tegas dalam debat publik mengenai peraturan UE.
Namun, semua cerita positif mengenai komitmen keberlanjutan dan nir-deforestasi tidak didengarkan; tidak ada pengakuan maupun penghargaan yang diungkapkan oleh para pemangku kepentingan UE.
Dalam skenario terburuk, jika label bebas deforestasi resmi diberlakukan, pemerintah harus bertindak sesuai dengan pernyataan kebijakan perdagangan dan luar negeri Jokowi untuk menentukan hubungan diplomatik dan perdagangan masa depan dengan 27 negara UE. Kebijakan tersebut dinilai sebagai tindakan tidak bersahabat terhadap Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil tindakan balasan yang sama kuat dan tegasnya terhadap mereka.
Lebih lanjut, Jokowi juga memaparkan platform fundamental bagi perdagangan luar negeri dan internasional berdasarkan dua prinsip inti, yaitu perdagangan yang adil dan keadilan iklim, yang harus dimanfaatkan sebagai kebijakan menyeluruh dalam setiap forum atau negosiasi global dan internasional.
***
Penulis adalah seorang analis keberlanjutan.