7 Juni 2023
JAKARTA – Setelah membaca Peraturan Pemerintah no. 26/2023 tentang dimulainya kembali penambangan pasir laut (untuk Singapura) dan mendengarkan pembelaan dua menteri terkait kebijakan tersebut, saya tertawa terbahak-bahak karena isi putusan tersebut mengingatkan pada praktik Orde Baru yang menggunakan subversi untuk menyasar kepentingan bisnis. Menyembunyikan anak-anak dan kaki tangan Soeharto.
Singapura, yang membutuhkan lebih banyak lahan melalui reklamasi, merupakan importir pasir laut terbesar di dunia, sedangkan Indonesia adalah pemasok pasir laut terbesar. Banyak masyarakat Indonesia yang menduga proyek reklamasi yang dilakukan negara tetangganya bertujuan untuk mencaplok sebagian wilayah negaranya.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengeluarkan aturan penatausahaan hasil sedimentasi laut pada 15 Mei lalu. Namun, kebijakan tersebut tidak hanya menangani sedimentasi laut. Ini adalah eufemisme.
Peraturan tersebut mencabut larangan ekspor pasir laut yang ditandatangani oleh presiden saat itu Megawati Soekarnoputri pada tahun 2003 dan diperpanjang pada tahun 2007 oleh penggantinya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut peraturan baru, pasir laut yang diendapkan dapat digunakan untuk reklamasi domestik, pembangunan infrastruktur pemerintah, dan pembangunan fasilitas oleh sektor swasta. Yang lucu bagi saya adalah adanya ketentuan yang memperbolehkan ekspor pasir laut hanya setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Saya kira Presiden Jokowi sendiri pun bingung dengan rumusan kebijakan tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam jumpa pers di kantornya mengatakan, ekspor pasir laut ke Singapura baru bisa terwujud setelah dilakukan kajian dan pemeriksaan menyeluruh oleh instansi pemerintah terkait untuk memastikan pasir yang digali tersebut berasal dari sedimentasi pasir laut.
Menkeu berjanji akan membentuk tim khusus untuk memantau proses ekspor tersebut. Tim tersebut akan terdiri dari pejabat dari berbagai kementerian selain bawahannya seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM, para ahli, pemerhati lingkungan, dan akademisi.
“Kami tidak menjual bangsa. Jelas bahwa permintaan akan daur ulang sangatlah tinggi. Kalau para ahli memastikan pasir itu hasil sedimentasi, kami akan mengekspornya tidak hanya ke Singapura, tapi juga ke Jepang. Apa yang salah dengan itu?” kata menteri.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menegaskan dimulainya kembali ekspor pasir laut untuk mengatasi sedimentasi di bawah jalur laut sibuk, khususnya Selat Malaka antara Batam dan Singapura.
“Untuk melindungi jalur pelayaran, laut harus diperdalam. Sedimennya dibuang bukannya disimpan di lokasi kami,” kata menteri, artinya sedimen tersebut akan diekspor. Tapi siapa yang hanya menerima sedimen?
Para pejabat Indonesia sering meyakinkan bahwa perluasan wilayah Singapura melalui reklamasi tidak akan mengubah perbatasan kedua negara. Menurut situs resmi Singapura, batas maritim Singapura dengan Indonesia ditetapkan berdasarkan Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Teritorial antara Indonesia dan Singapura tahun 1973, dengan pengecualian di beberapa perairan dekat persimpangan Singapura, Indonesia, dan Malaysia.
Namun ketika para pemerhati lingkungan hidup, organisasi masyarakat sipil dan politisi telah mengkritik dan bahkan mengutuk pencabutan ekspor pasir laut, saya akan berpura-pura tidak melakukan hal tersebut. sangat ketat (Pak Tahu Segalanya) untuk mengetahui motif di balik peraturan pemerintah tersebut.
SBY memperpanjang larangan ekspor pasir laut pada tahun 2007, ketika Indonesia gagal menekan Singapura untuk menyepakati dua perjanjian bilateral dengan Indonesia, yaitu perjanjian ekstradisi dan perjanjian kerja sama pertahanan, sebagai dua hal yang terpisah. Singapura ingin menjadikannya satu paket.
