Keluarga Tragedi Kanjuruhan menuntut pertanggungjawaban yang lebih berat, sanksi yang lebih berat

10 Oktober 2022

JAKARTA – Sentimen negatif seputar Polri terus berlanjut karena masyarakat kecewa dengan penyelidikan mereka atas tragedi maut Stadion Kanjuruhan meski polisi telah menetapkan enam tersangka yang diyakini bertanggung jawab atas insiden tersebut.

Warga Kabupaten Malang di Jawa Timur menghabiskan satu minggu berkabung pada hari Sabtu memperingati 131 nyawa hilang di Stadion Kanjuruhan. Spanduk dapat dilihat di seluruh area dengan pesan belasungkawa dan tuntutan untuk penyelidikan menyeluruh atas tragedi tersebut.

“Bahkan setelah tujuh hari sejak insiden Stadion Kanjuruhan terjadi, saya masih sangat sedih dan sedih,” Indra, seorang penggemar Arema dan juru bicara forum klub pendukung tim, Aremania Menggugat (Aremania Menggugat), mengatakan kepada The Jakarta Post.

Kelompok tersebut sebelumnya telah menandatangani petisi publik yang menuntut Polri, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), penyelenggara pertandingan Arema FC dan operator liga PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk mengeluarkan permintaan maaf publik dan mengakui bahwa tragedi itu sepenuhnya kesalahan penyelenggara dan mereka yang bertanggung jawab atas keamanan.

Tuntutan yang sama juga disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang juga terlibat dalam pengamanan di stadion.

Beberapa petugas berseragam militer tertangkap kamera menendang dan memukul penggemar sepak bola dengan pentungan. Panglima TNI, Jend. Andika Perkasa mengatakan, TNI sedang menyelidiki lima anggotanya terkait peristiwa tersebut.

“Mereka yang salah harus (secara pidana) dihukum, bukan hanya dicopot dari jabatannya masing-masing. (Pemerintah) juga harus memperhatikan hak-hak korban, dan tidak hanya ketika mereka melakukan takziah (menghibur orang yang berduka dalam Islam),” kata Indra.

Petisi tersebut juga menyerukan penyelidikan menyeluruh atas tragedi tersebut dan agar pemerintah memastikan bahwa siapa pun yang bertanggung jawab atas keamanan di dalam stadion menahan diri dari kekerasan yang berlebihan di pertandingan mendatang.

Enam tersangka

Listyo Sigit Prabowo, Kapolri, mengumumkan pada Kamis malam bahwa polisi menetapkan enam tersangka, yang dijerat pasal 359 dan 360 KUHP karena kelalaian yang menyebabkan kematian dan luka fisik.

Mereka di antaranya Komandan Kompi Brigade Mobil (Brimob) Polda Jatim Adj. Kom. Hasdarman dan Kapolrestabes Malang (Kapolres Samapta) Ajun. Kom. Bambang Sidik Achmadi yang kabarnya memerintahkan anak buahnya masing-masing untuk menembakkan gas air mata ke arah massa. Tersangka lainnya adalah Kabag Ops Polres Malang, Kombes. Wahyu Setyo Pranoto yang mengetahui peraturan badan sepak bola dunia FIFA yang melarang penggunaan gas air mata selama pertandingan sepak bola, namun tidak mencegah penggunaannya di Stadion Kanjuruhan.

Tiga tersangka lainnya adalah Dirut LIB Akhmad Hadian Lukita, Ketua Penyelenggara Pertandingan Arema Abdul Haris, dan Satpam Suko Sutrisno.

Namun warga Malang Agus Yuwono mengatakan masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, terutama tentang siapa yang memutuskan untuk mengizinkan polisi menembakkan gas air mata ke dalam stadion – dan kemudian melepaskan tembakan.

“Saya sulit percaya bahwa seorang (perwira Brimob) berpangkat komandan kompi bisa memerintahkan penembakan gas air mata tanpa koordinasi dengan yang lebih tinggi,” kata Agus. “Banyak kejanggalan yang terjadi (saat kejadian) dan ini harus dijawab.”

Warga Malang lainnya, Abdul Muntholib, meminta polisi lebih bertanggung jawab, yang selama ini hanya menghukum petugas polisi yang sedang bertugas saat penyerbuan. Pejabat tertinggi yang akan dihukum adalah adj. Sr. Kom. Ferli Hidayat yang dicopot dari jabatannya sebagai Kapolres Malang dan dipindahkan ke Bagian Sumber Daya Manusia Polri, sementara petinggi Polri sejauh ini lolos tanpa cedera.

“Tidak cukup jika sanksi yang diterima (para petugas ini) hanya mutasi jabatan. Itu terlalu murah,” kata Abdul. “(Pemerintah) harus memikirkan para korban dan keluarganya, terutama bagaimana mereka yang ditinggalkan oleh orang tua, suami atau istrinya dapat melanjutkan kehidupannya.”

Menurunnya kepercayaan publik

Tragedi Kanjuruhan membuat polisi kembali menjadi sorotan. Pasukan baru-baru ini dilanda skandal terburuk dalam beberapa dekade, ketika banyak petugas polisi diduga berusaha menutupi pembunuhan brutal perwira polisi junior Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang diduga dilakukan oleh kepala divisi urusan internal kepolisian.

Pembunuhan dan dugaan penyamaran merusak kepercayaan orang Indonesia terhadap polisi, dari 66,7 persen pada Mei menjadi 54,4 persen pada Agustus, setelah kasus tersebut menjadi berita utama, menurut sebuah jajak pendapat oleh Indikator Politik Indonesia pada Agustus.

Kepercayaan publik terhadap polisi telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, sebagian karena laporan tentang kebrutalan polisi, termasuk selama protes. Akhir tahun lalu, tagar #PercumaLaporPolisi (percuma pergi ke polisi) beredar di media sosial, terkait dengan postingan yang mengungkapkan ketidakpuasan terhadap akuntabilitas, transparansi, dan catatan hak asasi manusia lembaga tersebut.

Tagar itu dibuat setelah platform media alternatif Project Multatuli menerbitkan sebuah cerita yang menunjukkan bahwa polisi setempat di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, mengabaikan laporan yang diajukan oleh seorang ibu terhadap mantan suaminya yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anaknya.

daftar sbobet

By gacor88