10 Agustus 2023
JAKARTA – Ketimpangan di Indonesia semakin meningkat dalam tiga tahun terakhir, bahkan ketika semakin banyak penduduk yang berhasil keluar dari kemiskinan, sebuah fakta yang oleh para ahli dikaitkan dengan pilihan kebijakan pembangunan ekonomi selama beberapa tahun terakhir.
Pada bulan Maret, 25,9 juta penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan, turun dari 26,42 juta pada periode yang sama tahun 2020, menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada periode yang sama, ketimpangan yang diukur dengan koefisien Gini naik tipis menjadi 0,409 dari sebelumnya 0,393, menurut data BPS. Semakin tinggi koefisien Gini, semakin besar kesenjangan ekonomi suatu masyarakat.
Pada bulan Maret, 20 persen masyarakat berpenghasilan tertinggi di Indonesia menyumbang 46,71 persen pengeluaran negara, naik dari 45,49 persen dalam tiga tahun terakhir.
Nailul Huda, peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan beberapa kebijakan pemerintah mungkin berkontribusi terhadap peningkatan ketimpangan.
Dia bilang Jakarta Post Pada hari Jumat, pemotongan pajak barang mewah pada tahun 2021 mendorong kelas menengah dan atas untuk membelanjakan lebih banyak barang-barang mahal seperti kendaraan.
Sementara itu, sebagian besar masyarakat Indonesia menghadapi biaya hidup yang lebih tinggi akibat penurunan subsidi bahan bakar mobil pada September 2022. Melalui pemotongan subsidi tersebut, pemerintah berupaya meringankan beban APBN di tengah kenaikan harga minyak dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia (BI), meskipun diperlukan untuk mengendalikan inflasi, kata Nailul, juga menguntungkan masyarakat kaya di Indonesia, karena suku bunga yang lebih tinggi berarti tingkat pengembalian deposito berjangka dan obligasi yang dibeli kemudian juga lebih tinggi.
“Dengan tidak adanya peningkatan pendapatan, masyarakat miskin (harus mengurangi konsumsinya),” kata Nailul.
Baca juga: Mengatasi kesenjangan dan segregasi perkotaan di Jakarta
Direktur Pusat Reformasi Ekonomi (CORE) Mohammad Faisal mengatakan Pos Kamis bahwa kombinasi peningkatan kesenjangan dan penurunan kemiskinan merupakan hal yang tidak biasa.
Dia mengatakan hal ini mungkin disebabkan oleh dampak ekonomi yang masih ada dari pandemi COVID-19 terhadap masyarakat berpenghasilan rendah, karena pemulihan mereka agak tertinggal dibandingkan kelompok pendapatan lainnya.
“Daya belanja masyarakat kaya sebagian besar tidak terpengaruh, sementara masyarakat berpenghasilan rendah belum sepenuhnya pulih,” kata Faisal.
Bisa juga terjadi, tambahnya, masyarakat berhasil diangkat ke atas garis kemiskinan, namun hanya sedikit, yang berarti mereka masih tergolong kuasi miskin.
Kelompok ini, kata dia, tidak tercakup dalam statistik karena Indonesia hanya memperhatikan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Meskipun pemerintah telah menyalurkan bantuan sosial dalam jumlah besar dalam beberapa tahun terakhir, tambahnya, pemerintah harus memperhitungkan bahwa sebagian dari bantuan tersebut tidak sampai ke penerima manfaat yang dituju, terutama di daerah terpencil di mana pengawasan pemerintah lemah.
Baca juga: Jutaan orang di RI berisiko kembali jatuh miskin, Bank Dunia memperingatkan
Ekonom Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang mengatakan upaya pemerintah untuk menjaga pembangunan ekonomi tetap pada jalurnya adalah hal yang “masuk akal”, namun pemerintah harus mengupayakan pembangunan di mana “semua orang tumbuh bersama”.
“Kita harus hati-hati jangan sampai menjadi (…) kaya (secara total) dengan ketimpangan yang tinggi,” kata Dianta kepada The Guardian Pos pada hari Kamis.
“Meningkatnya kesenjangan akan menimbulkan konflik sosial,” imbuhnya.