Menurut saya, Presiden Jokowi setidaknya punya dua alasan untuk mencabut ekspor pasir.
Pertama untuk memenuhi janjinya kepada Perdana Menteri Lee Hsien Loong saat kedua pemimpin menghadiri penandatanganan tiga perjanjian bilateral di Bintan, Riau, pada Januari 2022: Flight Information Region (FIR), Kerjasama Pertahanan, dan Perjanjian Ekstradisi. Perjanjian FIR merupakan elemen baru, sedangkan dua perjanjian lainnya pertama kali disepakati pada tahun 2007 oleh kedua negara.
DPR meratifikasi ketiga perjanjian tersebut pada 15 Desember 2022.
Kedua, Jokowi menyadari larangan ekspor pasir ke Singapura tidak berarti banyak karena hanya menggantikan penyelundupan yang diduga melibatkan perwira angkatan laut, pimpinan daerah, aparat kepolisian, dan politisi. Namun bagi Singapura, impor pasir dari Indonesia merupakan transaksi bisnis yang sah karena semua prosedur telah diikuti.
Peraturan pemerintah tersebut menyiratkan bahwa pemerintah ingin melegalkan praktik tersebut karena akan memperoleh pendapatan pajak darinya.
Saya mengangkat masalah ini ketika saya mewawancarai Wakil Perdana Menteri Singapura saat itu Lee Hsien Loong pada tahun 2004, beberapa tahun sebelum ia menggantikan Goh Chok Tong sebagai perdana menteri ketiga negara tersebut. Dalam pertemuan di kantornya, saya menanyakan perbedaan data statistik perdagangan antara Singapura dan Indonesia.
Para pejabat Indonesia sering menuduh negara kota tersebut menyembunyikan data tentang perdagangan bilateralnya dengan negara kita. Lee, putra pendiri Singapura Lee Kuan Yew, membantah tuduhan tersebut dan memberi saya beberapa argumen yang cukup kuat.
Saya berkesimpulan saat itu bahwa kesenjangan yang besar kerap terjadi akibat maraknya penyelundupan dari dan ke Singapura. Tentu saja perdagangan ilegal tidak pernah dicatat oleh Indonesia, melainkan oleh Singapura. Hal serupa juga terjadi pada ekspor pasir laut ke Singapura. Statistik kami menunjukkan sangat rendahnya ekspor pasir ke Singapura. Sekarang, bisakah Anda memahaminya dengan lebih baik?
Pada tahun 2002, Kompas laporan harian sandblaster secara teratur memalsukan angka yang mereka serahkan kepada pemerintah dengan mengklaim bahwa mereka menjual pasir dengan harga yang disyaratkan sebesar S$4 per meter kubik, padahal harga sebenarnya adalah sekitar $1,3 per meter kubik. Hal ini menyebabkan kerugian negara sekitar S$540 juta per tahun.
Menurut data resmi, ekspor pasir laut Indonesia ke Singapura berada di bawah 75 juta meter kubik pada tahun 2001, sedangkan data impor Singapura tercatat 300 juta meter kubik. Singapura sejauh ini melaporkan mengimpor 1,8 miliar meter kubik dari Indonesia, namun menurut pejabat Indonesia, jumlahnya baru mencapai 167 juta meter kubik.
Jadi? Kitalah yang seharusnya menyalahkan diri kita sendiri, bukan tetangga kita. Suka atau tidak suka, peringkat Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan Singapura dalam indeks persepsi korupsi. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Transparency International (TI) 2022 menempatkan Singapura pada peringkat kelima negara paling tidak korup di dunia dari 180 negara dengan skor 83, sedangkan Indonesia berada di peringkat 110.st dengan indeks 34 poin.
Presiden mencabut ekspor pasir laut karena alasan pragmatis. Dia ingin memberi penghargaan kepada Singapura karena telah menandatangani tiga perjanjian utama dan memastikan uang dari ekspor pasir masuk ke kas pemerintah dan bukan ke para bandit.
***
Penulis adalah editor senior di Jakarta Post.