5 Juli 2023
JAKARTA – Program yang diluncurkan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyelesaikan masalah sebelumnya pelanggaran HAM berat tidak tepat sasaran karena kegagalannya mengatasi isu krusial dalam menulis ulang versi resmi sejarah Indonesia, kata para kritikus dan keluarga korban.
Menulis ulang sejarah negara ini dengan memasukkan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu adalah salah satu dari 11 rekomendasi yang dikeluarkan pada bulan Desember oleh tim penyelesaian non-yudisial yang didukung pemerintah, dipimpin oleh diplomat veteran dan aktivis hak asasi manusia Makarim Wibisono. Tim ini dibentuk pada Agustus 2022 setelah Jokowi mengumumkan rencana penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur non-yudisial.
Rekomendasi pertama tim ini adalah agar pemerintah mengakui kesalahan negara atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan menyatakan penyesalan atas 12 insiden, termasuk pembantaian tahun 1965, penyiksaan terhadap warga sipil di Aceh selama operasi militer melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan kerusuhan tahun 1998. di Jakarta.
Presiden Jokowi segera menindaklanjutinya pada bulan Januari dengan menyatakan penyesalan atas tanggung jawab pemerintah dalam 12 insiden tersebut.
Rekomendasi kedua dari tim ini adalah agar pemerintah merumuskan kembali narasi mengenai kekejaman di masa lalu dengan memasukkan cerita dari sisi korban.
Baca juga: Amnesty International menginginkan akuntabilitas atas kekejaman di masa lalu
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pekan lalu mengatakan bahwa ia telah menginstruksikan kementerian lain untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Meski demikian, dia menegaskan kajian yang akan dipimpin Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ini tidak akan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
“Kami menyambut baik siapapun yang ingin menulis sejarah (kekejaman masa lalu),” kata Mahfud, Jumat. “Tapi ini hanya kajian akademis. Hasilnya tidak akan (dijadikan) acuan untuk mengeluarkan kebijakan, karena kita tidak akan pernah menemukan titik temu, karena sejarah itu ‘liar’.”
Para korban dan keluarga mereka telah berulang kali meminta Presiden Jokowi, yang berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu selama kampanye pemilu tahun 2014, untuk memulai proses penulisan ulang sejarah resmi mengenai kekejaman di masa lalu karena versi saat ini cenderung menyalahkan korban.
Di antara korbannya adalah pengasingan politik yang terpaksa tinggal di luar negeri karena dugaan keterlibatan mereka dengan kudeta pada tanggal 30 September 1965. Mereka juga meminta pemerintah untuk mengungkapkan kebenaran di balik peristiwa tersebut, yang menyebabkan rezim Orde Baru Suharto mencabut kewarganegaraan mereka karena dugaan hubungan mereka dengan kudeta gagal. kup.
Maria Catarina Sumarsih, ibu dari seorang pelajar yang ditembak mati saat protes anti-pemerintah di Jakarta pada bulan November 1998, termasuk di antara mereka yang mendukung penulisan ulang sejarah negara ini sejalan dengan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM) tentang 12 kasus pelecehan nyata.
Baca juga: Solusi non-yudisial saja tidak cukup, kata para korban
Sejarawan Ita Fatia Nadia mengatakan, keengganan pemerintah menulis ulang sejarah hanya menunjukkan tidak seriusnya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ayah Ita, yang merupakan anggota Partai Sosialis Indonesia yang berhaluan kiri, menghilang setelah tragedi 1965.
“Kami ingin pemerintah mengungkap kebenaran melalui penjelasan sejarah,” ujarnya.
Narasi sejarah saat ini yang mengacu pada pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu didominasi oleh mereka yang berkuasa dan mengabaikan suara para korban, kata sejarawan Baskara T. Wardaya dari Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Narasi yang lebih seimbang akan mengharuskan para sejarawan untuk memasukkan cerita-cerita para korban dan memberikan konteks yang lebih luas tentang bagaimana pelanggaran hak asasi manusia mungkin terjadi, katanya.
Meski begitu, Baskara mengapresiasi langkah pemerintah tersebut. Meski belum sempurna, namun bisa membuka pintu perspektif sejarah yang berbeda.
“Yang penting kita mulai belajar dari masa lalu dan tidak mengingkari (kekejaman di masa lalu),” ujarnya.