29 Mei 2023
JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (GEC) telah membantah tuduhan bahwa mereka mengejar kesepakatan ruang belakang dengan anggota parlemen tentang peraturan pemilu yang kontroversial yang akan memungkinkan partai untuk mencalonkan lebih sedikit kandidat perempuan dan mengizinkan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif tahun depan.
Penyelenggara pemilihan mendapati dirinya terlibat dalam kontroversi lain setelah kritik pekan lalu menuduhnya diam-diam memindahkan ketentuan “bermasalah” dalam Peraturan KPU (PKPU), yang mengatur pendaftaran dan kelayakan calon yang mencalonkan diri. pemilihan legislatif daerah.
KPU memberlakukan aturan tersebut pada pertengahan April setelah serangkaian rapat informal tertutup dengan Komisi II DPR yang membidangi urusan dalam negeri.
Kebalikan besar dari kebijakan sebelumnya, peraturan baru memungkinkan partai politik untuk mendaftarkan mantan narapidana korupsi sebagai caleg tanpa mengharuskan mereka menunggu lima tahun setelah mereka dibebaskan dari penjara. Itu juga menghilangkan persyaratan wajib bagi kandidat untuk menyatakan kekayaan mereka.
Menanggapi tudingan tersebut pada Sabtu, Hasyim Asy’ari, Ketua KPU, mengatakan draf peraturan tersebut telah melalui “konsultasi publik” untuk mendapat masukan dari anggota parlemen dan pemerintah sebelum diterbitkan.
“Dalam membuat aturan itu, KPU melakukan penyelidikan dan konsultasi publik dengan pembuat kebijakan – legislator dan pemerintah – selama dengar pendapat di DPR,” kata Hasyim.
Dia menambahkan, KPU mempertimbangkan argumentasi yang disampaikan Mahkamah Konstitusi dengan keputusannya pada 2022 dan 2023 terkait pemilu tahun depan. Putusan pengadilan melarang mantan narapidana mencalonkan diri untuk kursi legislatif sampai lima tahun setelah mereka dibebaskan dari penjara. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa tenggang waktu lima tahun hanya akan berlaku untuk terpidana korupsi yang belum dicabut haknya untuk mencalonkan diri sebagai bagian dari hukuman mereka.
“KPU tidak menutup-nutupi (memasukkan) ketentuan apapun dalam Perppu. Melainkan melakukan sesuatu yang sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi,” kata Hasyim.
Aktivis antikorupsi dan pengawas pemilu menegaskan KPU hanya mempertimbangkan putusan pengadilan secara parsial.
“Karena aturan KPU yang baru, politisi yang menghadapi tuduhan korupsi berharap hakim mencabut haknya (mencalonkan diri) untuk jangka waktu kurang dari lima tahun,” kata Kurnia Ramadhana dari Indonesia Corruption Watch.
“Bukankah ini menunjukkan logika KPU yang bengkok?” dia menambahkan.
Kurnia juga mengecam KPU yang bersikap permisif dan akomodatif terhadap mantan napi yang ingin kembali berpolitik dengan mengikuti pemilu 2024, dengan mengatakan bahwa KPU telah “melanggar hak rakyat untuk menunjuk wakil (yang memiliki) untuk berintegritas”.
Secara terpisah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak KPU untuk mewajibkan seluruh anggota DPR terpilih menyerahkan laporan harta kekayaan sebelum dilantik dan secara berkala selama menjabat sebagai langkah pencegahan korupsi.
Aktivis juga menyebut ketentuan kontroversial lainnya dalam peraturan baru, yang mengacu pada metode menghitung perwakilan perempuan partai per daerah pemilihan, “diskriminatif”.
Ketentuan ini mengatur pembulatan jumlah caleg perempuan di suatu daerah pemilihan jika hasil perhitungannya kurang dari lima di tempat desimal kesepuluh.
Aktivis mengatakan hal ini dapat menyebabkan keterwakilan perempuan di bawah minimal 30 persen di legislatif nasional dan daerah, bertentangan langsung dengan Undang-Undang Pemilihan Umum 2017.
KPU awalnya mengatakan akan mencabut peraturan baru tersebut, tetapi mundur awal bulan ini setelah anggota DPR Komisi II DPR menyuarakan ketidaksetujuan mereka dengan suara bulat terhadap rencana tersebut.
Sekelompok aktivis hak perempuan mengatakan akan meminta Mahkamah Agung mengkaji ulang aturan itu jika KPU tetap mempertahankan ketentuan pembulatan caleg perempuan ke nomor distrik.
Aktivis Titi Anggraini mengatakan, kelompok itu juga sedang menyiapkan argumentasinya untuk melaporkan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“KPU telah melanggar sumpah dan janjinya sebagai penyelenggara pemilu,” kata Titi.
Tudingan tersebut merupakan yang terbaru dari rentetan kontroversi seputar KPU sejak tahun lalu, ketika KPU dituduh mencurangi proses pendaftaran dan verifikasi partai politik serta menetapkan kelayakan beberapa partai pendatang baru meski tidak memenuhi syarat. .