22 Desember 2022
JAKARTA – Kekerasan berbasis gender (GBV) terhadap perempuan dan anak terjadi dalam berbagai keadaan, termasuk bencana. Perempuan dan anak-anak khususnya rentan terhadap kekerasan dalam situasi di mana mereka seharusnya lebih terlindungi dari segala bentuk kekerasan.
Bencana didefinisikan sebagai gangguan serius terhadap fungsi suatu komunitas atau masyarakat yang menimbulkan kerugian baik manusia, material, ekonomi, dan lingkungan hidup serta dampaknya melebihi kemampuan masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasinya.
Sesuai UU Mitigasi Bencana No. 24/2007, bencana digolongkan menjadi tiga jenis: alam, non alam, dan sosial. Bencana alam adalah bencana yang disebabkan oleh peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, seperti kegagalan teknologi, kegagalan modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial merupakan bencana yang disebabkan oleh ulah manusia, seperti konflik sosial antar kelompok atau komunitas dan terorisme.
Dalam peristiwa bencana, peristiwa GBV tidak dicatat secara spesifik. Namun, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melaporkan 57 kasus GBV, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga hingga pemerkosaan, setelah bencana pada bulan September 2018 di Palu, Sulawesi Tengah. Sayangnya, data tersebut tidak lagi dipecah berdasarkan kelompok umur.
Tidak ada data khusus mengenai GBV pada bencana besar lainnya di Indonesia, seperti tsunami di Banten dan letusan Gunung Sinabung. Khususnya pada kasus tsunami Daerah Istimewa Aceh tahun 2004, kita bisa melihat dokumentasi kejahatan perdagangan manusia, khususnya anak. Namun, tidak ada data GBV.
Namun, kami mendengar cerita bahwa banyak perempuan dan anak yang mengalami kekerasan seksual selama berada di pengungsian. Menurut data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sulawesi Tengah, angka kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat pasca bencana.
Kita harus belajar dari bencana yang terjadi di Indonesia dan negara lain. Pemerintah dan pihak mitigasi bencana lainnya harus lebih memperhatikan kebutuhan khusus perempuan dan anak. Meskipun sulit untuk menyiapkan infrastruktur yang aman dan nyaman bagi perempuan dan anak-anak dalam keadaan darurat, penting bagi kita untuk menyediakannya demi keselamatan mereka sendiri.
Wahana Visi Indonesia bekerja sama dengan delapan organisasi kemanusiaan mengumpulkan data kondisi awal para pengungsi di 35 desa terdampak gempa bumi Cianjur, Jawa Barat baru-baru ini. Sekitar 88 persen responden menyatakan tidak ada fasilitas toilet terpisah antara laki-laki dan perempuan selama evakuasi. Selanjutnya, 81,36 persen menyatakan tidak ada ruang pribadi bagi pasangan suami istri untuk berganti pakaian atau tidur di shelter.
Temuan-temuan ini mungkin membuka jalan bagi tindakan GBV selama masa evakuasi. Misalnya, tanpa adanya pemisahan dari fasilitas yang digunakan bersama, perempuan akan merasa tidak nyaman dan berisiko mengalami kekerasan seksual, mulai dari pelecehan hingga pemerkosaan. Perempuan dan anak-anak semakin rentan terhadap ancaman keamanan dan keselamatan, terutama dari mereka yang belum peka terhadap upaya penghapusan GBV.
Untuk mengambil pelajaran dari gempa Cianjur, diperlukan upaya peningkatan kapasitas masyarakat, LSM lokal, dan komunitas untuk memperkuat ketahanan dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.
Dalam program komunitas pascabencana kami di Jakarta dan Tangerang, yang berfokus pada kelompok perempuan dan remaja putri, kami menemukan cerita tentang bagaimana perempuan dan anak perempuan mengalami bencana dalam bencana.
Sudah menjadi korban bencana (banjir dan kebakaran), mereka juga menjadi sasaran kekerasan di pengungsian. Memang, banjir dan kebakaran merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di kedua wilayah tersebut. Waktu evakuasi cukup singkat, antara satu hingga tiga hari. Bahkan dengan periode evakuasi yang singkat, perempuan dan anak perempuan masih berisiko mengalami kekerasan seksual.
Apa sebenarnya yang terjadi? Bahkan dalam situasi di mana orang harus saling membantu, masih ada pihak yang mengeksploitasi kerentanan perempuan dan anak-anak dan menjadikan mereka mangsa empuk. Pemerintah dan organisasi bantuan bencana harus menyadari kerentanan ini.
Seringkali bencana disikapi dengan hanya berfokus pada kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, obat-obatan, dan papan, sehingga kita melupakan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan seksual. Memberikan layanan pengaduan khusus untuk tujuan ini merupakan upaya yang paling sederhana, namun seringkali luput dari perhatian.
Pembentukan layanan pengaduan kekerasan seksual sangatlah penting karena kami memahami bahwa tidak semua korban kekerasan seksual berani melaporkan pengalamannya. Apabila lembaga mitigasi bencana kurang mempunyai kapasitas dalam melindungi kelompok rentan, maka dapat melibatkan pihak luar sambil terus meningkatkan kapasitas para korban bencana agar suatu saat dapat membantu orang lain pada saat terjadi bencana.
Banyak orang yang tampaknya percaya bahwa para korban akan segera melupakan kasus-kasus GBV yang mereka alami. Namun banyak penelitian, termasuk yang dilakukan oleh National Sexual Violence Resource Center pada tahun 2021, menunjukkan bahwa korban mungkin mempunyai konsekuensi jangka panjang. Upaya penghapusan kesenjangan dan ketidakadilan gender terhadap korban, khususnya perempuan dan anak perempuan, merupakan upaya kolaboratif yang harus dipertahankan.
Masing-masing pihak mempunyai peran tersendiri. Koalisi organisasi, komunitas, penyedia layanan, dan pengambil keputusan harus memiliki pemahaman yang sama dan bersedia bekerja sama.
Kita dapat mencegah GBV dengan mulai mengumpulkan data terpilah untuk menyesuaikan dukungan atau bantuan dengan kebutuhan masing-masing kelompok. Kita juga harus menanggapi GBV dengan menetapkan mekanisme pelaporan dan tindak lanjut untuk membantu para korban.